Jumat, 09 Januari 2015

Meminimalkan Kesenjangan Desa

Meminimalkan Kesenjangan Desa  

Susanto  ;   Guru SMAN 3 Bojonegoro
JAWA POS,  07 Januari 2015

                                                                                                                       


TULISAN Ahmad Mory Yana Gultom (MYG) di Jawa Pos Senin (5/1) yang berjudul Mengawasi Dana Desa sangat menarik. Intinya, dia ingin menyatakan, pertama, pengesahan UU Desa dengan konsekuensi logisnya justru akan menambah mata rantai masalah baru terkait dengan tumbuh suburnya lahan korupsi karena desa akan mendapat dana langsung sekitar Rp 1 miliar.

Kedua, perlunya kewaspadaan ekstra dari pemerintah agar uang (baca: ADD) tidak menguap. Ketiga, penguatan mentalitas aparatur desa. Di satu sisi, dana yang digelontorkan itu merupakan elemen penting bagi keberhasilan pembangunan desa. Di sisi lain, dana itu justru menjadi sebuah ancaman yang terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary) pada 2015 ini.

Jika mengacu pada realitas masih kuatnya sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau menjabat –tidak terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan seterusnya–, potensi mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.

Dalam konteks ini, saya tertarik untuk menindaklanjuti kerangka berpikir MYG untuk didiskusikan ke ruang publik. Saya berharap tulisan ini bisa menjadi penjernih dalam upaya membangun desa yang prorakyat, bukan prokoruptor seperti yang diungkapkan MYG.

Bagaimana sebenarnya peran dan tugas kepala desa (Kades)? Benarkah fenomena Kades yang melakukan korupsi atau tersandung perbuatan asusila karena mentalitas leadership yang rendah akan menjadi masalah dalam implementasi UU Desa yang baru saja disahkan? Lantas, bagaimana idealnya agar UU Desa bisa berjalan maksimal dan desa dapat menyejahterakan rakyatnya? Idealnya, digunakan untuk apa uang ADD tersebut? Program apa yang relevan?

Penguatan Program

Pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan aparatur desa (baca: Kades dan perangkat desa) terkait dengan UU Desa yang baru disahkan tersebut? Pertama, perlunya pemahaman yang jernih dari aparatur desa tentang UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Artinya, pengesahan UU tersebut memberikan implikasi bahwa desa akan mendapat perhatian dan kepercayaan lebih dari pemerintah untuk mengelola pemerintahan secara berkesinambungan serta transparan. Sebab, desa akan mendapat dana yang luar biasa besar untuk meningkatkan kinerja pemerintahan desa. Dengan kata lain, aparatur desa harus memahami aturan terkait dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, baik yang menyangkut tata kelola pemerintahan, keuangan, maupun aspirasi masyarakat.

Kedua, momentum untuk menata administrasi, birokrasi, dan keuangan desa. Mengapa itu penting? Sebab, belakangan ini, banyak fenomena Kades yang berurusan dengan pihak berwajib karena ketidakjelasan penggunaan uang desa. Dengan kata lain, akhir-akhir ini banyak oknum aparat desa yang menjadi tersangka dalam berbagai kasus karena kurang bisa memahami peran dan tanggung jawab sebagai pimpinan, khususnya dalam mengelola administrasi.

Padahal, sebuah lembaga pemerintahan setingkat desa, kalau mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi, bisa berjalan sangat baik. Intinya, apabila pemerintahan desa tidak dijalankan dengan rasa keterbukaan, akan terjadi penyimpangan yang akhirnya berlawanan dengan aspek hukum seperti yang diungkapkan MYG.

Ketiga, perlunya regulasi atau aturan tentang syarat menjadi seorang pemimpin desa agar tidak korup. Hal itu bisa dilakukan sebelum pelaksanaan pilkades. Perlu ada kontrak politik bagi calon Kades untuk tidak korupsi dan berbuat amoral maupun asusila. Artinya, jika terbukti bertindak menyalahi hukum, Kades harus mengundurkan diri. Meski, dalam aturan, Kades yang terbukti bersalah akan diberhentikan bupati atau kepala daerah dengan mempertimbangkan usul dari BPD.

Keempat, perlunya skala prioritas program untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan infrastruktur desa. Masalah kemiskinan harus menjadi bagian utama dari alokasi APBN dan APBD untuk desa melalui ADD tersebut. Sebab, selama ini angka kemiskinan di desa sangat luar biasa. Setidaknya, ADD bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup warga desa. Begitu pula, infrastruktur desa perlu mendapat skala prioritas agar desa bisa mudah diakses, khususnya jalan.

Saya yakin, jika dua hal tersebut terlaksana dengan baik, otomatis denyut perekonomian desa bisa bergeliat yang akhirnya rakyat akan sejahtera. Dalam tataran demikian, kesenjangan desa dan kota bisa tereleminasi secara perlahan dan pasti. Hal itu bisa terwujud jika Kades dan perangkat desanya cerdas serta melupakan korupsi. Dengan demikian, saya yakin siapa pun yang menjadi aparatur desa (baca: Kades maupun perangkat desa) akan berkualitas. Sebab, dengan kehadiran figur pemimpin desa yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermoral, demokratisasi di desa, khususnya pengelolaan ADD, akan berjalan baik.

Nah, dalam konteks ini, saya kurang sependapat dengan Saudara MYG soal UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang akan menjadi desentralisasi korupsi. Menurut saya, yang justru harus dibangun lebih dahulu adalah mindset Kades/aparatur desa bahwa UU Desa semata-mata dibuat untuk memajukan desa dalam tata kelola keuangan.

Kehadiran UU Desa yang baru dan ADD yang fantastis akan membuat desa lebih mandiri secara administrasi dan keuangan. Desa perlu mendapat apresiasi yang tinggi dari seluruh lapisan masyarakat dan stakeholder terkait dengan pembangunan desa. Pemerintah pusat atau daerah tidak perlu terlalu mencurigai atau mengawasi seperti yang disampaikan MYG.

Para Kades dan aparaturnya harus didukung serta dibimbing dalam pembuatan laporan dan penggunaan dana. Jangan dicurigai apalagi ditakuti-takuti masuk penjara kalau mereka menyalahgunakan keuangan. Yang paling mendesak sekarang adalah perlunya penguatan mindset Kades/aparatur desa untuk bisa mengelola secara mandiri masalah administrasi keuangan dengan lebih baik. Dengan demikian, revolusi mental yang digelorakan Jokowi benar-benar nyata dan tumbuh dari bawah, khususnya desa, dalam mengelola keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar