Narkoba
dan Hukuman Mati
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 19 Januari 2015
SEBELUM dan
pasca pelaksanaan hukuman mati terhadap enam terpidana mati yang terkait
dengan kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang—biasa disebut
narkoba—Indonesia mendapat imbauan dan kecaman dari berbagai negara.
Bahkan,
Pemerintah Brasil telah memanggil pulang duta besarnya di Indonesia untuk
berkonsultasi. Demikian pula dengan Pemerintah Belanda, yang akan melakukan
hal yang sama.
Narkoba
Saat ini
Indonesia telah memasuki darurat narkoba. Di setiap lini kehidupan para
pengguna dan pengedar narkoba ada. Para pengguna tentu perlu direhabilitasi.
Demikian pula sosialisasi perlu dilakukan untuk mencegah para calon pengguna.
Namun, para
pengedar dan yang memproduksi narkoba tentu harus mendapat ganjaran yang
berat. Hukuman mati bukannya tidak tepat bagi mereka.
Banyak korban
nyawa dan korban yang memiliki ketergantungan atas penyalahgunaan narkoba.
Salah satu sumber menyebutkan, setiap hari terdapat 42 orang yang meninggal
akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Belum lagi
mereka yang terkena penyakit akibat penggunaan narkoba. Demikian pula dengan
angka kriminalitas yang berkaitan dengan peredaran dan penggunaan narkoba,
yang juga meningkat.
Peredaran
narkoba di Indonesia telah sampai pada titik yang mengubah Indonesia dari
negara transit menjadi negara tujuan. Bahkan, di Indonesia, banyak pihak
memproduksi narkoba.
Jaringan
narkoba internasional memasuki Indonesia karena memiliki pangsa yang besar.
Diperkirakan ada 4 juta penduduk yang mengonsumsi narkoba di Indonesia.
Saat ini
Indonesia berada di peringkat ketiga dunia bagi pengguna dan peredaran
narkoba. Bukannya tidak mungkin peringkat ini akan naik seiring dengan jumlah
kelas menengah di Indonesia yang semakin bertumbuh.
Untuk
mencegah penggunaan dan peredaran narkoba, penegakan hukum yang berkeadilan
dalam perspektif korban harus dilakukan. Oleh karena itu, tindakan tegas
tanpa kompromi memang sudah waktunya dilaksanakan oleh pemerintah dan
aparatnya. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan pengampunan kepada
mereka yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan.
Kemarahan
rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh narkoba tentu patut direspons oleh
pemerintah. Wajar jika Presiden Joko Widodo tidak mengabulkan permintaan
grasi dari terpidana mati atas kejahatan narkoba.
Bahkan, bagi
publik Indonesia, mereka akan membenarkan sanksi hukuman mati dan
pelaksanaannya apabila terkait dengan kejahatan narkoba. Perspektif hak asasi
manusia atau sanksi hukuman mati yang seolah kejam tidak menyurutkan publik
Indonesia mendukung Kejaksaan Agung melaksanakan putusan hukuman mati. Publik
sudah sampai pada titik geram dan marah terhadap pelaku kejahatan narkoba.
Tidak perlu khawatir
Pemerintah
tidak perlu khawatir menghadapi kecaman dari negara lain dalam melaksanakan
putusan hukuman mati atas dasar lima alasan.
Pertama,
negara yang mengimbau dan mengecam untuk tidak dilaksanakan hukuman mati,
bahkan memprotesnya, adalah negara dari warga yang akan dieksekusi. Terutama
negara yang memiliki warga yang sensitif atas pelaksanaan hukuman mati atau
di negaranya tidak dikenal hukuman mati.
Ini suatu hal
yang wajar karena setiap negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya
di luar negeri.
Protes keras
juga dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap negara yang hendak mengeksekusi
hukuman mati atas warga Indonesia. Ketika Ruyati akan dihukum pancung,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis surat kepada Raja Arab Saudi agar hukuman
tidak jadi dilaksanakan. Publik Indonesia pun memprotes hukuman mati Ruyati.
Hanya saja,
negara-negara yang memprotes dan mengecam tersebut tentu harus tahu batas.
Mereka tetap tidak dapat melakukan intervensi terhadap kedaulatan hukum
Indonesia.
Kedua,
kecaman biasanya muncul dari negara-negara di dunia yang hendak menyebarkan
moral tertentu kepada negara lain. Salah satunya adalah negara-negara yang
tergabung dalam Uni Eropa.
Sudah sejak
lama Uni Eropa melakukan lobi kepada banyak negara, termasuk Indonesia, untuk
menghapus hukuman mati karena tidak sesuai dengan moral yang mereka anut.
Mereka akan mengkritik negara yang melaksanakan hukuman mati apa pun alasan
kejahatannya.
Ketiga,
Indonesia tidak perlu merasa dilecehkan peradabannya karena masih menerapkan
hukuman mati. Penerapan hukuman mati masih dianut di banyak negara, termasuk
di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat.
Ini
mengindikasikan bahwa penerapan hukuman mati sama sekali tidak terkait dengan
tingkat peradaban suatu masyarakat di suatu negara.
Keempat,
adanya hukuman mati dan pelaksanaannya merupakan wujud dari kedaulatan dan
penegakan hukum suatu negara. Oleh karena itu, tidak ada negara asing yang
berhak untuk melakukan intervensi Indonesia atas alasan apa pun, termasuk
alasan moral.
Terlebih lagi
apabila pelaksanaan hukuman mati ini telah memenuhi due process of law dan
setelah dipastikan tidak adanya peradilan yang sesat melalui peninjauan
kembali.
Terakhir,
meski terdapat pro dan kontra di masyarakat atas sanksi hukuman mati di
Indonesia, tetapi karena Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang paling
berwenang untuk menafsirkan undang-undang dasar telah menyatakan bahwa
hukuman mati tidak bertentangan, pemerintah tidak perlu khawatir untuk
melaksanakan hukuman mati.
Reaksi
Dalam
pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkoba atas warga Brasil
dan Belanda, kedua pemerintah tersebut bereaksi dengan memanggil pulang kedua
duta besarnya. Dalam bahasa diplomasi, mereka dipanggil untuk berkonsultasi.
Apakah
pemerintah perlu khawatir? Apakah pemerintah perlu surut dalam pelaksanaan
hukuman mati terhadap terpidana mati selanjutnya?
Jawabannya
tentu tidak. Pemerintah tidak perlu khawatir bahkan surut dalam melakukan
eksekusi hukuman mati. Dalam hal ini, paling tidak ada tiga alasan.
Pertama,
penarikan atas dua duta besar tersebut harus dipahami sebagai wujud protes
atau ketidaksukaan negara sahabat terhadap kebijakan pelaksanaan hukuman mati
yang dilakukan di Indonesia atas warganya.
Meski
demikian, negara tersebut sebenarnya sangat paham bahwa mereka hanya dapat
menyampaikan protes, tetapi tidak dapat memaksa Indonesia untuk tidak
melakukan pelaksanaan hukuman mati atas warganya.
Perlindungan
negara terhadap warganya tidak mungkin diwujudkan dalam membenarkan tindakan
pelanggaran hukum oleh warganya di Indonesia. Peredaran narkoba adalah
kejahatan menurut hukum Indonesia. Kejahatan yang berkonsekuensi pada hukuman
mati.
Kedua
penarikan duta besar kemungkinan merupakan respons Pemerintah Brasil atau
Belanda terhadap tuntutan publik dalam negerinya. Publik dalam negeri
layaknya Indonesia pasti akan menuntut pemerintah untuk melakukan protes
keras atas kebijakan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia.
Terakhir,
penarikan duta besar tak akan lama mengingat saat ini banyak kepentingan dari
kedua negara tersebut di Indonesia. Semisal, kepentingan ekonomi Brasil ke
Indonesia lebih tinggi dibandingkan kepentingan Indonesia terhadap Brasil.
Meski
demikian, ke depan, Pemerintah Indonesia tetap perlu untuk mengantisipasi
hubungannya dengan kedua negara sahabat tersebut meski penarikan ini tidak
akan berlangsung lama.
Berdasarkan
ketiga alasan itu, pemerintah tidak perlu khawatir atas tindakan Pemerintah
Brasil dan Belanda yang memanggil pulang duta besarnya.
Indonesia
tidak akan diisolasi oleh negara-negara lain karena melaksanakan kedaulatan
dan penegakan hukumnya berupa pelaksanaan hukuman mati.
Untuk memberi
pemahaman yang akurat bagi publik dari negara yang warganya menjalani hukuman
mati, ada baiknya kepala perwakilan Indonesia di negara tersebut melakukan
sosialisasi.
Sosialisasi
bertujuan untuk memberikan informasi bahwa pelaksanaan hukuman mati dilakukan
dengan berat hati di Indonesia karena Indonesia menghadapi keadaan darurat
narkoba.
Jika
masyarakat di Brasil, Belanda, atau negara lain yang warganya akan menjalani
hukman mati mengetahui magnitudo permasalahan narkoba yang dihadapi
Indonesia, tentu mereka akan memahami mengapa Indonesia tidak akan
berkompromi melaksanakan hukuman mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar