Kesabaran
Revolusioner
Sukardi Rinakit ; Peneliti PARA Syndicate
|
KOMPAS, 10 Januari 2015
SILAKAN kalau
ini dianggap memuji Megawati Soekarnoputri. Fakta obyektif menunjukkan,
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di bawah kepemimpinannya relatif solid
daripada partai-partai lain. Padahal, itu sudah berjalan 16 tahun! Partai
lain banyak digoncang pembelahan internal sebelum periode pertama masa
jabatan ketua umumnya berakhir.
Selain itu,
di bawah kepemimpinannya, posisi PDI-P sebagai partai besar juga tak
tergoyahkan. Bahkan dua kali menjadi partai penguasa di Tanah Air. Megawati
Soekarnoputri menjadi presiden tahun 2001-2004 dan kini Joko Widodo
(2014-2019). Lebih ekstrem lagi, Jusuf Kalla pun pada dasarnya merupakan
calon wakil presiden dari PDI-P karena Golkar secara formal tidak
mendukungnya pada pemilu presiden lalu. Ini belum lagi kalau kepala-kepala
daerah yang berhasil dari PDI-P ikut diperhitungkan.
Itulah
catatan gemilang PDI-P yang 10 Januari ini merayakan hari jadinya yang ke-42
tahun. Besutan Megawati, suka atau tidak, telah membuat partai tersebut
selalu mampu melakukan kontestasi politik dalam kondisi prima. Oleh karena
itu, dia tidak pernah terperosok menjadi partai paria.
Meski
demikian, bangunan politik PDI-P yang relatif kokoh seperti itu secara
prediktif bukan tanpa masalah di masa depan. Ini berkaitan dengan suksesi
kepemimpinan di tubuh partai. Apabila tidak dipersiapkan dengan saksama,
stamina PDI-P yang selama ini prima bisa saja menjadi loyo nantinya. Di sini,
estafet kepemimpinan yang dimaksud bukan semata-mata pada level ketua
umum—meskipun ini yang paling berat—tetapi juga jajaran unsur pimpinan yang
lain.
Hipotesis
saya, soliditas PDI-P tetap terjaga hingga kini karena Megawati mempunyai
kesabaran revolusioner. Untuk sebuah cita-cita keindonesiaan, ia terbukti
tahan menderita dan tak menyerah dengan tekanan politik sehebat apa pun.
Kesabaran revolusioner seperti itu belum tentu dimiliki para calon
penggantinya. Inilah masalah terbesar nantinya, dan tentu saja akan menjadi
tantangan utama, baik bagi Megawati maupun PDI-P.
Dalam
perspektif budaya politik, kesabaran revolusioner merujuk pada sosialisasi,
pengalaman hidup serta tebalnya cita-cita kebangsaan dan nilai budaya yang
dianut para tokoh. Dengan bahasa lain, kesabaran revolusioner itu bisa tumbuh
karena formulasi unik dari pengalaman hidup yang penuh tekanan politik,
kesadaran akan trinitas Tanah Air (geografis, formal, dan mental/ Pancasila)
seperti pemikiran Daoed Joesoef, dan internalisasi nilai-nilai kultural
seperti alon-alon asal kelakon (meski bertahap yang penting tercapai).
Kesabaran
seperti itu mungkin tak lagi dimiliki oleh generasi yang lebih muda di PDI-P.
Alam yang serba instan membuat kesabaran, keteguhan, dan cakrawala perjuangan
menjadi terbatas. Padahal, mengelola PDI-P tidak mudah. Kader dan
pendukungnya terbentang dalam skala ekstrem dari yang buta huruf sampai yang
sangat terpelajar; dari yang masih menangis di gubuk-gubuk karena kelaparan
dan kedinginan sampai yang tinggal di rumah mewah; dari yang tidak kenal
marhaenisme sampai marhaen sejati yang darahnya semerah banteng seperti Bung
Karno.
Sekolah politik
Pendeknya,
meskipun PDI-P secara ideologis mempunyai ikatan yang kuat, sebagai partai
politik yang di dalamnya mengandung kepentingan subyektif dari para kader,
tetap saja seperti barang pecah-belah. Ceroboh memegangnya, dia akan jatuh
dan tidak tertutup kemungkinan akan pecah.
Dengan
demikian, untuk menjaga agar partai banteng moncong putih tersebut tetap
besar dan solid, tidak ada pilihan lain bagi PDI-P, kecuali segera
menyelenggarakan sekolah politik. Tujuannya, selain untuk mencetak
kader-kader yang mempunyai kedalaman marhaenisme dan kesabaran revolusioner,
juga mendidik kader paham menempatkan diri. Pasukan muda yang ”terpelajar”
inilah yang nantinya secara bersama-sama membantu ketua umum baru dan ikut
menjaga dengan sepenuh hati agar partai tidak jatuh dan pecah.
Khusus untuk
soal paham menempatkan diri; kini PDI-P menjadi partai penguasa, tetapi
banyak kader yang belum bisa menempatkan diri. Ini bisa dilihat dari masih
adanya kekecewaan yang dilontarkan sebagian kader PDI-P gara-gara partainya
tidak mendominasi jumlah menteri di pemerintahan Jokowi. Fenomena ini
mengisyaratkan bahwa cara pandang para kader belum komprehensif dalam
memandang kekuasaan.
Mereka tidak
melihat bahwa kinerja pemerintahan Jokowi, siapa pun yang duduk sebagai
menteri, sejatinya merupakan bagian dari diri mereka sendiri. Kalau
pemerintahan Jokowi berhasil menyejahterakan rakyat, demikian juga dengan PDI-P
di mata publik. Banyak kader belum memahami korelasi dan kehormatan semacam
itu. Padahal, sekali memegang kendali kekuasaan, setidaknya tiga dasawarsa
pemerintahan bisa dipegang. Dengan demikian, cita-cita Trisakti (berdaulat
secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan) bisa terwujud.
Sebagai
langkah awal untuk menghadapi masa depan, tiga kelompok kader harus
dipersiapkan secara spesifik, yaitu calon ideolog partai, calon legislatif
yang mumpuni, dan para eksekutif yang akan melayani rakyat dengan keutamaan
politik. Dengan demikian, antara partai dan kader menjadi human dan saling
menghidupi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar