Artis
Terperangkap Narkoba
Bagong Suyanto ; Dosen FISIP Unair, pada 2013–2014 melakukan
penelitian dari Dikti tentang pengangguran terdidik di Jawa Timur
|
JAWA
POS, 09 Januari 2015
MESKIPUN sudah banyak artis yang dipenjara gara-gara tertangkap
tangan memakai narkoba, ternyata hal itu tidak membuat mereka jera. Di media
massa, kabar terbaru melaporkan bahwa Fariz R.M., seorang musisi senior
terkenal, tertangkap aparat kepolisian ketika sedang menikmati tiga jenis
narkoba di rumahnya (Jawa Pos, 7
Januari 2015). Sebelumnya, media melaporkan, Tessy alias Kabul Basuki,
seorang pelawak tenar dari Srimulat, juga tertangkap tangan aparat kepolisian
ketika berpesta narkoba bersama dua rekannya di Bekasi, Jawa Barat (Jawa Pos, 29 Oktober 2014).
Fariz adalah artis yang kesekian kali menambah panjang
daftar nama selebriti yang ketahuan mengonsumsi narkoba di tanah air ini.
Sebelumnya; beberapa nama tenar seperti Tessy, Polo, Doyok, dan Gogon; artis
sinetron seperti Roger Danuarta, Jennifer Dunn, Garry Iskak, dan Roy Marten;
serta penyanyi terkenal seperti Sammy Kerispatih, Gito Rollies, dan lain-lain
adalah contoh artis yang pernah bersentuhan dengan barang haram yang merusak
jiwa itu.
Kehidupan dunia malam dan panggung hiburan yang menuntut
penampilan artis serbaperfek adalah salah satu faktor yang menyebabkan banyak
artis terperangkap dalam penyalahgunaan narkoba. Di samping itu, sebagai
artis yang bergelimang harta, bisa dipahami jika mereka menjadi target
prioritas mafia pengedar narkotik. Di mata mafia tersebut, artis adalah
target pasar yang menguntungkan. Sebab, selain banyak uangnya, artis dinilai
potensial menjadi iklan terselubung untuk memasarkan narkoba di kalangan para penggemar artis yang bersangkutan.
Tidak peduli apakah seseorang berstatus artis, orang
biasa, politikus, atau pelajar, mereka semua sebetulnya berpotensi menjadi
pengguna narkoba. Tetapi, ketika yang menjadi pengguna narkotik adalah artis
atau selebriti yang populer, kasusnya menjadi menarik untuk dibahas lebih
lanjut. Sebab, bukan tidak mungkin dampaknya meluas dan memengaruhi
masyarakat, terutama para penggemar mereka.
Penggemar, seperti dikatakan Joli Jensen (2001), adalah
sosok massa yang secara kuantitatif relatif banyak dan sering melakukan hal
imitatif untuk memperlihatkan identitas kecintaan mereka kepada artis yang
dipuja. Penggemar adalah sekumpulan orang yang muncul sebagai konsekuensi dan
respons terhadap sistem bintang. Artinya, pasivitas melekat pada penggemar.
Dan sudah menjadi rahasia umum jika yang dilakukan penggemar biasanya
mencontoh yang dilakukan artis yang mereka sukai.
Seorang artis seperti Fariz R.M., yang tertangkap tangan
karena memakai narkoba, dalam pandangan penggemarnya bukanlah sosok pelaku
tindak kriminal atau orang yang salah. Dalam kenyataan, sering artis yang
tertangkap tangan memakai narkotik atau melakukan hal-hal negatif lain tetap
saja dielu-elukan oleh penggemar, seolah tindakan keliru yang dilakukan
pujaannya itu hal yang seharusnya dimaafkan karena artis adalah seorang bintang.
Dalam konteks masyarakat postmodern, penggemar biasanya
akan larut ke dalam sistem selebriti modern yang berkembang dan dikembangkan
melalui media massa. Perilaku yang dikembangkan penggemar acap meliputi
askripsi yang berlebihan, histeria, tampilan yang emosional, bahkan tak
jarang perilaku keranjingan yang membabi buta.
Walaupun sang artis ketahuan berbuat salah, dalam
pandangan penggemar yang telanjur fanatik, semua tidak penting. Sebab, yang
mereka hadapi sesungguhnya adalah sebuah dunia simulacra: sebuah
hyper-reality yang menawarkan mimpi dan kesenangan tanpa batas. Bagi para
penggemar, apa yang diucapkan, dikenakan, dan dilakukan artis idolanya adalah
hal-hal yang mereka puja serta sejauh mungkin ditiru. Jangan kaget jika yang
dilakukan seorang penggemar yang terobsesi dan tergila-gila kepada artis
tertentu bukan hanya mengoleksi merchandise dan hal-hal lain yang identik
dengan sosok sang artis, tetapi juga mengembangkan perilaku imitatif.
Berbeda dengan orang yang memiliki keyakinan dan sikap teguh,
penggemar biasanya merupakan sosok massa yang tidak memiliki identitas
personal. Apa yang diperlihatkan dan bagaimana penggemar merepresentasikan
diri biasanya tidak mencerminkan karakter yang sesungguhnya dari dirinya,
melainkan karakter yang disesuaikan dengan penampilan artis idola. Selera,
gaya hidup, dan performance penggemar cenderung tidak berbeda dengan
penggemar yang lain. Sebab, kiblat dari semua yang mereka lakukan memang
penampilan dan kelakuan sang artis. Jadi, jika ada seorang artis yang
tertangkap tangan menggunakan narkotik, bisa saja hal itu justru menjadi
ilham bagi penggemar untuk kemudian mencoba-coba melakukan hal yang sama.
Pada titik itulah, berita-berita tentang penangkapan artis
pengguna narkoba, kasus artis yang berbuat mesum, dan lain sebagainya
sesungguhnya bisa bermakna ganda. Di satu sisi, ekspose berita seperti itu
dapat menjadi tempat untuk berkaca agar kita tidak terjerumus dengan
melakukan kesalahan yang sama. Tetapi, di sisi lain, ekspose tentang artis
yang tertangkap tangan mengonsumsi narkoba justru menjadi lahan subur
sekaligus faktor pendorong bagi penggemar untuk melakukan hal yang sama.
Kalau mengacu pada peraturan yang berlaku seperti UU No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, sudah jelas bahwa siapa pun yang terbukti
mengonsumsi narkotik harus diproses secara hukum untuk kemudian diputuskan
harus menjalani rehabilitasi atau diancam hukuman penjara.
Di Indonesia sendiri, saat ini diprediksi jumlah pengguna
narkotik terus bertambah. Sedangkan formula seperti apakah yang paling tepat
untuk menangani kasus penyalahgunaan narkoba harus diakui belum terumuskan
dengan baik. Diperkirakan, pada 2015 ini, jumlah pengguna narkotik mencapai
2,8 persen atau setara dengan 5,6 juta penduduk.
Kasus yang dialami Fariz, Tessy, dan artis-artis lain bisa
dipastikan adalah fenomena gunung es. Secara sosial-psikologis, terbongkarnya
perilaku artis yang mengonsumsi narkotik memang memprihatinkan karena efeknya
terhadap perilaku imitatif penggemar mereka. Tetapi, dalam konteks untuk meningkatkan
pemberantasan penyalahgunaan narkotik, yang lebih penting sesungguhnya bukan
siapa dan berapa jumlah para pengguna yang telah tertangkap.
Bagi pengguna narkoba, telah disadari penanganan yang
lebih baik adalah menempatkan mereka sebagai korban, kemudian memastikan
bahwa mereka memperoleh perawatan medis dan sosial yang bisa berfungsi
efektif untuk mencegah kemungkinan kambuh. Tetapi, untuk memastikan langkah
itu benar-benar efektif, barangkali ada baiknya jika artis yang tertangkap
tangan mengonsumsi narkoba diwajibkan menjalani masa kerja sosial untuk ikut
bertanggung jawab mencegah meluasnya peredaran narkoba di masyarakat,
khususnya kelompok penggemar mereka. Dengan diberi tanggung jawab sosial dan
moral seperti itulah, mungkin kesadaran para artis untuk lebih menjaga
perilaku dapat lebih terjamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar