Berharap
Stimulus Fiskal
dalam
Perekonomian Indonesia
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Desember 2014
TAHUN 2014 praktis sudah
berakhir. Di sepanjang tahun ini, banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan
perkiraan. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 5,1% atau turun jika
dibandingkan dengan 2013 sebesar 5,78%. Penyebabnya terutama ialah ketatnya likuiditas
di sektor perbankan yang menyebabkan ekspansi kredit hanya 13% atau meleset
dari target Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sekitar 15%-17%.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak bisa dipacu tinggi.
Rupiah juga mengalami
depresiasi cukup tajam, bahkan hampir menyentuh Rp13 ribu per dolar Amerika.
Penyebab utamanya lebih ke faktor eksternal. Pemulihan perekonomian AS
berjalan sangat cepat, me lebihi ekspek tasi. AS berhasil menurunkan tingkat
pengang guran dari 10% (2009) menjadi 5,8% (Oktober 2014).Penjualan mobil
juga sudah kembali ke level normal 18 juta unit. Indeks harga saham di New
York (Dow Jones Industrial Index)
bahkan menembus rekor baru 18.069 pada Jumat pekan lalu. Hal itu memicu
euforia para pemilik dana di seluruh dunia untuk secepatnya `memegang' mata
uang dolar Amerika dan berakibat pada menguatnya mata uang tersebut terhadap
seluruh mata uang dunia.
Akan tetapi, mengapa rupiah
terdepresiasi cukup dalam? Jawabannya ialah, selain faktor eksternal,
Indonesia mengalami masalah internal berupa defisit perdagangan (trade deficit) dan defisit transaksi
berjalan (current account deficit).
Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit perdagangan karena
harga komoditas primer (commodity
prices) yang menjadi andalan ekspor turun secara tajam. Harga sawit dan
batu bara turun hingga lebih dari 50% bila dibandingkan dengan puncak harga
pada 2009-2010. Hal itu disebabkan kombinasi penurunan permintaan (sawit)
serta timbul kesadaran untuk mengurangi polusi (batu bara).
Cadangan devisa
Sementara itu, defisit
transaksi berjalan juga terus terjadi, bahkan kian menjadi-jadi. Defisit
dalam 12 bulan terakhir (year on year)
pernah mencapai di atas US$20 miliar. Naiknya defisit itulah yang kemudian
menggerus cadangan devisa (foreign reserve)
dari level tertinggi US$124,7 miliar (Juli 2011) menjadi kini US$111 miliar.
Akibatnya, daya dukung cadangan devisa terhadap kurs rupiah menjadi melemah
sehingga rupiah pun terdepresiasi. Sebagaimana diketahui, cadangan devisa
merupakan indikator ekonomi makro yang paling objektif dan berkorelasi kuat
terhadap kurs suatu mata uang. Semakin besar cadangan devisa, semakin kuat
kurs mata uang. Pemilik cadangan devisa terbesar di dunia ialah Tiongkok
dengan US$3,9 triliun. Pada level setinggi itu, mata uang yuan (renminbi) pun
selalu kuat dan stabil.
Mengubah situasi defisit
menjadi surplus keseimbangan eksternal (external
balance) tidak bisa dilakukan seketika. Itu memerlu kan upaya besar
secara struktural dalam industrialisasi kita. Bagaimana caranya agar industri
kita menjadi lebih mandiri, tidak terlalu sensitif terhadap impor? Selama ini
kita terlalu sensitif terhadap impor; setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi
selalu diikuti dengan kenaikan impor. Tidak saja impor barang modal
(mesin-mesin), tetapi bahkan juga impor bahan baku dan bahan penolong.
Meski demikian, kita agak
`beruntung' bahwa defisit perdagangan kita hanya sekitar US$2 miliar sehingga
masih ada harapan hal itu bisa ditekan dan bahkan diubah menjadi surplus
dalam beberapa tahun mendatang. Ketika harga komoditas primer masih normal,
surplus perdagangan kita bervariasi antara US$20 miliar dan US$40 miliar per
tahun. Namun, soal defisit transaksi berjalan tampaknya masih memerlukan
waktu panjang untuk menekannya, atau syukur suatu saat mengubahnya menjadi
surplus.
Hal yang paling positif dari
2014 ialah keberanian dan kecepatan mengambil keputusan (decisiveness) Presiden Joko Widodo untuk menaikkan harga BBM
bersubsidi. Hal yang menjadi beban fiskal sangat besar tersebut (subsidi BBM
2014 sebesar Rp246 triliun, sedangkan 2015 sebesar Rp271 triliun) bisa
diturunkan secara drastis. Dengan harga BBM premium Rp8.500 per liter, saya
duga kini pemerintah (Pertamina) justru mulai meraih keuntungan. Ketika harga
BBM premium masih Rp6.500 per liter, harga keekonomiannya (harga tanpa
subsidi) Rp10.000 per liter. Dengan demikian, pemerintah menyubsidi Rp3.500
per liter. Waktu itu harga minyak dunia US$115 per barel, dengan kurs
Rp11.500 per liter.
Opsi pemerintah
Kini harga minyak dunia terjun
bebas menjadi di bawah US$60 per liter. Meski rupiah kini terdepresiasi ke
Rp12.500 per liter, saya yakin harga keekonomian BBM premium sudah di bawah
harga jualnya, misalnya Rp8.000 per liter. Pertanyaannya kini, apakah
pemerintah masih perlu menyubsidi BBM premium? Banyak pihak, termasuk Tim
Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri, menyarankan
diberlakukannya kebijakan subsidi tetap (fixed subsidy) Rp500 hingga Rp1.000
per liter.
Menurut saya, ketika harga
minyak dunia sedemikian rendah seperti sekarang (harga ini bahkan di bawah
harga minyak sebelum krisis subprime mortgage 2008), pemerintah tidak perlu
menyubsidi lagi. Jika perhitungan saya benar bahwa harga keekonomian Rp8.000
per liter, sedangkan harga eceran BBM premium Rp8.500 per liter, pemerintah
justru akan mendapatkan keuntungan Rp500 per liter.
Ada dua opsi pada titik
tersebut. Pertama, pemerintah mempertahankan harga Rp8.500 per liter sehingga
untung Rp500 per liter. Kedua, menurunkan harga menjadi Rp8.000 per liter
sehingga tidak memberi subsidi. Pada kedua opsi itu, pemerintah sama sekali
tidak memberi subsidi.
Secara umum, kini masyarakat
sudah mulai bisa menerima dan terbiasa dengan harga BBM premium Rp8.500 per
liter. Masyarakat juga cenderung tidak begitu menyadari bahwa penurunan harga
minyak dunia hingga 50% terhadap level harga Juni 2014 telah menyebabkan
pemerintah tidak lagi memberi subsidi. Bagi masyarakat, yang terpenting ialah
pemerintah benar-benar menggeser alokasi subsidi BBM menjadi belanja yang
produktif, seperti membangun infrastruktur, yang dampaknya bisa dirasakan
secara langsung oleh mereka.
Karena itu, saya mengusulkan
subsidi BBM dalam APBN 2015 sebaiknya dihapus, kecuali jika harga minyak
dunia melampaui, misalnya, US$80 per barel, atau harga keekonomian di dalam
negeri melebihi Rp8.500 per liter.
Harga minyak dunia US$80 per
barel rasanya sulit dicapai lagi. Penemuan minyak jenis baru di AS (shale oil) benar-benar sangat
revolusioner. AS kini memiliki cadangan minyak 1 triliun barel atau empat
kali lipat cadangan minyak Arab Saudi. Ditambah dengan sulitnya OPEC (Organization of Petroleum Exporting
Countries) menurunkan produksinya yang kini 30 juta barel per hari dari
seluruh produksi dunia 92 juta barel per hari, maka harga minyak pun sulit
untuk merangkak naik. Saya pun sependapat dengan APBN 2015 yang mengasumsikan
harga minyak dunia US$70 per barel. Pada tingkat harga tersebut, dengan
asumsi kurs rupiah Rp12.200 per dolar Amerika, saya duga harga keekonomian
BBM premium tetap terkendali tidak melebihi Rp8.500 per liter.
Stimulus fiskal
Dengan kata lain, jika
pemerintah tidak menyubsidi BBM premium pada 2015, terdapat dana sebesar
Rp270-an triliun untuk dibelanjakan secara produktif. Pemerintah bisa
mengalokasikan setidaknya Rp150 triliun untuk belanja infrastruktur, serta
selebihnya Rp120 triliun untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, bahkan cash transfer (pemberian uang tunai
kepada kelompok masyarakat termiskin).
Skema cash transfer lazim dilakukan di negara-negara maju dan bahkan
juga dilakukan di Tiongkok yang memiliki 90 juta-200 juta penduduk miskin
(dengan kriteria kemiskinan US$1,25 per orang per hari). Dengan kriteria
tersebut, jumlah orang miskin di Indonesia diperkirakan 65 juta orang atau
ekuivalen 13 juta keluarga (household).
Jika pemerintah mengalokasikan Rp20 triliun saja untuk cash transfer, setiap keluarga miskin akan mendapatkan uang tunai
Rp1,5 juta per keluarga per tahun. Jumlah itu bisa membantu daya beli
keluarga miskin.
Dengan berbekal tambahan
stimulus fiskal Rp270 triliun tersebut (di luar anggaran Rp200 triliun untuk
pos infrastruktur yang sudah dicanangkan sejak awal), kita masih layak
berharap pertumbuhan ekonomi 2015 bakal lebih tinggi daripada 2014, misalnya
sekitar 5,5%.
Optimisme lain bisa berasal
dari inflasi. Pada 2015 diperkirakan, inflasi hanya 5% atau kembali ke level
normal. Ini lebih rendah daripada inflasi 2014 yang saya perkirakan mencapai
7,5%, sebagian disumbang penaikan harga BBM pada November 2014. Pada 2015,
sudah tidak akan ada lagi ancaman kenaikan harga BBM. Dengan inflasi yang
`jinak' serta kurs rupiah stabil di level Rp12 ribuan per dolar AS,
likuiditas perbankan pun akan berangsur-angsur melonggar. Ekspansi kredit
bank pun diharapkan beranjak naik ke level 15%. Itu cukup untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi 5,5% (dari target pemerintah 5,8%).
Secara umum 2015 memang tidak
mudah. Namun, bekal windfall
stimulus fiskal serta inflasi yang terkendali akan menjadi dua modal
terpenting (necessary condition)
untuk meraih kinerja yang lebih baik. Sementara itu, antusiasme untuk bekerja
yang ditunjukkan Presiden Jokowi beserta jajaran kabinetnya juga diharapkan
dapat menjadi modal besar lainnya (sufficient
condition). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar