Kearifan
Lokal dalam Kurikulum Nasional
Samuel Soemantri ; Direktur Sekolah Kesatuan Bogor
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Januari 2015
PERMASALAH tentang kurikulum
pendidikan nasional kembali menjadi perdebatan. Kurikulum 2013 yang mulai
diterapkan pada awal tahun ajaran 2013/2014, kini tidak lagi sepenuhnya
digunakan. Hal itu terjadi sebagai imbas keluarnya Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 160 Tahun 2014, tentang
Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan 2013 yang mulai berlaku efektif sejak
diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 12 Desember 2014.
Implementasi dari keluarnya
peraturan itu adalah satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang
telah melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun ajaran
2014/2015, kembali melaksanakan kurikulum 2006 di semester kedua tahun ajaran
berjalan, sampai ada ketetapan dari pemerintah untuk melaksanakan kurikulum
2013.
Adapun, satuan pendidikan dasar
dan menengah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama
tahun ajaran 2013/2014 tetap menggunakannya. Sekolah-sekolah itu merupakan
satuan pendidikan rintisan penerapan kurikulum 2013. Sekolah tersebut dapat
berganti melaksanakan kurikulum 2006 dengan melaporkan kepada dinas
pendidikan provinsi/ kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.Sementara,
satuan pendidikan usia dini dan satuan pendidikan khusus melaksanakan
kurikulum 2013 sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pro-kontra menjadi hal yang wajar.
Hal tersebut merupakan buah dari munculnya berbagai perubahan kebijakan
seiring dengan bergantinya pemerintahan. Kondisi ini membingungkan tenaga
pendidik, siswa, dan orangtua. Di saat tenaga pendidik tengah berkonsentrasi
pada standar lama yang masih ingin diresapi, pergantian kurikulum sudah ada
di depan mata.Selain menghadapi kendala kurangnya waktu sosialisasi yang
cenderung dipaksakan, pendidik kembali dihadapkan pada kebingungan pergantian
kurikulum dan kesibukan lain yakni mensosialisasikan kepada anak didik dan
orangtuanya. Padahal sebuah kebijakan jangka panjang (blue print) tentang pendidikan nasional diperlukan jika kita
ingin dunia pendidikan Indonesia lebih maju di masa mendatang.
Berbicara soal pendidikan
nasional, harus ada standar dasar pendidikan yang bisa sewaktu-waktu
dikembangkan ke arah yang lebih sempurna yang berlaku di seluruh wilayah
Indonesia. Pasalnya, di tengah perkembangan dunia global yang semakin pesat,
pendidikan karakter tidak bisa diraih secara instan. Ibarat kata, mendikbud
yang sebelumnya menanam (memutuskan penggunaaan sebuah kurikulum), mendikbud
berikutnyalah yang menyiram (memperbaiki) agar tumbuh berkembang dan semakin
kuat.
Auditor
pendidikan
Penerapan standar pendidikan
nasional tidak bisa dilakukan dengan cara mengubahnya setiap ada pergantian
pemerintahan. Selain menimbulkan inkonsistensi, tujuan utama mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk karak ter anak-anak melalui pendidikan di
bangku sekolah tidak akan tercapai. Harus diakui, di belakang penciptaan
kurikulum nasional ada sejumlah prefesional pendidikan yang mumpuni. Jadi apa
pun kurikulum yang diluncurkan positif untuk para anak didik.
Persoalannya, butuh waktu lama
untuk menyosialisasikan kurikulum baru. Butuh penyatuan napas edukasi dengan
standar yang ditetapkan untuk jangka waktu yang panjang. Untuk itu,
diperlukan auditor pendidikan yang akan memantau dan melihat sejauhmana
penerapan kurikulum yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan yang diharapkan.
Bagaimana sekolah-sekolah mengembangkan kurikulum itu sesuai dengan kebijakan
wilayah masing-masing, untuk kemudian dikaji ulang dan dievaluasi secara
terus menerus. Selain itu, bagaimana siswa menjalani ujian nasional dengan
nyaman dan tidak menganggapnya sebagai momok.
Penerapan kurikulum nasional harus
konsisten, jangka panjang (long term),
dan dikembangkan dari waktu ke waktu. Bagaimana menciptakan standar
pendidikan nasional dengan pattern menanamkan karakter anak melalui budaya
lokal merupakan pekerjaan rumah stake
holder pendidikan nasional. Kurikulum yang telah dibuat pemerintah akan
makin memiliki bobot jika di dalamnya juga memuat aturan yang mengharuskan
adanya pendidikan soal kearifan lokal di setiap daerah dengan ciri khas dan
karakternya.
Pendidikan
berkarakter
Pada prinsipnya, kurikulum yang
ditetapkan pemerintah secara konsep cukup memenuhi standar baku pendidikan di
Indonesia. Tidak bisa dimungkiri, standar pendidikan nasional lahir melalui
penggodokan dan diskusi panjang yang melibatkan para pakar dan tokoh pendidikan.
Namun sayangnya, dalam implementasinya masih ada kekurangan. Yang paling
krusial adalah kurangannya kesiapan tenaga pendidik menerapkan kurikulum yang
telah ditetapkan.
Di tengah upaya pencapaian
kualitas intelegensia anakanak bangsa yang diperoleh di bangku sekolah,
mungkin banyak yang lupa bahwa pendidikan karakter adalah hal mendasar yang
harus ditanamkan.Harus diyakini bahwa untuk menjadikan anak-anak berbudi
pekerti luhur, bukan hanya soal intelektual yang harus diperhatikan. Sisi
emosional dan spiritual anak-anak didik, juga menjadi faktor penentu.
Bagaimana anak belajar kejujuran, kedisiplinan dan menghargai perbedaan agama
atau etnik tertentu, serta membiasakan diri hidup di tengah keberagaman juga
menjadi hal penting yang harus diajarkan sejak dini.
Salah satu negara dengan mutu
pendidikan terbaik dunia adalah Finlandia. Negara ini tidak mengenal
akreditasi atau pemeringkatan. Alat kontrolnya ada di tangan masyarakat, yang
menilai secara langsung apakah anak yang belajar di sekolah tersebut menjadi
semakin baik, beretika, dan cerdas atau malah sebaliknya. Pemerintah hanya
berfungsi sebagai konselor yang memantau setiap perkembangan anak didik di
setiap sekolah. Setiap sekolah diberikan kebebasan mengembangkan kurikulum
sendiri sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Apa yang dilakukan Finlan dia
perlahan diterapkan pemerintah. Pendidikan karakter yang ditanamkan kepada
anak didik mengacu pada kebijakan pemerintah daerah terkait budaya lokal.
Bahasa daerah, keragaman suku bangsa, dan pengenalan permainan dan kesenian
daerah masing-masing menjadi dasar pendidikan karakter. Mengapa demikian?
Budaya lokal diakui mampu
membangun karakter anak didik melalui kekayaan yang dimiliki di setiap
daerah. Bermain egrang atau gobak sodor menepis kebiasaan negatif anak didik
yang keranjingan gadget yang cenderung memunculkan sifat individualistis.
Demikian juga dengan pengenalan kesenian tradisional seperti gamelan dan
tari-tarian, yang menstimulasi anak didik untuk mencintai kebudayaannya.Atau,
dengan mengenal bahasa ibu (bahasa daerah) akan memunculkan karakter
kecintaan kepada leluhur. Pengenalan terhadap budaya lokal tidak lantas
melarang anak didik untuk meninggalkan kemoderenan yang ada saat ini. Kita
tidak bisa melarang mereka untuk tidak lagi menggunakan gadget ataupun
memakai akses teknologi informasi yang serbacepat. Namun, mereka harus
diajari bahwa mengenal karakter bangsa sendiri merupakan hal penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar