Ciptakan
Pengusaha Muda
Bahlil Lahadalia ; Calon Ketua Umum BPP HIPMI
|
KORAN
SINDO, 10 Januari 2015
Setelah Orde
Reformasi, permasalahan pemerataan pembangunan telah menjadi semacam enigma
yang masih belum menemukan jawabannya.
Sepuluh tahun
terakhir ini kita menyaksikan Indonesia mampu mempertahankan kinerja ekonomi
yang cukup impresif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berkisar 5-6% meski
saat perekonomian dunia mengalami perlambatan akibat krisis. Namun, di sisi
lain kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat dan kesenjangan spasial
antarwilayah juga menunjukkan tren peningkatan.
Rasio gini
Indonesia pada 2014 telah menyentuh angka 0,43 dan pada 2014 sebesar 20%
penduduk dengan pendapatan tertinggi telah menguasai hampir setengah dari
total pendapatan masyarakat. Kondisi ini diperparah laju industrialisasi
lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa sementara beberapa daerah lain terutama di
wilayah timur masih jauh tertinggal, terutama dalam infrastruktur dan
pelayanan dasar.
Risiko middle income trap yang sedang
membayangi Indonesia hari ini tidak dapat lagi ditangani dengan mendorong
pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memastikan bahwa pemerataan
pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia “Ironi kemajuan” ini
telah menjadi sebuah masalah struktural yang membutuhkan penanganan bersama
dari seluruh elemen bangsa, terutama bagi pengusaha.
Pengalaman
dari beberapa negara menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang tinggi dapat
memicu lahirnya konflik horizontal yang akhirnya berdampak buruk pada
perekonomian lokal. Kehadiran pengusaha diharapkan mampu menciptakan inovasi
sehingga memberikan nilai tambah bagi golongan masyarakat yang selama ini
belum kebagian jatah “kue pembangunan”.
Bonus Demografi
Dalam menjawab
permasalahan tersebut, ada aspek penting yang perlu kita perhatikan lebih
serius yaitu bonus demografi. Bonus demografi ini keuntungan ekonomis yang
disebabkan penurunan rasio ketergantungan sebagai hasil dari proses penurunan
fertilitas jangka panjang (Sri Moertiningsih, 2005).
Bagi
Indonesia, penurunan rasio ketergantungan ditandai dengan proporsi masyarakat
produktif lebih besar jika dibandingkan dengan proporsi masyarakat
nonproduktif (anak kecil dan manula). Bonus demografi ini yang hanya terjadi
sekali seumur hidup sehingga disebut sebagai window of opportunity.
Untuk konteks
Indonesia, bonus demografi ini telah terjadi sejak 2012 dan diperkirakan
puncaknya pada 2028- 2031 dengan jumlah angkatan kerja diperkirakan sebesar
135 juta jiwa (BKKBN). Besarnya jumlah angkatan kerja ini berarti potensi
yang cukup besar dalam membangun modal manusia (human capital), apalagi jika
angkatan kerja ini dapat memicu pertumbuhan tabungan (savings) sehingga
akhirnya dapat meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu faktor yang mengakibatkan
beberapa negara seperti China dan Korea Selatan berhasil tampil sebagai
kekuatan ekonomi baru dunia karena telah menyiapkan serangkaian kebijakan
dalam memaksimalkan potensi angkatan kerja yang mereka miliki. Meski
demikian, peluang ini bukan tanpa risiko.
Besarnya
jumlah angkatan kerja ini tentu harus dibarengi dengan peningkatan kuantitas
dan kualitas lapangan kerja. Jika angkatan kerja ini tidak mendapatkan
pekerjaan yang layak, mereka dapat menjadi beban sosial sehingga menghambat
laju pembangunan. Ancaman lain berangkat dari kenyataan bahwa bonus demografi
ini tidak dirasakan secara merata oleh seluruh daerah di Indonesia.
Kondisi ini
menuntut segala pihak yang terkait baik itu pemerintah, universitas, asosiasi
usaha, dan industri untuk bertindak cepat dalam menyiapkan segala prasyarat
yang dibutuhkan dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dengan
waktu yang tersisa. Hari ini Indonesia telah menyedot perhatian pelaku bisnis
internasional yang melihat potensi pasar Indonesia.
Jika sumber
daya manusia kita tidak memiliki daya saing yang kuat, kita hanya akan
menjadi penonton dengan menyaksikan pasar dalam negeri dibanjiri komoditas
impor yang tidak memiliki nilai tambah yang berarti bagi Indonesia. Pada masa
yang akan datang Indonesia membutuhkan lebih banyak lapangan kerja yang akan
mudah dicapai jika jumlah wirausaha lebih banyak.
Selain
kuantitas, kita juga harus memperhatikan bahwa pengusaha tersebar secara
merata, terutama pada daerah yang tidak menikmati bonus demografi sehingga
memungkinkan lahir pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.
Ini tentu
membutuhkan stimulus dari pemerintah dengan menggenjot pembangunan
infrastruktur sehingga biaya logistik yang selama ini membebani pengusaha di
daerah dapat teratasi. Ini mungkin tidaklah mudah, tetapi harus dimulai dari
sekarang. Sudah saatnya Indonesia membangun dari daerah dan membuka jalan
bagi semua.
Keberpihakan Pemerintah
Laporan dari
EY G-20 Enterpreneurs Barometer 2013 menempatkan Indonesia pada kuartal
keempat atau kelompok peringkat terendah atas kondisi ekosistem kewirausahaan
(entrepreneuri al ecosystem) dari
negaranegara anggota G-20.
Penelitian
ini mengukur ekosistem kewirausahaan sebuah negara berdasarkan lima pilar
yaitu akses terhadap pembiayaan, budaya kewirausahaan, peraturan dan
perpajakan, pendidikan dan pelatihan, serta bantuan koordinasi. Meski terjadi
perbaikan dari lima aspek tersebut, secara keseluruhan Indonesia masih kalah
jauh dari negara-negara lain yang termasuk ke dalam G-20.
Hal yang
kemudian cukup menggembirakan bagi kita adalah hasil survei dari penelitian
ini menunjukkan bahwa pengusaha Indonesia adalah kelompok yang paling
optimistis terhadap perkembangan bisnis dalam negeri. Menurut pengalaman
saya, optimisme ini modal yang cukup penting dalam dunia bisnis.
Tanpa ada
optimisme dan tekad yang kuat, mustahil bagi pengusaha baru untuk mewujudkan
mimpi mereka. Sayangnya, optimisme saja tidaklah cukup. Sebagai pengusaha
yang berasal dari daerah, saya paham betul betapa sulitnya membangun usaha
tanpa ada modal yang cukup terutama ketika ingin memulai bisnis dari awal,
terutama bagi pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Harus kita
akui bahwa peran sentral dari UMKM dalam perekonomian nasional masih belum
mendapatkan perhatian yang cukup dari regulator. Pada 2014 saja Indonesia
telah memiliki UMKM sebesar 56,5 juta unit dan 98,9% di antaranya usaha
mikro. Meski pemerintah telah menyiapkan fasilitas pembiayaan seperti kredit
usaha rakyat (KUR) ataupun kredit usaha tani (KUT), pada realitasnya masih
terdapat beberapa kelemahan dalam sistem penyalurannya.
Kelemahan ini
terlihat dari masih tingginya bunga kredit yang dibebankan kepada pengusaha
UMKM. Bunga kredit yang disalurkan dapat mencapai 17%, sedangkan pengusaha
besar hanya dibebankan bunga kredit sebesar 12%. Permasalahan kedua terkait
kelayakan usaha dari UMKM tersebut di mana pihak perbankan yang mewajibkan
berbagai syarat administratif masih sulit untuk dipenuhi seperti agunan dan
pengalaman usaha.
Karena itu,
pada masa yang akan datang pemerintah dituntut untuk memberikan perhatian
lebih terhadap sektor ini. Regulasi terkait penanganan masalah UMKM harus
memastikan kenyamanan berusaha dan penyederhanaan izin usaha. Terkait akses
pembiayaan terhadap perbankan bunga kredit yang harus dibayarkan sebisa
mungkin ditekan lebih rendah (di bawah 10%).
Pemerintah
dapat mengalokasikan anggaran APBN untuk melakukan “subsidi bunga” kepada
pelaku usaha UMKM. Melalui subsidi bunga ini, diharapkan bahwa subsidi yang
selama ini hanya dihabiskan untuk kepentingan konsumsi dapat dialihkan untuk
kepentingan produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar