Menyatukan
Dua Golkar, Bisakah?
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 10 Januari 2015
JIKA ingin
mengajukan calon dalam pemilihan umum kepala daerah pada tahun 2015 ini,
Partai Golkar tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menyatukan dua
kepengurusan Golkar. Saat ini ada dua kepengurusan Golkar, yakni kepengurusan
hasil musyawarah nasional di Bali, 30 November-4 Desember 2014, yang dipimpin
Aburizal Bakrie, dan kepengurusan hasil musyawarah nasional di Ancol,
Jakarta, 6-8 Desember 2014, yang dipimpin Agung Laksono.
Persoalannya,
bagaimana menyatukan keduanya? Itu adalah pertanyaan yang paling sulit untuk
dijawab. Oleh karena, selain kedua kepengurusan itu mempunyai sikap politik
yang berbeda, struktur jabatan di kedua kepengurusan itu juga sudah penuh
terisi, bagaimana mengatur siapa yang bertahan dan siapa yang harus mundur?
Menyamakan
sikap politik jadi langkah awal untuk menyatukan kedua kubu kepengurusan
Golkar. Dalam perundingan islah, kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta mensyaratkan
lima hal, yaitu pilkada tetap dilakukan secara langsung, pemilihan presiden
secara langsung, pemilu legislatif dengan sistem suara terbanyak, mendukung
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, serta keluar dari Koalisi Merah Putih.
Dalam
pertemuan antara dua kubu kepengurusan Golkar yang dilangsungkan 8 Januari
2014, kubu Aburizal Bakrie setidaknya telah menyepakati untuk poin pilkada
secara langsung, pemilihan presiden secara langsung, dan mendukung
pemerintah.
Sesungguhnya,
poin yang terpenting dari lima poin yang diajukan oleh kubu Agung Laksono
adalah poin nomor empat, yakni keluar dari Koalisi Merah Putih. Poin itu
penting bagi kepengurusan Agung Laksono karena sejak berdirinya, Golkar
selalu membangun bangsa bersama pemerintah. Dan, bergabung dengan Koalisi
Merah Putih tidak memungkinkan Golkar menjalankan peran sejarahnya.
Sebaliknya,
bagi kepengurusan Aburizal Bakrie, poin keempat itu juga penting karena
Koalisi Merah Putih itu dimotori oleh Golkar. Dan, keputusan untuk tetap
bergabung dengan Koalisi Merah Putih adalah keputusan musyawarah nasional di
Bali. Kalau ingin mengubahnya, tentu keputusan itu harus diambil dalam forum
yang setara.
Dua kubu
Golkar itu sulit untuk didekatkan. Semula, kedua kepengurusan Golkar itu
berharap pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Yasonna Laoly, akan membantu penyelesaian ”pertikaian” di antara kedua
kepengurusan itu dengan menetapkan kepengurusan mana yang sah. Itu sebabnya,
kedua kubu itu langsung melaporkan kepengurusannya kepada Menteri Hukum dan
HAM seusai mengadakan musyawarah di Bali dan Ancol.
Namun,
tampaknya pemerintah tidak ingin campur tangan dalam urusan internal Partai
Golkar sehingga Menteri Hukum dan HAM memilih tidak mengesahkan satu di
antara kedua kepengurusan Golkar itu. Ia minta dua kepengurusan itu berdamai
dan bersatu kembali.
”Setelah
melihat seluruh aspek yuridis, fakta, dan dokumen, kami melihat ada
perselisihan sehingga Menteri Hukum dan HAM tidak dapat memberikan
keputusan,” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam jumpa pers, 16
Desember lalu. Ia menambahkan, demi kebesaran Golkar, ia meminta agar kedua
kepengurusan yang ”bertikai” itu menyelesaikan persoalan di antara mereka
dengan musyawarah dan mufakat.
Oleh karena
pemerintah menolak untuk mencampuri urusan internal Golkar, tidak ada pilihan
lain bagi Golkar, kecuali menyelesaikan sendiri ”pertikaian” antara kedua
kepengurusan Golkar itu. Beberapa kali dilakukan perundingan antara kubu
Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi tampaknya sangat sulit
dicarikan kesepakatan sikap politik di antara keduanya, terutama pada poin
empat yang berkaitan dengan Koalisi Merah Putih.
Penegasan
bahwa pemerintah tidak ingin mencampuri urusan internal Golkar juga
ditegaskan Presiden Joko Widodo. Dalam pertemuannya dengan Agung Laksono dan
Akbar Tandjung (kepengurusan Aburizal Bakrie) dalam kesempatan yang terpisah,
8 Januari 2015, Presiden Jokowi menegaskan, dirinya berharap Golkar bisa
berdamai tanpa adanya campur tangan pemerintah.
Yorrys
Rawerai, salah seorang juru runding kepengurusan Agung Laksono, Jumat
kemarin, mengungkapkan, sesungguhnya posisi kedua kepengurusan sudah semakin
dekat, empat poin sudah disepakati. Namun, khusus poin nomor empat yang
berkaitan dengan Koalisi Merah Putih, posisi kedua kepengurusan susah
didekatkan.
Pembagian kursi
Namun,
seperti yang telah disebutkan di atas, perdamaian di antara dua kepengurusan
Golkar itu tidak hanya menyangkut penyamaan sikap politik, tetapi juga
menyangkut pembagian kursi di antara dua kepengurusan, termasuk menentukan
siapa yang paling pantas, atau paling berhak, memimpin organisasi politik
yang telah memasuki usianya yang ke-51 tahun itu.
Pertanyaannya,
maukah Aburizal Bakrie menyerahkan kursi kepemimpinan Golkar kepada Agung
Laksono, atau sebaliknya juga, maukah Agung Laksono mengembalikan kursi
kepemimpinan Golkar kepada Aburizal Bakrie? Apalagi, dua-duanya sama-sama
dipilih melalui musyawarah nasional untuk memimpin Golkar.
Menyatukan
sikap politik saja sudah sulit, apalagi menentukan siapa yang paling pantas
memimpin Golkar. Belum lagi masih harus ditentukan, siapa-siapa saja yang
menduduki jabatan di kepengurusan Golkar yang telah disatukan. Itu sebabnya,
akhir-akhir ini mulai muncul suara-suara untuk membawa masalah itu ke
pengadilan karena menganggap perundingan di antara kedua kubu pasti akan
menemui jalan buntu.
Sesungguhnya,
mengajukan ”pertikaian” Golkar itu ke pengadilan harus menjadi pilihan yang
terakhir. Selain akan memakan waktu yang lama, juga yang dikalahkan oleh
pengadilan akan merasa sakit hati. Musyawarah mufakat di antara kawan
sendiri, sesama anggota Partai Golkar, itu merupakan penyelesaian terbaik.
Menyatukan
kedua kepengurusan itu memang sulit, tetapi itu bukan tidak mungkin
dilakukan. Oleh karena, politik itu kadang memiliki logikanya sendiri. Otto
von Bismark (1815-1898), Perdana Menteri Prusia dan Kanselir Jerman I dalam
suatu kesempatan mengatakan, ”Politik bukanlah ilmu pasti (politics is not an exact science).”
Atau dalam kesempatan lain, ia juga berkata, ”Politik adalah seni dari
kemungkinan (politics is the art of the
possible).” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar