Minggu, 04 Januari 2015

Tubuh Digital, Tradisi Lisan Tersier

Tubuh Digital, Tradisi Lisan Tersier

Acep Iwan Saidi  ;  Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
KOMPAS, 02 Januari 2015
                                                
                                                                                                                       


DI tengah wacana pro-kontra pembatalan Kurikulum 2013, muncul gosip tentang tradisi berdoa bagi siswa sekolah dasar dan menengah saat mengawali aktivitas belajar pagi hari. Mulanya dari berita di media daring (online) yang menengarai, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyiapkan aturan berdoa bagi pelajar (www.liputan6.com 1/12/14). Tokoh sekaliber Ustaz Yusuf Mansur pun terjebak ke dalam pusaran gosip ini. Melalui akun Twitter-nya, Ustaz Mansur membuat suasana agak panas—meski kemudian ustaz energik ini mengklarifikasi dan meminta maaf karena berita itu sesat belaka.

Hal yang nyaris tak beda dengan gosip itu adalah cara media daring memberitakan klarifikasi Ustaz Mansur. Tribunnews.com, misalnya, membuat judul ”Emosional Kurikulum 2013 Dihapus, Ustaz Yusuf Mansyur Ditelepon Anies Baswedan” (9/12/2014). Padahal, dalam uraian beritanya tak terdapat sekata pun menyinggung Kurikulum 2013. Faktanya, Mansur hanya mengkritik soal kebijakan berdoa.

Fatalogi informasi

Namun, hiruk pikuk informasi seperti itu kian hari kian lumrah di negeri ini. Barangsiapa mengamati fenomena di dunia maya, tak akan terkejut menyikapi isu demikian. Hanya, celakanya, publik selalu tak memiliki kesiapan menerimanya, dalam arti memahami media secara kritis—dalam hal ini khususnya media siber. Itu sebabnya kampanye hitam pada masa pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilu kepala daerah masih disukai politisi busuk. Soalnya, fungsi kampanye hitam memang masih efektif.

Ingatlah pilpres kemarin. Secara logis pilpres yang hanya diikuti dua kontestan lebih sederhana sebab mudah memilah dan mencari perbedaan keduanya. Namun, justru karena terlalu banyak informasi daring ditambah media konvensional partisan, segalanya jadi sangat rumit. Dalam kebisingan demikian, telinga kita sulit mendengar suara jelas. Sulit membedakan mana informasi, mana pseudeoinformasi. Terjadilah yang disebut fatalogi informasi. Alih-alih menuntun kita ke tujuan yang benar, informasi malah menjerumuskan.

Beberapa pihak berpendapat fenomena dunia maya demikian bukan hanya di negeri ini, melainkan di seluruh dunia. Benar. Namun, di Indonesia sangat berbeda. Kita tak memiliki tradisi literasi yang kuat. Padahal, tradisi literasi merupakan modal utama memahami media siber atau lebih luas dunia maya.

Media siber merupakan ruang informasi eklektik, terdiri atas berbagai tempelan, hibirida, dan memfasilitasi beragam imitasi. Dari sisi bagaimana realitas dihadirkan, media siber merupakan campuran presentasi, representasi, sekaligus simulasi. Penghadiran realitas itu dilakukan ”individu maya” atau ”tubuh digital” yang bermigrasi dari individu riil (tubuh biologis).

Tubuh digital mampu mempresentasikan dirinya dalam beragam penampilan sejauh kapasitas byte yang dimilikinya. Tubuh ini pula yang mengirim pesan-pesan representatif tentang realitas yang ditafsirkannya. Jurnalisme warga yang kelahirannya terkait media siber sebenarnya tak lebih dari produksi informasi oleh individu digital sedemikian. Di sini tak ada realitas dalam arti material, yang hadir adalah realitas gagasan yang divisualkan melalui simulasi.

Kelisanan tersier

Karena situasi itu, informasi yang diproduksi media siber bersifat cair dan liar sehingga, karena itu, terus-menerus menuntut klarifikasi. Namun, kemampuan mengklarifikasi sedemikian hanya mungkin dilahirkan dari tradisi literasi. Tradisi literasi menumbuhkan sikap pada individu selalu mengkaji dan melacak informasi hingga pada sumber primer dan tekstual. Dalam tradisi ini, individu mendahulukan nalar sebelum berbicara, berpikir kritis sebelum percaya.

Dunia maya melahirkan tradisi lisan digital. Pasalnya, yang terjadi di dunia maya sesungguhnya perbincangan lisan yang dimediasi teknologi digital. Ia mudah diucapkan sekaligus dihapus. Pada kasus obrolan daring melalui akun Facebook atau Twitter, hal demikian eksplisit. Tubuh digital berhadapan, berbincang, bertukar gagasan, hingga berkelahi. Efek perbincangan tubuh digital di situs netokrasi—meminjam Alexander Bard (2002)—jauh berbeda dengan di situs socious. Masyarakat jaringan yang di sini disebut sosiodigital amat dinamis, progresif, bahkan liar. Nyaris tiada yang membatasi gerak tubuh digital sebab dunia maya tak kenal batas geografis.

Tradisi itulah yang ingin saya sebut sebagai kelisanan tersier. Istilah ini saya pakai untuk ”melanjutkan” uraian Walter J Ong tentang tradisi lisan primer dan sekunder dalam bukunya, Orality and Literacy (2004). Ong menyebut kelisanan primer sebagai tradisi masyarakat yang sama sekali belum kenal aksara. Dalam masyarakat ini, realitas hadir hanya dalam memori yang direpresentasikan melalui media biologis mulut dan telinga. Tradisi lisan sekunder digunakan untuk menyebut masyarakat lisan pada zaman keberaksaraan. Kehadiran media elektronik radio, TV, juga telepon pada era ini mengonfigurasi tradisi kelisanan: menonton, mendengar, berkerumun, dan seterusnya.

Berbeda dengan tradisi lisan sekunder yang cenderung statis karena publik hanya berposisi sebagai pendengar dan penonton, kelisanan tersier memosisikan publik sebagai pelaku aktif. Sebagaimana telah disinggung, mereka berbincang, berinteraksi, dan bertransaksi sebagai anggota masyarakat sosiodigital. Tradisi lisan yang dimediasi teknologi digital sedemikian sangat berpotensi bagi lahirnya kebarbaran baru. Jika pada masyarakat lisan primer keliaran dibatasi ruang dan waktu, pada kelisanan tersier situasinya terbalik. Teknologi informasi nyaris menirbataskan ruang dan melipatgandakan kecepatan waktu.

Akibatnya, kita jadi manusia yang ”panik”, selalu ingin lekas menjangkau segala hal. Kebiasaan copy-paste, menjawab SMS sambil bersepeda motor, ingin cepat kaya dengan korupsi, dan ingin cepat jadi penguasa dengan politik uang adalah sedikit contoh yang bisa disebut. Secara kultural terbentuklah masyarakat reaktif, yang mudah dimobilisasi beragam isu. Mereka bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Walhasil, era sosiodigital adalah zaman yang menomorduakan nalar.

Tentu situasi demikian harus mendapat perhatian kita bersama. Untuk hal ini, dalam jangka panjang posisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat menentukan. Tak ada rambu yang mampu mengatur dengan ketat masyarakat sosiodigital, kecuali setiap individu dalam masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, hanya diri yang berkarakter teguhlah yang bisa mengantisipasinya. Diri demikian hanya bisa dilahirkan sistem pendidikan berkarakter pula.

Namun, penting dipahami bahwa karakter bukanlah sifat dan sikap yang bisa ditempelkan seperti ditunjukkan secara teknis di dalam Kompetensi Inti/Dasar (KI/KD) Kurikulum 2013. Karakter adalah sebuah fleksibilitas diri dalam menghadapi tantangan ruang dan waktu secara kreatif dan inovatif. Hal ini hanya bisa dilahirkan jika pendidikan didudukkan di dalam kebudayaan. Mengingat kebudayaan kita sangat beragam, pendidikan meniscayakan lahirnya karakter jika berada dalam keberagaman budaya sedemikian. Artinya, sistem pendidikan yang salah satunya diturunkan melalui kurikulum tak bisa diseragamkan sebagaimana dikehendaki pemerintah melalui penerapan Kurikulum 2013. Penyeragaman justru akan melahirkan manusia mesin, tubuh-tubuh digital yang sensitif, mewah, tetapi sekaligus reaktif dan mengabaikan nalar kemanusiaan. Itulah kebarbaran baru dalam tradisi kelisanan tersier.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar