Hukuman
Mati
Franz Magnis-Suseno ; Rohaniwan;
Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
|
KOMPAS,
21 Januari 2015
EKSEKUSI enam
terpidana perkara narkoba baru saja, lima di antaranya warga negara asing,
menimbulkan reaksi keras dari beberapa pemerintah negara yang bersangkutan. Menurut
penulis, reaksi-reaksi itu tak perlu terlalu dihiraukan. Pelaksanaan eksekusi
itu telah mengikuti proses hukum yang benar. Tidak kelihatan ada keteledoran
dari pihak kita. Maka kita sendiri yang memutuskan bagaimana hukum yang
berlaku di negara kita itu dilaksanakan.
Akan tetapi,
tak bisa tidak, eksekusi-eksekusi itu menimbulkan pertanyaan prinsip.
Pertanyaan tentang kebenaran moral hukuman mati. Pertanyaan itu tidak kita
jawab dengan mengintip pada pandangan negara lain, tetapi atas dasar
kesadaran kita sendiri. Entah apa pandangan negara lain, harga diri kita
sendiri menuntut agar kita membersihkan sistem hukum kita dari segala unsur
yang tidak etis, tidak manusiawi, tidak benar.
Berikut saya
ajukan secara singkat empat alasan mengapa, menurut keyakinan saya, hukuman
mati harus kita hapus. Pertama, sistem yudisial kita belum bersih dari
praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga-
lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya!
Kedua adalah
prinsipiil: hukuman mati satu-satunya hukuman yang tidak dapat dicabut
sesudah dilaksanakan. Padahal, kemungkinan kekeliruan selalu ada. Sistem
terbaik pun tidak dapat 100 persen menjamin bahwa suatu putusan pengadilan
tidak keliru.
Ketiga,
menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh orang, kecuali untuk membela diri
atau dalam pertempuran militer resmi adalah tindakan yang tidak termasuk
wewenang manusia. Bukan kita yang memasukkan diri kita ke dalam eksistensi
dan bukan kita yang berhak mencabut eksistensi itu. Maka, menghukum penjahat
dengan mencabut nyawanya sebenarnya merupakan hujatan terhadap Yang Memberi
Hidup. Tak kurang!
Mungkin orang
bilang: bukankah hukuman mati belum begitu lama dilaksanakan di semua negara
dan masyarakat di dunia dan dibenarkan oleh semua agama? Kok mendadak
dianggap tidak dapat dibenarkan? Argumen ini tidak kuat. Bahwa sebuah
perbuatan (hukuman mati) disetujui luas tidak berarti perbuatan itu tidak
bisa jahat. Sama tidak benarnya seperti semboyan vox populi vox Dei: (”suara
rakyat adalah suara Tuhan”). Suara rakyat jelas bukan suara Tuhan. Suara
rakyat bisa juga jahat. Tak ada suara manusia—baik seseorang, sekelompok
orang, maupun semua orang—yang sama dengan suara Tuhan. Bukankah kita tahu,
rakyat bisa keliru, hati rakyat bisa penuh dendam, iri, benci.
Bahwa begitu
lama hukuman mati tidak dipersoalkan bukanlah bukti hukuman mati dapat
dibenarkan, melainkan kelonggaran sementara karena kekasaran hati manusia.
Karena naluri mau balas dendam, manusia butuh waktu untuk menyadari bahwa ia
tidak boleh membunuh. Namun, lama-kelamaan manusia jadi lebih mengerti, lebih
bertanggung jawab, maka ia mulai memahami bahwa hukuman mati melampaui
wewenang moralnya.
Pernah ada
hukum ”mata demi mata, gigi demi gigi” (lex
talionis, di Kitab Taurat). Namun, pada waktu itu, 3.000 tahun lalu, lex talionis merupakan langkah maju
dalam proses de-kasarisasi hati manusia. Waktu itu, kalau orang memukul orang
lain sehingga gigi atau mata hilang, ia akan dibunuh. Lex talionis lantas membatasi: Kalau matamu ditusuk, kau tak boleh membunuh, kau hanya boleh tusuk
mata dia. Namun, sekarang kita sudah maju. Kalau sekarang mata seseorang
yang menusuk ditusuk kembali, itu barbar.
Jadi, ada
kemajuan dalam perjalanan umat manusia ke luar dari kekasaran. Dan sangat
tepatlah sila kedua Pancasila: Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Hukuman mati belum beradab.
Kalau dalam
agama-agama dulu, hukuman mati tidak ditolak, tetapi ditetapkan sebagai
hukuman atas perbuatan jahat tertentu, itu pun perlu dimengerti dalam rangka
de-kasarisasi hati manusia. Daripada pelanggaran apa pun dibalas dengan
membunuh pelanggar, hukuman mati—yang belum bisa dihapus sama sekali karena
manusia masih terlalu kasar—dibatasi pada perbuatan kriminal paling jahat
saja. Akan tetapi, yang sebenarnya dimaksud: pada akhirnya manusia jadi sadar
bahwa hukuman mati tidak pantas dan tidak dikehendaki Tuhan.
Bisa juga
dikatakan: Tuhan sabar dengan kekasaran
hati kita, tetapi tidak untuk selamanya.
Alasan
keempat, menurut kebanyakan ahli, hukuman mati tak punya efek jera. Ancaman
hukuman mati tidak mengurangi kelakuan kriminal.
Ada beberapa
pertimbangan tambahan. Di Indonesia ada orang yang baru dieksekusi puluhan
tahun sesudah hukuman mati dijatuhkan, terutama beberapa orang yang dituduh ”terlibat
G30S/PKI”. Eksekusi semacam itu kehilangan segala legitimasi. Di lain pihak
Indonesia sudah cukup lama menahan diri dalam menjatuhkan hukuman mati.
Hukuman mati sudah bukan hukuman rutin. Logika kenyataan positif itu adalah: akhiri hukuman mati sama sekali!
Tuntutan agar
kita mencoret hukuman mati dari hukum pidana kita bukan karena ikut-ikutan
luar negeri, melainkan demi harga diri kita sebagai bangsa yang beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar