Parpol
dan Kepemimpinan Politik
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Kandidat PhD Asia Research Center
Murdoch University
|
JAWA
POS, 10 Januari 2015
Dalam setiap
perjuangan menuju perubahan politik, tantangan politik terbesar bukanlah pada
momen kemenangan dalam pertarungan politik elektoral yang melegitimasi sebuah
kepemimpinan politik. Tantangan terbesar dimulai sesaat setelah kemenangan di
tangan dan seluruh pihak menanti pembuktian dari janji-janji yang terlontar
sebelumnya. Seperti halnya kerasnya perjuangan hidup, tidaklah dimulai ketika
fajar menyingsing dan indahnya embun pagi menetes di dedaunan. Perjuangan
hidup dimulai sesaat setelahnya, ketika terik mentari mulai menyengat dan
kita berkubang dalam pusaran masalah dalam bekerja mencari bekal hidup
kita.
Pada konteks
inilah peran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang saat ini
tengah merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-42 menemukan relevansinya. Sebagai
kekuatan utama pendukung presiden terpilih dalam pergantian rezim, PDIP
dituntut desakan sejarah untuk merealisasikan apa yang telah dicanangkan
sebagai janji politik kepada rakyat Indonesia. Dalam babak baru pasca-Pilpres
2014, PDIP sebagai bagian dari political
resource (sumber daya politik) dari kekuasaan menghadapi tantangan baru
untuk merealisasikan laku kepemimpinan politik. Kepemimpinan yang diharapkan
berjalan seiring dengan ideologi kerakyatan dan kehendak publik dalam mengelola
hidup bernegara.
Kunci
keberhasilan maupun kegagalan politik dalam setiap pemerintahan terletak pada
kemampuan dari pemimpin untuk mengelola kepemimpinan politik. Dalam
konstelasi politik modern, seperti diutarakan profesor ilmu politik dari MIT
Richard J. Samuels (2003), kepemimpinan politik dapat dimaknai sebagai
kemampuan pemimpin dalam mengelola sumber daya sosial yang tersedia untuk
melenturkan segenap hambatan politik yang dihadapi demi mencapai visi politik
yang dicita-citakan.
Sumber daya yang
secara potensial dimiliki pemimpin untuk mengelola kehidupan bernegara dapat
berupa ideologi politik untuk menjaga dukungan politik publik; dukungan
institusi seperti partai politik maupun gerakan sosial. Sementara hambatan
politik adalah kekuatan sosial yang membatasi pilihan-pilihan politik yang
tersedia bagi pemimpin untuk melakukan transformasi sosial.
Menyoroti
dinamika politik Indonesia terkini, pemahaman akan kepemimpinan politik
seperti di atas dapat kita proyeksikan untuk memahami perjalanan kepemimpinan
politik dwitunggal Joko Widodo-Jusuf Kalla (selama lima tahun ke depan.
Sehubungan dengan posisi PDIP, sebagai agensi politik, partai ini dapat
memerankan diri sebagai sumber daya utama sebagai penentu bagi keberhasilan
kepemimpinan politik maupun sebaliknya menjadi constraining variable (variabel penghalang). Ketika hasrat
kekuasaan mengalahkan komitmen untuk membaktikan diri bagi perwujudan
ideologi nasionalisme kerakyatan (marhaenisme) yang menjadi alasan
keberadaannya.
Memobilisasi Sumber Daya
Sehubungan
dengan peran PDIP sebagai pendukung pemerintahan baru, ada beberapa hal yang
perlu dicermati agar peran partai menjadi lebih konstruktif sebagai bagian
strategis dari sumber daya politik kekuasaan. Pertama-tama, PDIP sebagai
partai yang lahir dari rahim ideologi nasionalisme kerakyatan –sebagai bagian
dari ajaran Soekarno– saatnya menemukan kembali elan vitalnya sebagai partai
pelopor. Dalam risalah Soekarno Mencapai Indonesia Merdeka (1933), beliau
menekankan tugas partai politik yang harus berpegang teguh dalam disiplin
politik sebagai kekuatan yang menjadi suluh bagi kehendak bersama. Partai
politik memiliki tugas mengolah tenaga rakyat dalam perjuangan politik dalam
kehidupan bernegara. Disiplin politik yang diperlukan PDIP sebagai sumber
daya kekuasaan di era baru ini bukanlah disiplin hierarkis yang membiakkan
patronase politik yang telah berurat akar dalam kehidupan kepartaian di
Indonesia.
Disiplin
politik yang penting ditanamkan bukanlah disiplin kader-kader yang mengabdi
pada kepentingan oligarki kekuasaan sehingga menjadikan kader-kadernya
perangkat dari praktik-praktik pertahanan kemakmuran dari para petinggi
elitenya. Mengingat kultur feodalisme ala ”bangsawan oesoel” yang
memenjarakan daya hidup rakyat bumiputra inilah yang sebenarnya dikecam dan
ingin dihancurkan Soekarno dalam setiap pesan-pesan di tulisannya. Disiplin
partai yang diharapkan lahir harus berpijak pada spirit kesetaraan politik
modern, budaya demokrasi, dan pengabdian pada agenda kerakyatan yang menjadi
titik temu bersama dari segenap kekuatan sosial yang melahirkan kepemimpinan
baru dalam Pilpres 2014.
Kedua,
sebagai rahim yang melahirkan kepemimpinan baru dengan harapan-harapan
perubahan yang menggelora, PDIP tidak hanya dituntut merevitalisasi diri
sebagai partai modern dengan disiplin politik dalam kultur demokrasi. Sebagai
partai politik yang berbasis ideologi nasionalisme kerakyatan, PDIP dituntut
menjalankan peran aktif sebagai sumber daya pengetahuan, yang memberikan
basis rujukan bagi pemerintah untuk memformulasikan kebijakan yang pro
terhadap wong cilik. Setelah lebih enam belas tahun reformasi bergulir, gerak
pengetahuan technocratic proneoliberal telah berjalan jauh dari agenda-agenda
politik kerakyatan. Meminjam tesis Antonio Gramsci (1971), partai politik
adalah the new prince (pangeran baru) yang bertugas melahirkan pengetahuan
bagi pijakan aksi politik baru yang lahir dari dinamika sosial gerak hidup
masyarakatnya.
Dalam logika
technocratic propasar, privatisasi berbagai kehidupan sosial seperti
pendidikan dan kesehatan telah bergerak jauh di luar kontrol politik
demokratik. Akibatnya, semangat liberalisme-individual telah menghancurkan
tatanan gotong royong, kesenjangan sosial begitu tinggi dengan indeks rasio
Gini sebesar 0,41 persen. Tantangan terberat pemerintahan baru adalah
mengembalikan semangat gotong royong dan PDIP sebagai sumber daya
pemerintahan baru memiliki tugas untuk membangun jejaring pengetahuan di
kalangan aktivis sosial yang secara organik bekerja di basis sosial
kerakyatan maupun kalangan intelektual nasionalis yang memiliki komitmen
mempertahankan basis kehidupan gotong royong yang terancam gelombang pasang
neoliberalisme.
Bagi PDIP ke
depan, sekarang adalah momen vivere
pericoloso, momen hidup dalam pertaruhan terbesar dalam eksistensi
politiknya. Ketika partai ini berhasil menempatkan diri sebagai political resource yang mendorong
pemerintah untuk bekerja sejalan dengan kehendak bersama seluruh masyarakat,
rakyat akan mengenangnya sebagai subjek politik progresif. Apabila sebaliknya
yang terjadi, PDIP akan dihukum sejarah. Rakyat tidak akan memberikan
kesempatan ketiga bagi partai tersebut untuk memimpin republik ini, menjadi
nakhoda bagi perjalanan hidup bangsa. Dirgahayu
PDI Perjuangan. Merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar