Jumat, 02 Januari 2015

Outlook Pendidikan 2014

Outlook Pendidikan 2014

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Desember 2014
                                                
                                                                                                                       


SEPANJANG 2014, dunia pendidikan Tanah Air masih ditandai dengan fenomena kekerasan yang menerpa sebagian besar siswa. Berdasarkan data Komite Nasional Perlindungan Anak (KNPA), misalnya, pada 2013 tercatat 3.339 kasus kekerasan terjadi di sekolah. Dari 16% atau 565 kasus, pelaku kekerasan di antaranya anakanak. Pada awal semester 2014, ada 1.626 kasus kekerasan terhadap anak dan 26% (455 kasus) pelaku di antaranya anak-anak.

Data lain dari lembaga yang sama menyebutkan terdapat 175 kasus kekerasan seksual pada anak dari total 427 kasus kekerasan yang diterima sepanjang periode Januari-April 2014. Dari jumlah tersebut, 178 kasus atau sekitar 40% dengan tersangka asal lingkungan sekolah, 30% tersangka asal keluarga sendiri, dan 30% sisanya campuran lain-lain. Berbagai data tersebut menunjukkan betapa sekolah merupakan tempat konflik dan kekerasan sangat mungkin terjadi, termasuk konflik dengan penggunaan kekerasan dalam skala yang merusak dan menimbulkan korban luka-luka atau meninggal dunia.

Beberapa jenis konflik dengan penggunaan kekerasan, seperti tawuran antarsekolah dan kekerasan seksual semisal yang terjadi di Jakarta International School (JIS), bahkan menunjukkan kecenderungan melembaga dan terpola.Tawuran layaknya bagian dari tradisi yang dibangun di sekolah. 

Sementara itu, konflik dan kekerasan yang memiliki intensitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan tawuran seperti bullying, hukuman fisik, perselisihan antarpribadi, dan perkelahian antarmurid dalam satu sekolah juga terus terjadi. Kebanyakan sekolah menganggap hal itu merupakan kewajaran dan bahkan sebuah keniscayaan sehingga cenderung membiarkan. Dalam tataran tertentu, penyelesaian konflik atau masalah dengan penggunaan kekerasan bahkan menjadi kebiasaan di sekolah. Hal itu sangat berpengaruh negatif bagi suasana sekolah sebagai sebuah lingkungan belajar yang damai (Panggabean, 2008).

Sebagai salah satu negara penganut paham demokrasi, Indonesia belumlah bisa dikatakan sukses jika indikatornya ialah perkembangan pendidikan. Keuntungan otomatis yang bisa diperoleh sebuah negara demokratis ialah berfungsinya seluruh aspek pengelolaan dan penyelenggaraan negara secara demokratis, termasuk di dalamnya aspek perkembangan pendidikan. Dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebutkan hampir semua negara demokratis yang maju dan terkemuka menyumbang 92,1% pembiayaan pendidikan dasar dan menengah.Hal itu terlihat dari intensnya pajak untuk kebutuhan pendidikan yang disosialisasikan kepada dunia industri. Di beberapa negara berkembang yang berpaham demokratis, perkembangannya sedikit lebih lamban, sekitar 78%. Di manakah posisi Indonesia?

Salah satu kelemahan distribusi anggaran pendidikan kita ialah minimnya dana untuk pelibatan masyarakat terhadap sekolah. Dana untuk pelatihan guru dan kepala sekolah sedemikian akut dan memburuk dalam aspek perencanaan dan implementasi. Hal tersebut berimplikasi langsung terhadap usaha peningkatan kualitas pendidikan secara merata di Tanah Air.Ada baiknya jika anggaran 20% yang telah disediakan pemerintah saat ini juga digunakan untuk memberdayakan peran serta masyarakat di tingkat sekolah, dengan sebanyak mungkin melatih komunitas sekolah mendesain perencanaan pembiayaan sekolah masing-masing. Distribusi anggaran pendidikan kita jangan sampai terjerumus ke dalam persoalan yang tak pernah habis, yaitu pembangunan fisik sekolah yang rawan korupsi dan manipulasi.

Terkait dengan kompetensi

Dengan beberapa catatan di atas, hampir dapat dipastikan awan gelap yang menggelayuti dunia pendidikan kita masih tetap pekat. Kepekatan tersebut di antaranya ditandai cederanya pelaksanaan ujian nasional (UN), pengembangan kurikulum 2013 (K-13) yang selalu berubah dan tak dipahami pengelola sekolah, serta sertifikasi guru yang setengah hati karena hanya berorientasi pada bentuk penilaian formal dan jauh dari upaya peningkatan citra dan kemampuan atau kompetensi guru.

Tanpa melakukan check and recheck terhadap kondisi aktual sekolah dan segala bentuk standar minimum yang digariskan pemerintah, UN menjadi kontraproduktif dengan upaya para pendidik dalam menjalankan fungsi sebagai guru, fasilitator, sekaligus teman para siswa di ruang belajar. UN bahkan telah dengan sengaja merampas hak dan tugas para guru dan pendidik yang seharusnya memiliki kewenangan dalam menentukan penilaian terhadap siswa-siswa mereka.Padahal, dalam UU No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58 ayat 1 dijelaskan, `Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan'.

Akal sehat kita pasti akan menafsirkan ayat 1 tersebut dengan jelas menyebutkan penanggung jawab evaluasi hasil belajar siswa ialah pendidik (guru), bukan pemerintah. Logika tersebut sangat jelas dan terang benderang meskipun pemerintah memiliki interpretasi berbeda dengan mengatakan bahwa yang membuat soal UN ialah para guru sehingga UN tidak melanggar UU. Meskipun interpretasi pemerintah terlihat masuk akal, jelas penafsiran tersebut lepas dari konteks ayat dan permasalahan yang dimaksud dalam pasal 58 tersebut.

Kelalaian pemerintah diperparah dengan kebijakan lainnya tentang K-13 yang bermasalah sedari awalnya.Hingga dihentikannya K-13 oleh menteri yang baru, secara materiil K-13 sedemikian jauh telah menghabiskan dana triliunan rupiah dan sekolah merespons secara berbeda soal kebijakan tersebut. Implementasi K-13 jelas menggunakan strategi yang salah karena tidak menggunakan sekolah sebagai unit analisis implementasinya, tetapi menggunakan kelas secara tidak merata. Padahal, jika sedari awal K-13 diimplementasikan secara gradual melalui sekolah-sekolah terpilih, efek negatif sebuah perubahan kebijakan pastilah tidak separah saat ini yang mengesankan dipenuhi unsur politis ketimbang alasan operasional.

Mengingat begitu strategisnya kedudukan organisasi sekolah dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran pada tingkat kelas dan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara luas, seharusnya para pengelola sekolah termasuk kepala sekolah, pengawas, guru, dan orangtua dilibatkan sejak awal dengan melatihkan K-13 kepada mereka secara terpadu di tingkat sekolah. Semoga di tahun depan kekisruhan soal UN dan K-13 tak terjadi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar