Menyoal
Kesiapan Pemerintahan Desa
Suyatno ; Analis Politik Pemerintahan pada FISIP
Universitas Terbuka
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Januari 2015
LAHIRNYA Undang-Un dang No 6 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Desa, tampaknya masih membutuhkan kesiapan pelaksanaannya
dalam berbagai aspek yang serius. Kesiapan itu baik di tingkat atas
(pemerintah pusat) maupun level bawah (grass
roots) di desa sendiri. Salah satu tampak jelas terkait perubahan
nomenklatur kementerian untuk mengurusi dana desa.Belum ada titik temu bahwa
Kemendagri akan menyerahkan atau tidak Ditjen PMD ke Kementerian Desa, PDT,
dan Transmigrasi. Karena itu, diyakini bila penyerahan dilakukan, komitmen
pembangunan desa akan segera terwujud.
Sementara UU Desa baru itu
melahirkan karakteristik unik desa dalam struktur formal kelembagaan negara
Republik Indonesia. Itu masih menyisakan keraguan akan terlaksana dengan
baik. Setidaknya, ada tiga aspek yang problematik dialami desa. Ketiganya
menyangkut kesiapan personel aparatur pemerintahan desa, penerapan, dan
penggunaan anggaran maupun peningkatan fungsi pelayanan masyarakatnya seiring
tingginya dana yang diperoleh.
Anggaran Rp1,4 miliar tiap desa
per tahun yang diamanat kan UU Desa memang memunculkan kekhawatiran
tersendiri akan efektivitas dan transparansi penggunaannya.Jumlah sebesar itu
tidak tepat sasaran bahkan akan sia-sia tanpa kesiapan yang optimal dari
tingkat pusat hingga desa.Lantas hal-hal apa saja yang menjadi problem dalam
sistem pemerintahan desa yang baru ini? Apakah desa sudah siap dalam
pelaksanaan UU Desa?
Kesiapan apa yang diperlukan dalam
tegaknya penerapan UU Desa ini?
Rentan
kesiapan
UU tersebut ditujukan guna
meningkatkan partisipasi dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa.
Tujuan itu menunjukkan bahwa kehendak bottom up dalam berjalannya fungsi
pemerintahan. Dalam konsep demikian, masyarakat desa sudah saatnya menjadi
pelaku utama dalam kegiatan pembangunan di desanya. Tentu peran serta itu
harus diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai.Untuk itu, peran pemerintah
masih sangat diperlukan dalam sosialisasi UU ini.
Selain itu, UU juga berfungsi
mempercepat pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat desa. Artinya, di bawah UU No 6 Tahun 2014 berarti
memberikan harapan baru guna meningkatkan peran aparat pemerintah desa
sebagai garda terdepan dalam pembangunan dan kemasyarakatan.
Saat pelaksanaan UU Desa yang kian
mendesak berhadapan dengan perubahan struktur pemerintahan desa yang belum
tertata, hal tersebut membuat kondisi menjadi rentan. Bila itu tidak segera
diterapkan, akan melanggar UU. Namun, kalau hal tersebut dipaksakan dengan
kesiapan yang minim, bisa menjadikan kondisi yang amburadul. Penerapan hanya
berhenti pada tataran formalnya. Sementara secara substansi tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Memang dalam penerapan sebuah tata
kerja yang baru tidak bisa langsung dilakukan dengan sempurna. Namun,
kesiapan pemerintahan desa akan lebih meminimalkan persoalan yang terjadi
sehingga tujuan utama penerapan UU Desa akan menjadi kenyataan.
Problem
di bawah
Pengawasan yang dilakukan terhadap
desa selama ini masih ada sejumlah permasalahan yang menjadi temuan. Temuan
ini menunjukkan bahwa banyak desa yang belum memiliki kesiapan memadai dalam
penerapan UU Desa yang baru. Temuan itu terkait proses dan administrasi
pemerintahan yang harus segera diakhiri agar desa bisa berfungsi dengan baik.
Temuan yang masih terjadi, di antaranya surat pertanggungjawaban (SPJ) yang
belum memenuhi syarat formal dan material. Kemampuan kepala desa berikut
aparaturnya masih menjadi kendala. Selain itu, sering pula pemeriksaan atasan
langsung atas pengelolaan keuangan belum dilaksanakan sesuai ketentuan dan
pengelolaan pembangunan dan administrasi pelaksanaan kegiatan belum tertib.
Di samping kemampuan, kedisiplinan ternyata turut mendukung kekarut-marutan
pemerintahan desa.
Lebih parah lagi, pada hal
tersebut sering dialami ketekor an kas desa karena terjadinya penyimpangan
pengelolaan keuangan desa.Bentuk lainnya berupa tunggakan sewa tanah kas desa
serta belum lengkapnya buku administrasi keuangan ataupun barang desa.
Keadaan itu rentan menjadi indikasi penyelewengan keuangan desa, seperti
pemakaian keuangan desa tanpa laporan.
Di samping itu, kerap timbul
penyelewengan dalam pengelolaan keuangan begitu pula dengan aset desa. Hal
tersebut akibat inventarisasi serta sistem pembukuan administrasi yang buruk,
di antaranya tidak tertib dalam pembukuan administrasi keuangan, baik buku
kas umum (BKU) maupun buku bantu, bahkan ada pula desa yang tidak membuat
BKU. Masih banyak hal yang menjadi kelemahan desa yang harus dibenahi dan
dipersiapkan untuk menghadapi UU baru di desa.
Menyiapkan
Pelaksanaan sistem pemerintahan
desa di bawah UU Desa yang baru menuntut
kesiapan yang sangat baik.Berbagai
hal harus diperhitungkan, direncanakan, dan diawasi pelaksanaannya terus
menerus. Termasuk diperlukan pengarahan, penyuluhan, bahkan pendampingan agar
benar-benar dilaksanakan sesuai aturan yang ada. Sejumlah upaya bisa
dilakukan untuk meningkatkan kesiapan pelaksanaan pemerintahan desa.
Pertama, meningkatkan kematangan
dalam melaksanakan peraturan yang terkait dengan pemerintahan desa. Pematangan
itu dalam bentuk peningkatan terus menerus terhadap pemahaman terhadap materi
UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tidak hanya UU saja, tetapi juga PP No 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Demikian
juga PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari
APBD.Pematangan itu meliputi tingkat pemerintah pusat, daerah, hingga ke desa.
Kedua, penyiapan agar se genap
pihak terkait bisa memiliki respons dengan cara yang benar terhadap sistem
pemerintahan desa yang baru. Respons itu akan menentukan keberhasilan tujuan
diterapkannya UU Desa ini.Yang termasuk dalam upaya itu ialah meningkatkan
sikap mawas diri aparatur sebagai tindak cegah melakukan pelanggaran,
penyalahgunaan, dan penyimpangan dalam pemerintahan desa.
Ketiga, menyiapkan tenaga yang
memiliki minat dan motivasi serta disiplin cukup dalam melaksanakan
pemerintahan desa. Langkah itu bisa ditempuh melalui perekrutan personil yang
berkemampuan memadai. Bagi aparatur yang sudah ada, cara itu ditempuh melalui
pendidikan dan pelatihan secara teratur dan berkelanjutan.
Keempat, penentuan tingkatan yang
harus dicapai aparatur, baik desa maupun tingkat an di atasnya. Bagi aparatur
desa dituntut memiliki kemampuan dalam penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa,
penyusunan APB Desa, maupun penyusunan LPJ Desa. Demikian pula dalam menyusun
administrasi pembukuan dan aset pemerintah desa.
Pengalaman menunjukkan bahwa
ketidakmatangan dalam penerapan sistem otonomi daerah beberapa waktu lalu
telah mengakibatkan fungsinya jauh panggang dari api. Hal itu tidak boleh
terjadi terhadap desa kita. Kesiapan yang lebih baik akan jauh bermanfaat
daripada penerapan yang tergesa-gesa dan dipaksakan. Namun, berkutat pada
hal-hal yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat desa sehingga menjadi
hambatan, juga bukan tindakan yang bijak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar