2015,
Tahun Kritis KPK
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Andalas
|
KOMPAS, 08 Januari 2015
PENGUJUNG tahun
lalu, tepatnya 30 Desember 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi berusia 11
tahun. Memasuki perjalanan waktu tahun ke-12, lembaga independen yang
diberikan tugas khusus memberantas korupsi secara extraordinary ini akan
menghadapi tantangan mahahebat. Terlebih pada akhir 2015 semua unsur pimpinan
lembaga anti korupsi ini akan mengakhiri masa bakti mereka.
Tidak jauh berbeda persoalan yang dihadapi tahun-tahun
sebelumnya, secara umum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap akan
berhadapan dengan ”gangguan” eksternal yang berpotensi menurunkan laju upaya
memberantas korupsi. Sementara secara internal, KPK harus menyelesaikan
tumpukan perkara dengan personel yang terbatas. Beban internal bisa menjadi
lebih berat dengan adanya rencana membentuk perwakilan KPK di daerah.
Di tengah persoalan itu, pemerintah harus mempersiapkan
proses seleksi pergantian pimpinan KPK. Jamak dipahami, proses seleksi hampir
selalu menjadi arena pertarungan dari sejumlah kalangan yang berkepentingan
langsung dengan KPK. Dengan berbagai kondisi yang ada, tidaklah berlebihan
untuk mengatakan bahwa 2015 akan menjadi tahun kritis bagi KPK dan sekaligus
menjadi tahun kritis terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Gangguan eksternal
Merujuk bentangan fakta yang ada selama ini, kekhawatiran
akan adanya upaya memangkas kewenangan KPK melalui proses legislasi tidak
pernah reda. Sebagaimana disinyalir Emerson Yuntho, proses legislasi berupa
rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tetap akan menjadi tantangan besar
KPK pada tahun 2015 (Kompas, 30/12-14).
Pendapat anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut memang menjadi
kekhawatiran dan ancaman berkepanjangan, terutama sejak KPK mampu menjamah
hampir semua lembaga yang sebelumnya nyaris tak terjamah penegak hukum konvensional.
Ancaman tersebut kian nyata ketika KPK menyentuh sejumlah aktor politik
Senayan dan figur sentral sejumlah partai politik. Bahkan, bagi sebagian
partai politik, KPK seolah-olah menjadi dan diposisikan sebagai musuh
bersama.
Namun, jika diletakkan dalam desain konstitusi, upaya
menghambat laju KPK melalui proses legislasi tak perlu jadi kekhawatiran
sangat serius. Desain legislasi kita, setiap pembentukan UU (termasuk juga
perubahan) tak bisa dilakukan hanya keinginan DPR. Berdasarkan ketentuan Pasal
20 UUD 1945, setiap rancangan UU memerlukan pembahasan dan persetujuan
bersama DPR dan presiden. Artinya, ihwal ancaman mengurangi kewenangan KPK
hanya menjadi keinginan sebagian kekuatan politik di DPR, revisi KUHAP dan
KUHP tidak akan pernah terjadi.
Melihat desain legislasi dalam UUD 1945 tersebut, ancaman
melalui produk legislasi baru dapat dikatakan serius bilamana presiden
(pemerintah) juga memiliki keinginan yang sama dengan DPR. Artinya, selama
presiden berada pada posisi yang berbeda, ancaman melalui proses legislasi
tidak akan pernah terjadi. Bahkan, kalaupun pada suatu ketika kemungkinan
terjadi persekongkolan antara DPR dan presiden, Mahkamah Konstitusi masih
dapat jadi benteng mempertahankan KPK. Di ujung itu semua, rakyat akan
menjadi kekuatan yang siap berhadapan dengan pembentuk undang-undang.
Dengan penjelasan tersebut, gangguan serius yang harus
dihadapi adalah kewenangan DPR yang tidak sepenuhnya bergantung pada lembaga
lain. Salah satu bentangan fakta yang dapat dikemukakan: wewenang DPR dalam
melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK. Berkaca dari
pengalaman penundaan pemilihan pengganti Busyro Muqoddas, DPR amat mungkin
memilih langkah melakukan politisasi dalam pemilihan pimpinan KPK. Semoga
saja peristiwa pemilihan pengganti Busyro lebih pada belum selesainya krisis
internal DPR, bukan karena keinginan mengganggu KPK.
Masih soal gangguan eksternal, sampai sejauh ini KPK masih
sulit meraih dukungan politik dalam penguatan dan pemenuhan kebutuhan
internal lembaga ini. Sebagaimana ditulis Jon ST Quah dalam Curbing Corruption in Asian Countries, An
Impossible Dream (2013), lemahnya dukungan politik menyebabkan
pemberantasan korupsi sulit mendapatkan hasil. Salah satu bentuk nyata
lemahnya dukungan politik tersebut berupa pemberian anggaran dan sumber daya
manusia yang tidak memadai bagi lembaga antikorupsi. Menurut Quah, rasio staf
institusi anti korupsi harus proporsional dengan jumlah penduduk (Kompas, 8/12-2013).
Merujuk pandangan tersebut, selama tak ada keinginan politik
untuk memberi dukungan memadai, KPK tetap sulit melakukan percepatan
pemberantasan korupsi. Dalam batas penalaran yang wajar, dukungan tersebut
kian diperlukan karena KPK akan membuka kantor perwakilan di daerah. Namun,
melacak pandangan sejumlah kekuatan politik di DPR, jangankan memberikan
dukungan terhadap peningkatan rasio staf pendukung, rencana membuka
perwakilan di daerah sangat mungkin mendapatkan resistensi di DPR.
Dukungan Presiden
Melihat perkembangan yang terjadi di DPR, kemungkinan KPK mengalami
situasi kritis masih dapat dihindari apabila Presiden Joko Widodo mampu
melakukan langkah nyata mewujudkan janjinya terhadap KPK. Dalam hal ini,
salah satu janji Jokowi adalah mendukung penguatan KPK dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan. Ihwal ini,
Jokowi berjanji meningkatkan kapasitas kelembagaan dan peningkatan alokasi
anggaran bagi KPK. Tidak hanya itu, Jokowi juga berjanji untuk memastikan
sinergi antara kepolisian, Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, serta KPK dalam memberantas korupsi.
Dalam soal tersebut, sulit dibantah, sinergi di antara
penegak hukum sangat lemah karena terbentur ego sektoral. Fakta yang tersaji
selama ini, kepolisian dan kejaksaan seolah enggan berada di bawah koordinasi
dan supervisi KPK. Setidaknya, ego sektoral dan lemahnya koordinasi
antarpenegak hukum tecermin kuat saat KPK dan kepolisian berebut dalam
menangani kasus simulator yang menyeret sejumlah petinggi di Korps Lalu
Lintas Mabes Polri pada 2012. Hampir dapat dipastikan janji Jokowi ihwal
sinergi ini pasti dapat ilham, salah satunya, dari rebutan penanganan kasus
simulator itu.
Kiranya, guna mengatasi persoalan akut ini, Jokowi perlu
menerbitkan produk hukum yang mengikat kepolisian dan kejaksaan sehingga
mampu bersinergi dengan KPK. Mengambil contoh kepada Susilo Bambang Yudhoyono
yang menerbitkan instruksi presiden percepatan pemberantasan korupsi pada
awal pemerintahannya, Jokowi bisa pula membuat produk hukum yang jadi amanat
bagi kepolisian dan kejaksaan bersinergi dengan KPK. Jika perlu, sinergi
dengan KPK dalam memberantas korupsi jadi salah satu instrumen untuk menilai
kinerja Kapolri dan Jaksa Agung.
Banyak kalangan percaya, jika Jokowi mampu merealisasikan
pohon janji tersebut, hampir sebagian besar masalah yang dihadapi KPK dapat
diselesaikan. Bahkan, jika perlu, demi memenuhi janji tersebut, Jokowi harus
berada di garis paling depan menghadapi kemungkinan penolakan penguatan
kapasitas kelembagaan KPK yang datang dari DPR. Dalam soal ini, fakta adanya
dukungan yang terbelah dari DPR pada pemerintahan saat ini harus dihadapi
Jokowi demi penguatan KPK. Bagaimanapun, keberanian menghadapi DPR demi
penguatan KPK akan menjadi salah satu titik penting menilai keseriusan Jokowi
dalam desain besar pemberantasan korupsi.
Selain persoalan tersebut, keberhasilan KPK juga amat
ditentukan figur pimpinan. Sebagaimana disebut di bagian awal, masa tugas
pimpinan KPK saat ini akan berakhir di ujung tahun ini. Presiden harus mampu
mencari sosok pengganti yang memiliki komitmen dan keberanian tak diragukan
dalam memberantas korupsi. Karena itu, Jokowi segera bersiap membentuk
panitia seleksi untuk mendapatkan figur calon pimpinan yang layak meneruskan
nakhoda KPK. Karena proses penentuan pimpinan KPK juga akan melalui uji
kelayakan dan kepatutan di DPR, panitia seleksi harus mampu menghasilkan
calon dengan posisi siapa saja yang terpilih di DPR tidak perlu menimbulkan
keraguan.
Tantangan internal
Selain persoalan eksternal, sepanjang tahun ini KPK juga
menghadapi tantangan yang tak dapat dikatakan ringan. Tantangan pertama
terkait penyelesaian tumpukan kasus, terutama yang terkategori megakorupsi,
sampai di pengujung tahun. Sejauh ini, KPK masih menyisakan sejumlah kasus
besar, terutama yang terkait dengan banyak aktor politik. Karena merupakan
tahun terakhir, KPK harus memprioritaskan menyelesaikan semua yang tersisa.
Misalnya, KPK harus segera menyelesaikan Bank Century, kasus korupsi yang
melibatkan Suryadharma Ali, atau sejumlah kasus yang terkait dengan suap yang
melibatkan Akil Mochtar.
Banyak kalangan berharap KPK tidak menyisakan kasus yang
telah di posisi setengah jalan, seperti yang telah dijadikan tersangka atau
sebagian kasus pelakunya telah dilimpahkan ke pengadilan. Upaya penyelesaian
ini perlu agar pergantian unsur pimpinan KPK tidak mementahkan kembali
kasus-kasus yang sudah berada pada fase pengujung. Karena itu, KPK tidak
perlu memecah konsentrasi mereka dengan kasus-kasus yang semestinya bisa
dilakukan instansi lain. Dalam konteks ini, misalnya, permintaan agar KPK
menelusuri dugaan penyimpangan pemberian izin penerbangan AirAsia QZ 8501
tentu akan menjadi beban ekstra di tengah tuntutan penyelesaian kasus-kasus
besar.
Tantangan berikutnya, rencana pembentukan perwakilan KPK
di daerah. Selain secara hukum memang tersedia kesempatan untuk membentuk
perwakilan di provinsi, melihat peta sebaran kasus korupsi, rencana ini jadi
semacam keniscayaan. Namun, pembentukan perwakilan di daerah harus dengan
sangat selektif dan penuh pertimbangan. Tanpa itu, langkah pembentukan
perwakilan di daerah berpeluang mengeroposkan KPK.
Agar kekhawatiran itu tak terjadi, kantor perwakilan di
daerah sebaiknya diberi kewenangan terbatas. Misalnya, di antara yang mungkin
dilaksanakan perwakilan adalah melakukan koordinasi dan supervisi
pemberantasan korupsi. Dengan kewenangan ini, perwakilan dapat jadi pemicu
dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi di
daerah. Selain itu, dalam hal personel, sebaiknya KPK mengirim figur yang sudah
dipastikan komitmennya pada pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, akan jauh
lebih baik yang ditugaskan adalah mereka yang telah teruji di KPK selama ini.
Saya percaya, jika semua yang dikemukakan ini dapat
dikelola dengan baik, kita tidak perlu khawatir bahwa tahun 2015 akan menjadi
titik kritis bagi KPK. Dengan demikian, tahun boleh berganti, pimpinan boleh
berpindah kepada orang lain, yang terpenting komitmen melawan korupsi tidak
boleh berubah. Inilah tantangan sesungguhnya dalam desain besar pemberantasan
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar