Menyandera
dengan Status Tersangka
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
21 Januari 2015
DALAM
perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.
Adagium ini mengandung makna bahwa membuktikan seseorang pelaku tindak pidana
tidaklah hanya berdasarkan persangkaan semata-mata, tetapi juga bukti-bukti
yang ada harus jelas, terang, akurat, dan tidak terbantahkan.
Penetapan
seseorang sebagai tersangka, berikut penangkapan dan penahanan dalam perkara
pidana, berkorelasi positif dengan pembuktian. Pasal 1 butir 14 KUHAP
menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana.
Apa yang
dimasud dengan ”bukti permulaan”? Terkait dengan penangkapan, Pasal 17 KUHAP
mengatur, perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam
penjelasannya hanya dikatakan bahwa ”bukti permulaan yang cukup” adalah bukti
permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1
butir 14.
Apakah ”bukti
permulaan” sama dengan ”bukti permulaan yang cukup”? Sudah tentu berbeda.
Jika berhubungan dengan penahanan, Pasal 21 Ayat (1) KUHAP memberi pedoman
bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.
Apakah yang
dimaksudkan dengan ”bukti yang cukup”? Merujuk pada Pasal 1 butir 14, Pasal
17 berikut penjelasannya, dan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, ada berbagai istilah
yang kedengarannya sama, tetapi secara prinsip berbeda, yakni istilah ”bukti
permulaan”, ”bukti permulaan yang cukup”, dan ”bukti yang cukup”. Sayangnya,
KUHAP tak memberi penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan dari ketiga
istilah itu.
Berdasarkan
doktrin, kata-kata ”bukti permulaan” dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP tidak hanya
sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga
dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal
dikenal selaku physical evidence
atau real evidence.
Unjuk bukti
Menakar bukti
permulaan tak dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada
tersangka. Pada hakikatnya, pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik
yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya,
pembuktian adanya tindak pidana itu haruslah berpatokan pada elemen tindak
pidana yang ada dalam suatu pasal. Untuk mencegah kesewenang-wenangan
penetapan seseorang sebagai tersangka atau penangkapan dan penahanan, setiap
bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dan lainnya, termasuk pula
dengan calon tersangka.
Mengenai hal
terakhir ini, KUHAP tidak mewajibkan penyidik memperlihatkan bukti yang ada
padanya kepada si tersangka. Namun, berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan
untuk mencegah apa yang disebut persangkaan yang tak wajar.
”Bukti
permulaan yang cukup” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP adalah pada
bewijs minimum atau minimum bukti yang diperlukan untuk memproses seseorang
dalam perkara pidana, yakni dua alat bukti. Hal ini pun masih menimbulkan
perdebatan terkait dua alat bukti. Apakah dua alat bukti itu secara
kualitatif ataukah kuantitaif. Jika diurut berdasarkan Pasal 184 KUHAP, ada
lima alat bukti dalam perkara pidana, (1) keterangan saksi, (2) keterangan
ahli, (3) surat, (4) keterangan terdakwa, dan (5) petunjuk.
Secara
kualitatif, dua alat bukti itu harus ada keterangan saksi dan keterangan ahli
atau keterangan saksi dan surat atau keterangan ahli dan surat dan
seterusnya. Dua alat bukti yang dimaksud secara kualitatif adalah dua dari
lima alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP.
Secara
kuantitatif, dua saksi sudah dihitung sebagai dua alat bukti. Dalam tataran
praktis, dua alat bukti yang dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali
perihal keterangan saksi, dua alat bukti yang dimaksud dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Perlu
ditegaskan bahwa penyidik dan penuntut umum tak berwenang menggunakan alat
bukti petunjuk karena bukti otoritatif melekat pada hakim.
Berikut
perihal istilah ”bukti yang cukup” untuk melakukan penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Agar tidak bias, keseluruhan isi
Pasal 21 Ayat (1) dikutip, ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi
tindak pidana.”
Interpretasi
gramatikal sistematis terhadap ketentuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP adalah bahwa
yang dimasudkan dengan ”bukti yang cukup” dalam pasal a quo tidak hanya
menyangkut bukti tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan terhadap
tersangka atau terdakwa, tetapi juga meliputi bukti bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan
atau mengulangi tindak pidana. Artinya, bukti yang cukup di sini selain
merujuk pada minimum dua alat bukti atas tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan terhadap tersangka atau terdakwa, juga merujuk pada minimum dua
alat bukti atas kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak
pidana.
Pola kerja KPK saat ini—kecuali dalam
operasi tangkap tangan—jeda waktu penetapan seseorang sebagai tersangka dan
penahanannya relatif memakan waktu yang lama. Sebut saja Andi Mallarangeng
dan Anas Urbaningrum yang kurang lebih setahun kemudian baru ditahan setelah
yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Demikian pula Hadi Purnomo
yang telah ditetapkan tersangka sejak 21 April 2014 dan Suryadarma Ali yang
telah ditetapkan tersangka sejak 22 Mei 2014 sampai saat ini masih menghirup
udara bebas. Pola kerja yang demikian tidaklah bertentangan dengan KUHAP,
tetapi cenderung melanggar HAM sebagaimana yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Stigma tersangka
pada diri seseorang membuatnya tersandera melakukan tindakan apa pun,
termasuk diangkat dalam jabatan publik, padahal belum tentu putusan
pengadilan akan menyatakan dia bersalah.
Membalik pola
Alasan klise
yang selalu diutarakan adalah KPK kekurangan penyidik dan KPK baru melakukan
penahanan terhadap tersangka setelah berkas perkara mencapai lebih dari 60
persen untuk dilimpahkan ke pengadilan. Mengapa tak dibalik?
Ketika
seseorang diduga korupsi, KPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap saksi
terlebih dulu, termasuk calon tersangka, untuk memverifikasi bukti dokumen
yang ada. Sembari melakukan penyidikan, KPK dapat minta cekal kepada orang
yang diduga korupsi tanpa menetapkan status tersangka. Setelah berkas perkara
matang mencapai lebih dari 60 persen, baru kemudian status tersangka
ditetapkan dan diikuti dengan penahanan. Bukankah berdasarkan Pasal 21 Ayat
(4) KUHAP terkait syarat obyektif penahanan, KPK dapat melakukan penahanan
sesegera mungkin karena korupsi adalah kejahatan yang diancam lebih dari 5
tahun penjara?
Pola kerja
yang demikian lebih elegan karena setiap orang yang diberi status tersangka
tentu mengharapkan sesegera mungkin dihadapkan di persidangan sehingga
memperoleh kepastian hukum mengenai benar-salahnya orang itu dan tidak
tersandera dengan status itu. Keberhasilan KPK yang mencapai 100 persen dalam
menangani perkara korupsi perlu dijadikan peringatan dini kepada setiap orang
yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, di sisi lain, ada fenomena lain di
Pengadilan Tipikor yang berkembang dewasa ini dan cukup memprihatinkan dalam
penegakan hukum.
Hakim di
Pengadilan Tipikor lebih takut terhadap opini publik daripada fakta di
persidangan. Artinya, penjatuhan pidana oleh hakim di Pengadilan Tipikor bisa
jadi karena buktinya valid, tetapi juga tak jarang karena hakim takut
berurusan dengan Komisi Yudisial manakala memutus bebas atau melepaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks yang demikian, kiranya apa
yang dikatakan oleh Jerome Skolnick dalam Justice Without Trial relevan bahwa
hukum acara pidana dibuat dengan maksud mengontrol para penegak hukum dari
tindak sewenang-wenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar