“Je
Suis Charlie” Ya! Tetapi…
Jean Couteau ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 11 Januari 2015
Bagi para
kartunis majalah Charlie Hebdo yang dibantai di ruang redaksinya beberapa
hari yang lalu, satir adalah suatu keniscayaan. Satir mereka memang kerap
vulgar, tetapi kevulgaran itu disengaja untuk mengundang kontroversi. Ia
menelanjangi kontradiksi-kontradiksi yang hadir di masyarakat, tetapi tidak
pernah diungkap oleh lembaga-lembaga biasa (pemerintah, lembaga pendidikan,
pers berita, dan lain-lain).
Di dalam
majalahnya, tidak ada pihak yang tabu diserang, yang tidak ditertawakan
dengan ”kurang ajar” dan nakal. Semua kena. Tujuannya, mengkritik kekuasaan,
menyerang sang borju, mengolok-olok mereka yang kelewat serius, mengempeskan
kaum fanatik, membuka rahasia seksual tokoh moralis dan lainnya. Provokasi
menjadi alat intelektual, moral, dan politik. Itulah yang dilakukan majalah
Charlie Hebdo.
Sikap
”kekurangajaran” provokatif ini memang berdarah daging di Perancis, di mana,
secara historis, praktik ”liberté”
(kebebasan) kerap identik dengan menantang segala larangan dan tabu. Sejak
Rabelais (1494-1553), dan terutama Voltaire (1694-1778), satir sarkastik
senantiasa menjadi sarana untuk melepaskan diri dari kekangan ketat teokrasi
(negara agama) Katolik dan melahirkan kesadaran baru serta kebebasan
individual. Perjuangan panjang itu bermuara pada Deklarasi Hak Asasi Manusia
dan Warga Negara pada awal Revolusi Perancis (1789-1799) dan pada situasi
kekinian, di mana kuasa agama dibatasi pada ruang privat dan tidak lagi
ditentukan oleh negara.
Liberté itu
kini berlaku mutlak; boleh menyanjung atau menyindir keyakinan apa pun, asal
tidak menebarkan kebencian… Dengan sendirinya, delik pelecehan agama hilang
relevansinya. Satir tetap ada, tetapi fungsinya tidak lagi memperluas ruang
kebebasan, melainkan menjaga agar liberté tidak dikikis oleh kekuatan gelap
seperti uang, moralisme semu, dan kefanatikan politik dan religius.
Di Perancis
banyak pihak ”marah” dijadikan sasaran Charlie Hebdo. Namun, menarik dicatat:
mereka pada umumnya mendukung ”kekurangajarannya” sebagai symbol liberté.
Misalnya surat kabar La Croix, majalah Katolik, yang Pausnya kerap disindir
secara vulgar, menulis bahwa wartawan yang dibunuh ”membela kebebasan
berpikir sampai ujung-ujungnya”. Presiden Hollande, yang dicemooh secara
gamblang di kartun Charlie Hebdo, menyebut para korban sebagai ”pahlawan”.
Hal ini menunjukkan bahwa satir telah menjadi kultur: selama majalah satir
bersikap ”merdeka”, ”pintar” dan ”lucu”, ia dihormati oleh siapa pun,
termasuk lawan ideologisnya. Begitulah logika ”liberté” mutlak yang berlaku
di Perancis dan di Barat pada umumnya, dengan aneka varian.
Itulah juga
justru masalahnya. Oleh karena nilai-nilai kebebasan (luhur) yang dibanggakan
orang Perancis (dan Barat lainnya) dan diupayakan disebarluaskan di seluruh
dunia atas nama ”universalisme” justru kerap dianggap tidak universal, dan
malahan dirasa sebagai ancaman, wajah baru imperialisme Barat. Tak ayal,
nilai kebebasan memang nyatanya meluas selaras dengan globalisasi kapital,
dan gabungan keduanya mengguncang seluruh tatanan sosial : kuasa ekonomi,
kuasa atas ”jiwa”, dan tak kurang penting, kuasa patriarkat atas kaum dan
tubuh wanita. Tidak mengherankan bila dilawan, kadang dengan kasar, atas nama
tafsir agama yang miring. Maka kita semua berhadapan dengan suatu dilema:
apakah harus membatasi kebebasan berekspresi atas nama kestabilan sosial,
atau apakah harus memihak kebebasan itu secara prinsipil. Kedua sikap
mengandung risiko: intelektual untuk yang pertama; politik-keamanan untuk
yang keduanya.
Dalam
menghadapi dilema perihal kritik agama, Indonesia berpangkal pada tiga
tradisi yang berakar kuat di masyarakat: sinkretisme pribumi, hukum ”fiq”
Islam normatif, dan tradisi ”kebebasan” Barat. Solusi yang ditawarkannya
ialah meramu ”kebebasan” dan ”fiq” dengan sinkretisme Jawa. Hasilnya adalah
”Pancasila”: yaitu kemutlakan ketuhanan disertai dengan kewajiban bagi
agama-agama nasional untuk berkoeksistensi satu sama lainnya, yakni untuk
meredakan perbedaan teologisnya dan sebaliknya menekankan titik persamaan
spiritualnya.
Untuk
berhasil, ramuan khas Indonesia ini menuntut adanya beberapa syarat: kritik
lunak; tafsir agama terbuka, serta kontrol ketat atas sistem pendidikan. Kebebasan
spiritual perorangan akan dengan sendirinya sedikit demi sedikit diperluas.
Alternatifnya adalah darah. Singkatnya: ”Je Suis Charlie” di Perancis. Tetapi
bukan di Indonesia.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar