Muhammad
: Nabi dan Negarawan
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 09 Januari 2015
William Montgomery Watt (1909-2006), profesor yang pada
masa hayatnya pernah mengajar di Universitas Edinburgh (Inggris), terkenal
sebagai salah seorang orientalis Barat terkemuka yang berpandangan positif
terhadap sosok pribadi Nabi Muhammad SAW (570-632).
Watt bahkan dapat dipandang sebagai seorang orientalis
besar yang dalam banyak karyanya meletakkan pandangan apresiatif tentang
Islam dan jati diri Nabi Muhammad. Sebelum Watt, pandangan kebanyakan kaum
orientalis tentang Islam dan Muhammad banyak yang negatif.
Misalnya HAR Gibb (1895-1971) pada 1946 ketika
mengantarkan bukunya yang berjudul Modern
Trends in Islam masih saja mengulangi pandangan Duncan Black Mc- Donald
yang menyatakan bahwa salah satu aspek Islam yang terpenting adalah patologi
yang seteliti-telitinya terhadap jiwa Muhammad.
Maksudnya, perlu dilakukan pemeriksaan secara teliti dan
akurat terhadap jiwa Muhammad, apakah dia waras atau tidak dalam kaitannya
dengan ”klaimnya” bahwa dia telah menerima wahyu dari Allah dan
”mendeklarasikan” agama baru yang bernama Islam.
Nabi dan Negarawan
Tidak sama dengan visi kebanyakan orientalis sebelumnya,
Montgomery Watt memandang positif sosok Muhammad. Dalam bukunya yang terkenal
bertajuk Muhammad: Prophet and Statesman, Watt menguraikan secara
komprehensif sejarah hidup Muhammad secara objektif. Buku tersebut pemadatan
dari dua buku yang dikarang Watt sebelumnya, masing-masing berjudul Muhammad
at Mecca dan Muhammad at Medina.
Di mata Watt, Muhammad seorang nabi dan sekaligus seorang
negarawan. Menurut Watt, Muhammad (sebagai seorang nabi) mengajarkan dan
menyebarkan agama Islam (yang ia yakini diterimanya dari Tuhan) sebagai
tatanan etik, moral, dan sosial bagi masyarakat yang dibangunnya.
Masyarakat yang dibangun Muhammad, yang sebelumnya pada
masa pra-Islam didasarkan pada ikatan kesukuan dan pertalian darah,
digantinya dengan ikatan yang didasarkan pada ikatan keagamaan dan
persaudaraan Islam (ukhuwah islamiah) yang bercorak demokratis dan
egalitarian. Dalam visi Watt, Muhammad sebagai seorang negarawan memerlukan
kekuasaan politik untuk menata sistem pemerintahan yang kuat dan mantap.
Ketika Muhammad berhasil membangun komunitas muslim dan
mendirikan negara Islam di Madinah, ia mengadakan perjanjian dengan
kelompokkelompok Arab nonmuslim dan komunitas Yahudi. Perjanjian ini tertuang
dalam suatu piagam yang dinamakan Piagam Madinah yang, menurut para sejarawan
muslim, dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam piagam
tersebut, tiap-tiap komunitas baik muslim maupun nonmuslim di Madinah
diberikan kebebasan beragama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka
masingmasing. Sikap tenggang rasa, toleransi, dan kerukunan antarumat
beragama dan antaretnis benar-benar ditunjukkan Nabi Muhammad baik dalam
ucapan maupun tindakan, baik dalam ajaran maupun dalam praktik, dalam
membingkai pluralitas hidup kemasyarakatan dan kenegaraan yang dibangunnya.
Tugas kenabian dan kenegarawanan telah dilaksanakan Nabi
Muhammad dengan sukses yang besar. Keberhasilan ini diindikasikan oleh
kenyataan bahwa sukuisme sempit yang merajalela pada masa Jahiliah (taasub
Jahiliyah) telah dilenyapkan dan digantikan oleh struktur masyarakat Islam
yang didasarkan pada fondasi tauhid, kesamaan, persamaan, keadilan, hak
asasi, dan demokrasi.
Dalam khutbah haji wada wada (perpisahan), Nabi sekali
lagi menegaskan bahwa dalam pandangan Islam sama sekali tidak ada perbedaan
antara etnis Arab dan etnis non-Arab. Dalam pandangan Islam, manusia pada
hakikatnya adalah setara, setingkat, dan sama dalam martabat, harkat,
derajat, dan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Hanya satu hal yang membedakan yaitu bobot, nilai, dan
kualitas ketakwaan manusia itu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itu berarti bahwa
Muhammad sebagai seorang nabi dan negarawan secara jelas mengajarkan perlunya
sistem pembinaan dan pemantapan sendi-sendi pluralisme, inklusivisme,
egalitarianisme, dan humanisme dalam tatanan hidup kemasyarakatan dan
kenegaraan.
Nabi sama sekali tidak menoleransi dan tidak membenarkan
segala bentuk sukuisme, kabilaisme, rasialisme, eksklusivisme, chauvinisme,
feodalisme, superioritas kesukuan dan kebangsaan yang dangkal dan sempit.
Dalam posisi demikian,
Muhammad sekaligus tampil sebagai sosok reformis sejati
pada zamannya dan semangat reformasi ini masih tetap sangat relevan dengan
zaman sekarang ini dan masa-masa yang akan datang. Semangat reformasi yang
dicanangkan Muhammad pada 15 abad yang silam itu masih tetap sejalan dengan
visi kemanusiaan universal karena sejalan dengan fitrah kemanusiaan sepanjang
sejarah peradaban insani.
Fondasi Kenegarawanan Muhammad
Menurut Montgomery Watt, ada tiga fondasi utama yang
menjadi landasan kebesaran kenegarawanan Muhammad. Pertama, Muhammad
mempunyai bakat dan visi sebagai pengamat jeli yang bisa menerawang, melihat
berbagai permasalahan jauh ke depan.
Melalui dia, atau dalam pandangan teologis muslim salaf
melalui wahyu yang diterimanya, dunia Arab telah diperuntukkan kepadanya
sebagai arena yang dapat memunculkan kerangka gagasan dan ide-idenya yang
memungkinkan dia melaksanakan penyelesaian terhadap ketegangan-ketegangan
sosial yang ada pada masa dia melaksanakan misi kenabiannya.
Tersedianya kerangka semacam ini memerlukan wawasan
visioner untuk memahami sebab-sebab penting tentang kerusakan sosial pada
masanya dan memerlukan pula sosok kejeniusan untuk mengekspresikan wawasannya
itu ke dalam bentuk yang bisa mengarahkan para pendengarnya memahami keadaan
dirinya.
Kedua, Muhammad sebagai seorang negarawan besar bersifat
arif, adil, dan bijaksana dalam melaksanakan segala sikap kenegarawanannya.
Struktur konseptual yang terdapat dalam Kitab Suci Alquran adalah bersifat
kerangka dasar. Kerangkakerangka dasar ini untuk menopang dasar-dasar
pembentukan dan pengembangan kebijakan dan institusi-institusi yang konkret.
Kebijakan Muhammad dalam hal ini ditunjukkan oleh ekspansi
yang cepat dari negara kecil (Madinah) yang dibangunnya menjadi negara besar
setelah dia wafat, dan ditunjukkan pula oleh penyesuaian institusi-institusi
sosialnya terhadap berbagai lingkungan sosial budaya yang berbeda-beda pada
abad-abad sesudahnya.
Ketiga, Muhammad memiliki seperangkat kecakapan dan
strategi sebagai seorang administrator dan mempunyai pengetahuan dalam
memilih para pembantunya untuk menangani masalah-masalah administratif.
Pranata-pranata yang baik dan kebijakan-kebijakan yang bagus tidak akan
terlalu bergeser jauh apabila mekanisme operasionalnya ada yang meleset atau
menyimpang.
Ketika Muhammad meninggal dunia, negara yang telah ia
bangun sudah mapan dan dapat bertahan serta bisa menanggulangi berbagai
guncangan dan kemudian negara itu dapat berkembang secara cepat. Selanjutnya
Montgomery Watt mengatakan bahwa lebih banyak dan lebih mendalam seseorang
berefleksi tentang likaliku sejarah hidup Muhammad, ia akan lebih merasa
kagum terhadap kebesaran prestasi-prestasi yang telah dicapainya.
Keadaan lokalitas
memang telah memberinya peluang kepadanya dan ini jarang dimiliki oleh setiap
orang, tetapi kelebihan Muhammad terletak pada kenyataan bahwa ia telah
berjuang dan berpacu dengan waktu untuk mewujudkan prestasi-prestasinya yang
luar biasa itu.
Seandainya ini bukan karena kecakapannya sebagai orang
yang mempunyai visi dan misi yang jeli sebagai negarawan dan administrator
dan di balik semua ini adalah kepercayaan kuatnya kepada Tuhan dan
keyakinannya bahwa Tuhan telah mengutusnya, sebuah bab penting dalam lembaran
perjalanan sejarah umat manusia tidak akan ditulis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar