2015,
Bagaimana Nasib Pemerintahan Jokowi?
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center
|
KORAN
SINDO, 09 Januari 2015
Tahun 2014 telah berakhir, berganti memasuki tahun 2015.
Tidak dapat dimungkiri sepanjang 2014 situasi politik nasional penuh dengan
berbagai kegaduhan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan umum
(pemilu).
Usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres)
kegaduhan politik berlanjut di Parlemen berupa pertikaian politik tajam
antara partai-partai pendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla
(Koalisi Indonesia Hebat) dan partai-partai politik pendukung pasangan
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Koalisi Merah Putih).
Lalu bagaimana outlook politik Indonesia 2015, terutama
nasib pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla? Meski politik bersifat dinamis,
dapat dipastikan 2015 bukan tahun mudah bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf
Kalla. Riak-riak kecil hingga gelombang besar politik sangat mungkin menerpa
biduk pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla pada 2015 mengingat dukungan
politik di tingkat elite terhadap mereka terbilang sangat lemah.
Koalisi Indonesia Hebat beranggotakan PDI Perjuangan (109
kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan
(39 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi). Apabila
dijumlahkan, kursi lima partai politik Koalisi Indonesia Hebat tersebut tidak
sampai separuh dari jumlah total 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketiadaan dukungan kuat di tingkat elite terhadap
pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla diperparah dengan kelemahan Koalisi
Indonesia Hebat di Parlemen dalam melakukan lobi dan komunikasi politik. Alhasil,
dalam sejumlah kesempatan mereka kerapkali babak belur menghadapi kekompakan
Koalisi Merah Putih sebagaimana saat pemilihan pimpinan DPR awal Oktober
lalu.
Ketiadaan perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat dalam
pimpinan DPR jelas semakin mempersulit Jokowi dan Jusuf Kalla untuk
menjalankan pemerintahan dengan mulus. Akselerasi lembaga eksekutif dalam
menjalankan roda pemerintahan akan sangat lamban. Pemerintah tidak akan mudah
memperoleh persetujuan politik Parlemen saat hendak menggulirkan berbagai
rencana kebijakan.
Terbaru lihat saja bagaimana kebijakan pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus bersiap menghadapi
hadangan interpelasi di Parlemen. Hingga awal Desember, 240 anggota DPR telah
membubuhkan tanda tangan dukungan penggunaan hak interpelasi terkait
kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kemudian diajukan kepada
pimpinan DPR seusai masa reses nanti.
Para anggota DPR penanda tangan hak interpelasi berasal
dari Koalisi Merah Putih seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional. Dengan berkaca dari realitas
politik di atas, ke depan mau tidak mau pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla
beserta koalisi pendukung mereka harus lebih cermat dalam memperhitungkan aspek
politik di setiap proses pembuatan kebijakan agar tidak menjadi sasaran
tembak empuk kelompok oposisi di Parlemen.
Apalagi pada 2015 akan ada kepentingan strategis
pemerintah agar pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
berjalan mulus dan mendapatkan persetujuan politik seluruh kekuatan politik
di Parlemen. Proses rekonsiliasi elite-elite politik di DPR dengan
mengakomodasi anggota-anggota Koalisi Indonesia Hebat di alat-alat
kelengkapan Dewan melalui perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahan tata tertib DPR mendesak untuk segera
dituntaskan.
Selain itu, langkah politik strategis lain juga harus
dilakukan Koalisi Indonesia Hebat dalam rangka memuluskan langkah
pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dengan memperbaiki lobi dan komunikasi
politik mereka. Melakukan pendekatan politik kepada Partai Demokrat yang
memiliki 61 kursi patut dipertimbangkan lebih lanjut.
Sikap Partai Demokrat sebagai kekuatan politik penyeimbang
dapat dimanfaatkan Koalisi Indonesia Hebat untuk memperkuat dukungan politik
di Parlemen terhadap pemerintahan Jokowi dan JusufKalla, terutamasaathendak
meloloskan sebuah kebijakan strategis seperti pengurangan subsidi BBM dan
APBN.
Kekalahan telak dalam pemilihan pimpinan DPR tidak akan
terjadi bila saat itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku
pimpinan Koalisi Indonesia Hebat melakukan komunikasi politik secara total
dengan Partai Demokrat. Karena itu, pada masa mendatang diharapkan tidak ada
lagi sikap jual mahal merasa tidak butuh dari PDIP terhadap Partai Demokrat.
Selain dapat membantu pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla
dalam menunaikan janji-janji politik untuk mewujudkan kesejahteraan,
kedekatan antara PDIP dan Partai Demokrat juga dapat menghangatkan kembali
relasi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagaimana
saat mereka belum terlibat rivalitas pertarungan Pilpres 2004.
Kesamaan pandangan dan sikap politik terhadap Peraturan
Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala
Daerah dapat menjadi awal dari kerja sama politik PDIP dan Partai Demokrat.
Mungkinkah kedekatan dan kerja sama politik antar dua partai itu akan
terwujud pada 2015? Tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar