Meminimalkan
Kesenjangan Desa
Susanto ; Guru SMAN 3 Bojonegoro
|
JAWA
POS, 07 Januari 2015
TULISAN Ahmad Mory Yana Gultom (MYG) di Jawa Pos Senin
(5/1) yang berjudul Mengawasi Dana Desa sangat menarik. Intinya, dia ingin
menyatakan, pertama, pengesahan UU Desa dengan konsekuensi logisnya justru
akan menambah mata rantai masalah baru terkait dengan tumbuh suburnya lahan
korupsi karena desa akan mendapat dana langsung sekitar Rp 1 miliar.
Kedua, perlunya kewaspadaan ekstra dari pemerintah agar uang
(baca: ADD) tidak menguap. Ketiga, penguatan mentalitas aparatur desa. Di
satu sisi, dana yang digelontorkan itu merupakan elemen penting bagi
keberhasilan pembangunan desa. Di sisi lain, dana itu justru menjadi sebuah
ancaman yang terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary) pada 2015 ini.
Jika mengacu pada realitas masih kuatnya sikap dan
perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau menjabat
–tidak terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan seterusnya–,
potensi mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.
Dalam konteks ini, saya tertarik untuk menindaklanjuti
kerangka berpikir MYG untuk didiskusikan ke ruang publik. Saya berharap
tulisan ini bisa menjadi penjernih dalam upaya membangun desa yang prorakyat,
bukan prokoruptor seperti yang diungkapkan MYG.
Bagaimana sebenarnya peran dan tugas kepala desa (Kades)?
Benarkah fenomena Kades yang melakukan korupsi atau tersandung perbuatan
asusila karena mentalitas leadership yang rendah akan menjadi masalah dalam
implementasi UU Desa yang baru saja disahkan? Lantas, bagaimana idealnya agar
UU Desa bisa berjalan maksimal dan desa dapat menyejahterakan rakyatnya?
Idealnya, digunakan untuk apa uang ADD tersebut? Program apa yang relevan?
Penguatan Program
Pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan aparatur
desa (baca: Kades dan perangkat desa) terkait dengan UU Desa yang baru
disahkan tersebut? Pertama, perlunya pemahaman yang jernih dari aparatur desa
tentang UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Artinya, pengesahan UU tersebut
memberikan implikasi bahwa desa akan mendapat perhatian dan kepercayaan lebih
dari pemerintah untuk mengelola pemerintahan secara berkesinambungan serta
transparan. Sebab, desa akan mendapat dana yang luar biasa besar untuk
meningkatkan kinerja pemerintahan desa. Dengan kata lain, aparatur desa harus
memahami aturan terkait dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, baik yang
menyangkut tata kelola pemerintahan, keuangan, maupun aspirasi masyarakat.
Kedua, momentum untuk menata administrasi, birokrasi, dan
keuangan desa. Mengapa itu penting? Sebab, belakangan ini, banyak fenomena
Kades yang berurusan dengan pihak berwajib karena ketidakjelasan penggunaan
uang desa. Dengan kata lain, akhir-akhir ini banyak oknum aparat desa yang
menjadi tersangka dalam berbagai kasus karena kurang bisa memahami peran dan
tanggung jawab sebagai pimpinan, khususnya dalam mengelola administrasi.
Padahal, sebuah lembaga pemerintahan setingkat desa, kalau
mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi, bisa berjalan sangat
baik. Intinya, apabila pemerintahan desa tidak dijalankan dengan rasa
keterbukaan, akan terjadi penyimpangan yang akhirnya berlawanan dengan aspek
hukum seperti yang diungkapkan MYG.
Ketiga, perlunya regulasi atau aturan tentang syarat
menjadi seorang pemimpin desa agar tidak korup. Hal itu bisa dilakukan
sebelum pelaksanaan pilkades. Perlu ada kontrak politik bagi calon Kades
untuk tidak korupsi dan berbuat amoral maupun asusila. Artinya, jika terbukti
bertindak menyalahi hukum, Kades harus mengundurkan diri. Meski, dalam
aturan, Kades yang terbukti bersalah akan diberhentikan bupati atau kepala
daerah dengan mempertimbangkan usul dari BPD.
Keempat, perlunya skala prioritas program untuk
pengentasan kemiskinan dan peningkatan infrastruktur desa. Masalah kemiskinan
harus menjadi bagian utama dari alokasi APBN dan APBD untuk desa melalui ADD
tersebut. Sebab, selama ini angka kemiskinan di desa sangat luar biasa.
Setidaknya, ADD bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup warga desa.
Begitu pula, infrastruktur desa perlu mendapat skala prioritas agar desa bisa
mudah diakses, khususnya jalan.
Saya yakin, jika dua hal tersebut terlaksana dengan baik,
otomatis denyut perekonomian desa bisa bergeliat yang akhirnya rakyat akan
sejahtera. Dalam tataran demikian, kesenjangan desa dan kota bisa
tereleminasi secara perlahan dan pasti. Hal itu bisa terwujud jika Kades dan
perangkat desanya cerdas serta melupakan korupsi. Dengan demikian, saya yakin
siapa pun yang menjadi aparatur desa (baca: Kades maupun perangkat desa) akan
berkualitas. Sebab, dengan kehadiran figur pemimpin desa yang berkualitas,
berdedikasi tinggi, dan bermoral, demokratisasi di desa, khususnya
pengelolaan ADD, akan berjalan baik.
Nah, dalam konteks ini, saya kurang sependapat dengan
Saudara MYG soal UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang akan menjadi desentralisasi
korupsi. Menurut saya, yang justru harus dibangun lebih dahulu adalah mindset
Kades/aparatur desa bahwa UU Desa semata-mata dibuat untuk memajukan desa
dalam tata kelola keuangan.
Kehadiran UU Desa yang baru dan ADD yang fantastis akan
membuat desa lebih mandiri secara administrasi dan keuangan. Desa perlu
mendapat apresiasi yang tinggi dari seluruh lapisan masyarakat dan
stakeholder terkait dengan pembangunan desa. Pemerintah pusat atau daerah
tidak perlu terlalu mencurigai atau mengawasi seperti yang disampaikan MYG.
Para Kades dan aparaturnya harus didukung serta dibimbing
dalam pembuatan laporan dan penggunaan dana. Jangan dicurigai apalagi ditakuti-takuti
masuk penjara kalau mereka menyalahgunakan keuangan. Yang paling mendesak
sekarang adalah perlunya penguatan mindset Kades/aparatur desa untuk bisa
mengelola secara mandiri masalah administrasi keuangan dengan lebih baik.
Dengan demikian, revolusi mental yang digelorakan Jokowi benar-benar nyata
dan tumbuh dari bawah, khususnya desa, dalam mengelola keuangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar