Outlook
Pendidikan 2014
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Desember 2014
SEPANJANG 2014, dunia
pendidikan Tanah Air masih ditandai dengan fenomena kekerasan yang menerpa
sebagian besar siswa. Berdasarkan data Komite Nasional Perlindungan Anak
(KNPA), misalnya, pada 2013 tercatat 3.339 kasus kekerasan terjadi di
sekolah. Dari 16% atau 565 kasus, pelaku kekerasan di antaranya anakanak. Pada
awal semester 2014, ada 1.626 kasus kekerasan terhadap anak dan 26% (455
kasus) pelaku di antaranya anak-anak.
Data lain dari lembaga yang
sama menyebutkan terdapat 175 kasus kekerasan seksual pada anak dari total
427 kasus kekerasan yang diterima sepanjang periode Januari-April 2014. Dari
jumlah tersebut, 178 kasus atau sekitar 40% dengan tersangka asal lingkungan
sekolah, 30% tersangka asal keluarga sendiri, dan 30% sisanya campuran
lain-lain. Berbagai data tersebut menunjukkan betapa sekolah merupakan tempat
konflik dan kekerasan sangat mungkin terjadi, termasuk konflik dengan
penggunaan kekerasan dalam skala yang merusak dan menimbulkan korban
luka-luka atau meninggal dunia.
Beberapa jenis konflik dengan
penggunaan kekerasan, seperti tawuran antarsekolah dan kekerasan seksual
semisal yang terjadi di Jakarta International School (JIS), bahkan
menunjukkan kecenderungan melembaga dan terpola.Tawuran layaknya bagian dari
tradisi yang dibangun di sekolah.
Sementara itu, konflik dan kekerasan yang
memiliki intensitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan tawuran seperti
bullying, hukuman fisik, perselisihan antarpribadi, dan perkelahian
antarmurid dalam satu sekolah juga terus terjadi. Kebanyakan sekolah
menganggap hal itu merupakan kewajaran dan bahkan sebuah keniscayaan sehingga
cenderung membiarkan. Dalam tataran tertentu, penyelesaian konflik atau
masalah dengan penggunaan kekerasan bahkan menjadi kebiasaan di sekolah. Hal
itu sangat berpengaruh negatif bagi suasana sekolah sebagai sebuah lingkungan
belajar yang damai (Panggabean, 2008).
Sebagai salah satu negara
penganut paham demokrasi, Indonesia belumlah bisa dikatakan sukses jika
indikatornya ialah perkembangan pendidikan. Keuntungan otomatis yang bisa
diperoleh sebuah negara demokratis ialah berfungsinya seluruh aspek
pengelolaan dan penyelenggaraan negara secara demokratis, termasuk di
dalamnya aspek perkembangan pendidikan. Dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebutkan
hampir semua negara demokratis yang maju dan terkemuka menyumbang 92,1%
pembiayaan pendidikan dasar dan menengah.Hal itu terlihat dari intensnya
pajak untuk kebutuhan pendidikan yang disosialisasikan kepada dunia industri.
Di beberapa negara berkembang yang berpaham demokratis, perkembangannya
sedikit lebih lamban, sekitar 78%. Di manakah posisi Indonesia?
Salah satu kelemahan distribusi
anggaran pendidikan kita ialah minimnya dana untuk pelibatan masyarakat
terhadap sekolah. Dana untuk pelatihan guru dan kepala sekolah sedemikian
akut dan memburuk dalam aspek perencanaan dan implementasi. Hal tersebut
berimplikasi langsung terhadap usaha peningkatan kualitas pendidikan secara
merata di Tanah Air.Ada baiknya jika anggaran 20% yang telah disediakan
pemerintah saat ini juga digunakan untuk memberdayakan peran serta masyarakat
di tingkat sekolah, dengan sebanyak mungkin melatih komunitas sekolah
mendesain perencanaan pembiayaan sekolah masing-masing. Distribusi anggaran
pendidikan kita jangan sampai terjerumus ke dalam persoalan yang tak pernah
habis, yaitu pembangunan fisik sekolah yang rawan korupsi dan manipulasi.
Terkait dengan kompetensi
Dengan beberapa catatan di
atas, hampir dapat dipastikan awan gelap yang menggelayuti dunia pendidikan
kita masih tetap pekat. Kepekatan tersebut di antaranya ditandai cederanya
pelaksanaan ujian nasional (UN), pengembangan kurikulum 2013 (K-13) yang
selalu berubah dan tak dipahami pengelola sekolah, serta sertifikasi guru
yang setengah hati karena hanya berorientasi pada bentuk penilaian formal dan
jauh dari upaya peningkatan citra dan kemampuan atau kompetensi guru.
Tanpa melakukan check and recheck terhadap kondisi
aktual sekolah dan segala bentuk standar minimum yang digariskan pemerintah,
UN menjadi kontraproduktif dengan upaya para pendidik dalam menjalankan
fungsi sebagai guru, fasilitator, sekaligus teman para siswa di ruang
belajar. UN bahkan telah dengan sengaja merampas hak dan tugas para guru dan
pendidik yang seharusnya memiliki kewenangan dalam menentukan penilaian
terhadap siswa-siswa mereka.Padahal, dalam UU No 20 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 58 ayat 1 dijelaskan, `Evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan'.
Akal sehat kita pasti akan
menafsirkan ayat 1 tersebut dengan jelas menyebutkan penanggung jawab evaluasi
hasil belajar siswa ialah pendidik (guru), bukan pemerintah. Logika tersebut
sangat jelas dan terang benderang meskipun pemerintah memiliki interpretasi
berbeda dengan mengatakan bahwa yang membuat soal UN ialah para guru sehingga
UN tidak melanggar UU. Meskipun interpretasi pemerintah terlihat masuk akal,
jelas penafsiran tersebut lepas dari konteks ayat dan permasalahan yang
dimaksud dalam pasal 58 tersebut.
Kelalaian pemerintah diperparah
dengan kebijakan lainnya tentang K-13 yang bermasalah sedari awalnya.Hingga
dihentikannya K-13 oleh menteri yang baru, secara materiil K-13 sedemikian
jauh telah menghabiskan dana triliunan rupiah dan sekolah merespons secara
berbeda soal kebijakan tersebut. Implementasi K-13 jelas menggunakan strategi
yang salah karena tidak menggunakan sekolah sebagai unit analisis
implementasinya, tetapi menggunakan kelas secara tidak merata. Padahal, jika
sedari awal K-13 diimplementasikan secara gradual melalui sekolah-sekolah
terpilih, efek negatif sebuah perubahan kebijakan pastilah tidak separah saat
ini yang mengesankan dipenuhi unsur politis ketimbang alasan operasional.
Mengingat begitu strategisnya
kedudukan organisasi sekolah dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran
pada tingkat kelas dan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara luas,
seharusnya para pengelola sekolah termasuk kepala sekolah, pengawas, guru,
dan orangtua dilibatkan sejak awal dengan melatihkan K-13 kepada mereka
secara terpadu di tingkat sekolah. Semoga
di tahun depan kekisruhan soal UN dan K-13 tak terjadi lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar