Now
(Not) Everyone Can Fly
Hery Ratno Bagio ; Military and aviation enthusiast
|
JAWA
POS, 09 Januari 2015
SAAT tulisan ini dibuat, MGS Geo Survey sudah berhasil
menemukan lokasi ekor pesawat. Temuan itu sudah dikonfirmasi penyelam TNI-AL dengan
bukti foto. Semoga jenazah seluruh penumpang bisa ditemukan dan dievakuasi.
Semoga FDR (flight data recorder)
dan CVR (cockpit voice recorder)
bisa ditemukan sehingga KNKT bisa mengungkap penyebab kecelakaan tragis
tersebut dan menarik pelajaran penting dari tragedi itu.
Selain menyisakan duka mendalam terhadap keluarga korban,
tragedi AirAsia QZ8501 menggulirkan bola liar. Saat sidak di Bandara
Soekarno-Hatta, Menhub Ignasius Jonan menemukan praktik penyimpangan brifing
pra penerbangan. Sebagai tindak lanjut, Kemenhub melakukan audit lebih
mendalam dan menemukan ketidaksesuain pelaksanaan slot izin terbang dari
Surabaya ke Singapura. Sebagai konsekuensinya, izin terbang sementara
dibekukan. Yang menjadi masalah, ternyata bukan hanya AirAsia yang kena
batunya. Belasan penerbangan dari berbagai maskapai dibatalkan.
Ujung-ujungnya, ribuan penumpang gagal atau terlambat terbang karena pesawat
yang akan mereka tumpangi dilarang terbang otoritas bandara. Bukan karena
faktor teknis, namun semata administratif. Kalau selama ini penerbangan
tersebut tetap berlangsung, itu berarti pengawasannya bisa dipastikan kendur.
Bukankah itu keteledoran kementerian sendiri? Salah penumpang apa? Siapa yang
harus menanggung kerugian mereka?
Makin menjadi polemik, dengan dalih hasil audit dan
keyakinan dampaknya terhadap keselamatan penerbangan, Kemenhub yang diwakili
staf khususnya mewacanakan pengaturan batas bawah maskapai penerbangan
berbiaya rendah (low cost carrier/LCC).
Dengan istilah lain, Kemenhub mewacanakan penghapusan model penerbangan
berbiaya rendah. Alasan yang dikemukakan agak sulit diterima nalar; agar
maskapai mempunyai ruang finansial yang cukup untuk, misalnya, membuat ruang
brifing dan mengontrak FOO (flight
operation officer) yang berkualifikasi tinggi. Sulit diterima nalar
karena seolah Kemenhub sudah mengaudit keuangan LCC dan menemukan fakta bahwa
mereka kesulitan keuangan sehingga bahkan membuat ruang brifing saja tidak
mampu, bahwa menggaji FOO bagus saja kesulitan. Kalau hal remeh-temeh begitu
saja tidak bisa dianggarkan, bagaimana LCC bisa mengoperasikan dan merawat
pesawat mahal? Tidak perlu ahli penerbangan untuk mengetahui bahwa sejumlah
LCC justru mampu mengadakan pesawat terbaru dan tercanggih di kelasnya. Fakta
bahwa Lion Air membeli ratusan pesawat baru tipe B-737 900 ER sekaligus
menjadi launch customer (pemakai pertama) seharusnya mematahkan dugaan LCC
miskin dana. Lion tercatat sebagai pembeli pesawat Boeing dan Airbus
terbanyak hingga Obama dan Francois Hollande pun hadir saat Rusdi Kirana
menandatangani pemesanan pesawat senilai ratusan triliun! Pesawat baru Airbus
juga memperkuat armada AirAsia dan CitiLink.
Pesatnya pertumbuhan LCC di berbagai penjuru dunia bisa
dijadikan indikasi bisnis model tersebut amat menjanjikan. Kalau pesawat jet
semahal itu bisa dibeli, apalah artinya ruang brifing di tiap bandara?
Mungkin masalahnya ada pada interpretasi peraturan yang belum sinkron atau
brifing dipandang tidak memerlukan ruangan khusus atau alasan lainnya. Apa
pun, mustahil ada maskapai yang mau pesawatnya celaka bukan? Murah atau
mahal, jelas faktor keselamatan nomor satu.
Arti Penting LCC bagi Masyarakat
LCC mendorong pertumbuhan luar biasa jumlah penumpang
sehingga bandara di tanah air berbenah, bahkan menambah terminal seperti
halnya Terminal 3 Soetta dan Terminal 2 Juanda. Bagi masyarakat pengguna jasa
penerbangan, adanya LCC merupakan solusi transportasi yang menguntungkan
karena aman, nyaman, cepat, dan murah. Aman karena terbukti persentase
kecelakaan udara masih jauh lebih rendah daripada moda transportasi darat
maupun laut. Nyaman karena selain faktor pesawat, fasilitas bandara memang
jauh lebih baik, lengkap, dan efisien bila dibandingkan dengan terminal
ataupun pelabuhan. Murah bila dibandingkan dengan maskapai layanan penuh, bahkan
jika dibandingkan dengan kereta eksekutif yang jauh lebih lambat.
Karakteristik LCC yang membuka penerbangan larut malam dan dini hari juga
bisa memberikan pilihan waktu yang lebih fleksibel terhadap penumpang.
Biarlah bandara menjadi mirip terminal karena penuh hiruk pikuk penumpang.
Setidaknya mereka tidak turut menyesaki jalanan yang pertumbuhan kilometernya
selambat siput.
Sebaiknya Kemenhub menahan diri sebelum KNKT (Komite
Nasional Keselamatan Transportasi) menuntaskan investigasi terhadap AirAsia
QZ8501. Berbagai temuan dan wacana menaikkan batas bawah tiket adalah hal
yang didasari niat baik, tapi tidak terkorelasi langsung dengan celakanya
penerbangan itu. Langkah-langkah yang sudah diambil terkesan kontraproduktif
bila dibandingkan dengan aksi-aksi heroik Basarnas dan seluruh tim
pendukungnya.
LCC punya market segmen tersendiri dan amat dibutuhkan
pemakai jasa angkutan udara. Semurah apa pun tiket yang mereka jual merupakan
bagian dari strategi bisnis yang sangat terukur dan tidak terkorelasi dengan
tingkat keselamatan. Maskapai seperti itu tentu tahu risiko sangat besar bila
menomorduakan faktor keselamatan penerbangan. Silakan ketat dan tegas
terhadap maskapai terkait keselamatan penerbangan tanpa perlu membatasi
semurah apa tiket yang mereka tawarkan. Menghapus tiket murah justru
merugikan kepentingan masyarakat pengguna transportasi udara.
Dan, andai bersikeras dengan rencananya, ada baiknya
Kemenhub segera menyarankan AirAsia Indonesia untuk mengubah tagline-nya,
dari yang semula Now Everyone Can Fly
menjadi Not Everyone Can Fly.
Terakhir, semoga arwah seluruh penumpang AirAsia QZ8501
diterima di sisi-Nya dan kisah tragis penerbangan ini bisa memberikan hikmah
serta pelajaran yang bisa digunakan untuk lebih meningkatkan keselamatan
penerbangan di masa mendatang. Aamiin.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar