Nasib
Seni Indonesia di Biennale Venesia
FX Harsono ; (Tanpa Penjelasan)
|
KOMPAS, 11 Januari 2015
Di ujung
tahun 2014 ada peristiwa yang menarik untuk dicermati dalam seni rupa
kontemporer Indonesia, yaitu mundurnya Farah Wardani sebagai kurator dari
Paviliun Indonesia di Venice Biennale ke-56 tahun 2015. Pernyataan mundurnya
Farah Wardani diunggah dalam Facebook pada tanggal 28 Desember 2014.
Mengapa
mundurnya Farah menarik untuk diperhatikan? Persoalannya adalah bahwa Venice
Biennale (VB) bersifat internasional. Dalam perhelatan besar semacam ini
haruslah Indonesia diwakili oleh seniman yang baik. Kedudukan seorang kurator
dipercaya bisa memilih seniman dan membuat konsep kuratorial sebagai arahan
pameran yang merepresentasikan kualitas seni rupa kontemporer Indonesia di
forum internasional.
Indonesia
sebelumnya pernah beberapa kali menjadi bagian dari VB, yaitu pada tahun 2003
yang dikurasi oleh Amir Sidharta dan 2005 yang dikurasi oleh Dwi M Marianto.
Keikutsertaan Indonesia dalam VB 2005 berakhir dengan peristiwa yang
memprihatinkan. Panitia penyelenggara Paviliun Indonesia tidak bisa mbayar
sewa rumah yang dijadikan tempat pameran. Sejak saat itu Indonesia masuk
dalam daftar hitam VB, dicekal agar tidak bisa ikut VB lagi dan karya-karya
para seniman ditahan. Pada tahun 2013 PT Bumi Purnati Indonesia berhasil
membebaskan Indonesia dari pencekalan oleh panitia VB dan bisa ikut kembali.
Orang boleh
berdebat tentang kualitas VB yang dianggap hanya sekadar olimpiade seni rupa
karena semua negara bisa mengirimkan perwakilannya di VB. Juga isu
komersialisasi lokasi dan paviliun hanya sebagai bisnis semata. Akan tetapi,
tak bisa dimungkiri bahwa VB bisa menjadi media promosi bagi seni rupa
kontemporer Indonesia di forum internasional. Orang juga boleh bilang bahwa
banyak pameran besar seni rupa di dunia yang memaka format biennale yang
juga penting, yang juga diikuti oleh seniman Indonesia. Namun, mereka itu
mewakili diri mereka masing-masing sebagai seniman, sementara Paviliun
Indonesia di VB mewakili Indonesia, di sini perbedaannya.
Berjalan sendiri
Praktisi seni
rupa, yang terdiri dari seniman, kurator, peneliti, dan kritikus seni rupa,
di Indonesia selama ini berjalan sendiri sehingga tidak heran jika mereka
bersikap pasif dan hanya menunggu undangan dari forum-forum internasional
karena memang mereka tidak ada dana atau sponsor. Strategi dan tindakan nyata
untuk memperkuat posisi seni rupa kontemporer di forum internasional tidak
terencana dengan baik, demikian juga dengan Paviliun Indonesia di VB.
Mundurnya Farah bisa dimaknai sebagai terjepitnya idealisme oleh
kepentingan-kepentingan di luar seni rupa yang rumit dan penuh dengan intrik,
yang membuat mereka yang berjuang untuk seni rupa menjadi tidak nyaman dan
sering kali memilih untuk mundur.
Kalau memang
VB dianggap mewakili Indonesia dan penting, sudah seharusnya penyelenggaraan
dikelola oleh lembaga yang independen, dengan demikian konsep kuratorial
bebas dari intervensi yang lebih mengedepankan profit, kepentingan pribadi,
atau lainnya yang di luar tujuan pengembangan seni rupa. Selain itu, bahwa
kehadiran seni rupa Indonesia sudah selayaknya di posisikan sebagai peristiwa
kebudayaan bukan sekadar peristiwa kesenian yang seremonial dan eksotis.
Peristiwa
kesenian secara implisit berada dalam gerak kebudayaan. Apakah hal ini
disadari atau tidak oleh pemerintah dan apakah kesenian didukung atau tidak,
namun gerak kebudayaan tidak bisa dihentikan, ini adalah niscaya, berjalan
sesuai dengan dinamika kehidupan. Manusia yang berbudaya menjadi lebih
beradab, lebih peka terhadap kehidupan yang beretika. Bisa dikatakan bahwa
kebudayaan adalah kebutuhan dasar dari kehidupan yang beradab.
Perjalanan
seni rupa Indonesia di VB atau biennale-biennale lainnya menunjukkan
pengakuan terhadap kebudayaan Indonesia di mata dunia. Dengan demikian,
pembiaran oleh pemerintah terhadap kegiatan kesenian sudah saatnya diakhiri.
Agar para seniman, kritikus, kurator, akademisi, peneliti, penulis sejarah,
dan pengumpul arsip bisa fokus dalam mengembangkan seni rupa kontemporer
Indonesia. Sementara saat ini mereka terpaksa harus negosiasi dengan pihak
pemberi donor, membuat proposal, untuk mencari dana yang bisa menunjang
kegiatan seni rupa agar berjalan terus.
Apakah dana
yang diterima memiliki independensi, tanpa tekanan dan tanpa intrik? Memang
sulit untuk dibilang independen, semuanya bak permainan sirkus. Siapa yang
pandai membangun jaringan dan bisa bermain cantik akan eksis. Tidak semua
praktisi seni mampu melakukan itu, maka muncul anggapan, manakala support
datang campur tangan pemerintah atau lembaga komersial pun tak terhindarkan.
Campur tangan justru memperkeruh keadaan, karena selama ini pengambil
kebijaksanaan sering kali mengabaikan suara praktisi seni rupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar