Menguatkan
Legitimasi Pilkada Langsung
A Halim Iskandar ; Ketua DRPD Jatim dan Ketua DPW PKB Jatim
|
JAWA
POS, 21 Januari 2015
SETELAH
melewati drama politik yang cukup panjang, akhirnya melalui paripurna DPR
(20/1) menyetujui Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perppu Nomor
2 Tahun 2014 tentang Pemda menjadi undang-undang. Dengan demikian,
berakhirlah kegaduhan politik pro kontra pilkada secara langsung dan tak
langsung.
Hal tersebut
sudah dapat diprediksi setelah semakin meredupnya pro kontra pilkada langsung
oleh karena tuntutan publik terhadap pelaksanaan pilkada sangat masif, serta
mengendurnya kekuatan pendukung pilkada tak langsung. Sekilas, rasionalitas
politik pendukung pilkada tidak langsung memang dapat dibenarkan seperti terkait
efisiensi, konflik di tingkat akar rumput, money politics dan persekongkolan
politisi dengan pengusaha dalam hal pendanaan kampanye yang menyuburkan
praktik korupsi di daerah, serta politisasi birokrasi oleh incumbent.
Padahal,
dalam kerangka demokratisasi, pemilihan kepala daerah langsung adalah
instrumen untuk meningkatkan participatory
democracy; melahirkan kepemimpinan politik yang berkualitas dan memiliki
akuntabilitas tinggi. Karena itulah, untuk memperkuat legitimasi demokrasi di
tingkat lokal, pilkada langsung merupakan satu-satunya instrumen terbaik di
antara banyak instrumen yang ada.
Meningkatkan Kualitas Pilkada
Sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pilkada yang telah disetujui menjadi undang-undang dengan
beberapa revisi terbatas, direncanakan terdapat 204 pilkada di seluruh
Indonesia yang harus diselenggarakan serentak pada 16 Desember 2015. Terdiri
atas 8 pilkada provinsi, 170 pilkada kabupaten, dan 26 pilwali kota. Di Jawa
Timur, terdapat 18 kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada langsung secara
serentak pada 2015.
Salah satu
argumen pelaksanaan pilkada serentak ini menjadi jawaban terhadap problem
efisiensi anggaran dalam pelaksanaan pilkada langsung. Sebagai pendamping
argumen tersebut, terdapat klausul dalam Perppu 1/2014 yang mengatur biaya
kampanye. Melalui aturan tersebut, cost politic pilkada langsung dapat
ditekan, berikut implikasi turunannya seperti korupsi, nepotisme dalam tata
kelola pemerintahan daerah dapat dihindari.
Namun
demikian, instrumen pelaksanaan serentak serta pembiayaan kampanye melalui
anggaran negara belumlah cukup menjamin penguatan legitimasi pilkada. Karena
itulah, semua stakeholder tidak dapat berpangku tangan demi menghadirkan kepemimpinan
yang berkualitas melalui sebuah pilkada yang jujur dan transparan dengan
tingkat partisipasi demokrasi yang tinggi.
Setidaknya
terdapat empat hal yang harus dilakukan semua kalangan untuk itu. Pertama,
peningkatan partisipasi pemilih. Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat,
partisipasi publik menjadi kekuatan utama dalam demokrasi. Melalui
partisipasi politik, rakyat dapat menentukan kepemimpinan untuk
penyelenggaraan pemerintahan yang bekerja untuk rakyat.
Pemilu yang
digelar pascareformasi menunjukkan tren penurunan partisipasi memilih, di
mana tingkat partisipasi pada Pemilu 1999 sebesar 92,6 persen; Pemilu 2004
turun menjadi 84,1 persen; Pemilu 2009 kembali turun menjadi 70,9 persen; dan
Pemilu 2014 sedikit meningkat menjadi 75,11 persen. Hal serupa terjadi pada
partisipasi pemilih dalam pilpres, di mana pada Pilpres 2004 sebesar 78,2
persen untuk putaran pertama, kemudian menjadi 76,6 persen pada putaran
kedua. Selanjutnya, pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih
turun menjadi 71,7 persen dan Pilpres 2014 kembali turun menjadi 69,58
persen.
Kondisi
tersebut tentu mengkhawatirkan karena partisipasi politik pemilih merupakan
pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh
rakyat. Oleh karena itu, partisipasi pemilih dalam pilkada serentak pada 2015
harus ditingkatkan, salah satunya melalui pendidikan politik pemilih serta
transparansi rekrutmen politik.
Kedua,
kapabilitas dan independensi penyelenggara pilkada. Tidak adanya dua hal
tersebut pada penyelenggara pilkada di antaranya akan berimplikasi pada
buruknya sistem pencatatan daftar pemilih, banyaknya kecurangan, money
politics, serta buruknya penyelenggaraan pemilihan (electoral governance).
Sementara itu, rendahnya independensi penyelenggara pilkada dapat pula
dipengaruhi oleh karakter elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup
kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan
kesadaran politik masyarakat yang rendah, serta tidak adanya pengawasan DPRD
terhadap kepala daerah.
Ketiga, dana
kampanye. Efisiensi menjadi salah satu isu penting dalam pro kontra pilkada
langsung. Model kampanye terbuka dengan desain mewah dan menelan anggaran
besar untuk mendongkrak popularitas calon sampai upaya memengaruhi pilihan
masyarakat merupakan sektor yang mengakibatkan mahalnya cost politic pilkada yang ditengarai menjadi penyebab suburnya
praktik korupsi di daerah.
Karena itu,
pilkada serentak pada 2015, selain dana kampanye dan iklan media, sudah
dibiayai negara sebagaimana diatur dalam Perppu 1/2014. Upaya lain tetap
harus dilakukan seperti mengurangi kampanye terbuka yang nyaris hura-hura,
saling mengawasi antarkandidat terkait praktik money politics, serta menjadikan uji publik sebagai instrumen
utama penetapan bakal calon menjadi calon.
Tiga hal
tersebut mutlak membutuhkan komitmen semua pihak, terutama elite partai
politik, birokrasi, serta kalangan civil
society. Ketika tiga kelompok kepentingan itu mampu secara bersama-sama
mewujudkan minimal tiga prasyarat tersebut dalam upaya peningkatan kualitas
demokrasi lokal melalui pelaksanaan pilkada langsung pada 2015, di masa depan
perdebatan urgensi pilkada langsung versus tidak langsung tidak terjadi lagi.
Hal penting lain dan paling utama adalah pilkada langsung akan mendapatkan
legitimasinya sebagai instrumen demokratisasi di tingkat lokal, yang mampu
melahirkan kepemimpinan berkualitas dan transparan dalam kerangka tata kelola
pemerintahan daerah, untuk mewujudkan kemaslahatan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar