Hidup
Baru
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 11 Januari 2015
Beberapa hari
setelah tahun baru, saya berjumpa dengan seorang teman lama. Dalam percakapan
di sore hari itu, saya bertanya apa yang ia akan lakukan di tahun baru ini.
Ia menjawab, ”Mau hidup yang santai.”
Pakai kepala
Selama
perjalanan pertemanan yang lebih dari 10 tahun, ia adalah satu dari beberapa
manusia yang aktifnya di batas luar biasa. Dengan wajah yang masih bingung
mendengar komentarnya itu, ia memberikan penjelasannya. ”Satu-satunya yang
belum pernah aku jalani adalah menjalani hidup dengan kepekaan nurani.”
Mendengar
penjelasan itu, saya berkicau tanpa henti. ”Hidup itu ndak bisa gitu kali,
bro. Elo, kan, mesti mikir pakai otak juga. Elo bakal kayak orang males dan
seperti orang enggak bertanggung jawab.” Kemudian ia membalas kicauan itu.
”Nah, aku tu
pengen nyoba ’males’, pengen nyoba enggak ngoyo, tiap hari pengen ngejalanin
hidup dengan hati. Udah nyaris empat puluh tahun hidup pake kepala terus. Gak
ada puasnya, target dikejer terus, ngarep mulu, mau ini, mau itu. Sekarang
ini gue mau mempertanggungjawabkan hidup dengan cara yang jauh lebih santai.”
Saya masih
tak bisa menerima penjelasannya itu. Bagaimana ada manusia mau hidup dengan lebih
santai, la wong hidup itu sendiri sama sekali tak memberi waktu untuk
bersantai. Sebentar-sebentar akan ada kejutan. Kejutan satu membuat bahagia,
kejutan berikutnya membuat naik pitam. Kemudian ia menjelaskan lagi.
”Nah, yang
aku lakukan selama ini adalah merasa terkejut itu penting karena membangunkan
dan menjadikan aku lebih mawas diri. Ternyata dikejutkan itu sungguh
melelahkan. Biarkan saja hidup membawa kejutan, sekarang aku mau belajar agar
aku gak perlu menyambut keterkejutan hidup itu dengan terkejut, tetapi dengan
membiasakan menerima saja. Kalau sama-sama terkejut, ancur bro.”
Percakapan
sore itu hanya sebuah percakapan satu arah. Dan saya menyimak setiap nyanyian
yang keluar dari mulutnya. ”Aku juga enggak tahu hidup yang bakal aku jalani dengan
hidup yang jauuuuuhhh lebih santai ini. Aku udah nyoba pakai kepala, sekarang
mau nyoba pakai nurani.”
Ia
melanjutkan penjelasannya lagi. ”Nyaris empat puluh tahun hidup gue tu nggak
bisa santai. Kerja, teriak, lari, terbang, marah, kesal, panik. Orang
mengatakan itu adalah hidup. Semarak, berwarna, bergairah. Itu ada benarnya.
Tapi satu hal yang membuat aku lupa gara-gara hidup terlalu semarak, adalah
akibat yang ditimbulkannya.”
Pakai nurani
”Ini
contohnya. Aku tu selama ini mikir kalau waktu itu gak bakal datang lagi,
sayang kalau tidak dimanfaatin semaksimal mungkin buat menambah keuntungan,
memperluas jejaring, membuka kesempatan baru. Aku kalau lihat orang menjalani
hidup dengan enggak ngoyo itu bingung. Di waktu liburan saja, otak ini terus mikir,
terus berhitung.”
Kemudian ia
bercerita bahwa suatu hari di masa liburan, ia diajak seorang rekan bisnisnya
makan siang. ”Itu rumah makan enaknya luar biasa, terus aku bilang dalam
hati, ini bisa aku buka di Jakarta. Selesai membayar, aku datengin yang punya
rumah makan, aku ajak diskusi tentang kemungkinan untuk mewujudkannya,”
jelasnya.
”Dulu aku tu
mikirnya gini. Kesuksesan itu kalau kita kerja keras, tak menyia-nyiakan
waktu dan kesempatan. Kerja itu selalu pakai kepala. Kepala itu bisanya cuma
mikir, kepala itu gak bisa mengajarkan kesuksesan melalui kepekaan nurani.
Kenapa aku tu suka panik, marah, kecewa atas apa yang aku kerjain, itu
gara-gara hanya mikir pakai kepala,” jelasnya bersemangat.
”Sekarang aku
mau melatih pakai nurani. Kita itu lebih dengerin suara kepala. Bukan karena
suara kepala lebih nyaring, tetapi karena kepala mengajarkan elo yang eksak,
yang elo bisa hitung, sementara yang nurani awalnya tak bisa dihitung. Itu
yang membuat elo makin mengasah kepala elo, dan makin kurang bersahabat
dengan nurani elo,” jelasnya.
”Kalau elo
peka nurani, kepala elo akan mengikutinya. Bukan kepala yang mengarahkan
nurani. Kelelahan itu karena elo tidak membiarkan nurani yang memimpin.
Kepekaan itu akan membuat tenang. Ia akan mengarahkan rumah makan mana yang
tepat untuk dibeli, siapa orang yang harus elo hubungi dengan tepat. Dan
terutama kalau elo peka, nurani elo akan memberi tanda, kapan harus melakukan
eksekusi atau tidak sama sekali.”
Kemudian saya
bertanya kenapa ia tiba-tiba jadi sebijak itu, padahal ia baru saja mau
mencoba menjalani hidup dengan cara baru ini. ”Aku udah mulai mencoba
menjalani hidup baru ini, sejak beberapa bulan lalu, waktu abis periksa
kesehatan. Setelah pemeriksaan dokternya bilang semuanya baik-baik saja, dan
mengatakan jangan terlalu stres.”
”Terus aku
jadi mikir, stres itu adalah sebuah pembunuhan yang aku lakukan terhadap diri
sendiri dengan senjata yang bernama I love my job dan saya harus bertanggung
jawab terhadap yang saya cintai itu. Stres itu lahir dari kepala, bukan dari
nurani,” katanya berapi-api.
Ketika kami
berjalan ke arah rumah makan, karena perut mulai bernyanyi, ia berkata
begini. ”Kita itu mau untuk tidak stres dan tidak keliru, tetapi bersikeras
menggunakan kepala yang paling mudah membuat keliru dan kepanikan. Elo tu
harus menyayangi diri elo sendiri. Disayangnya pakai nurani, jangan pakai
kepala.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar