Politik
Membangsa dan Menegara
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 06 Januari 2015
MENGAPA
merayakan Tahun Baru? Padahal, momentum pergantian tahun tidak berbeda dengan
peralihan hari-hari yang lain. Fenomena tarian perputaran Bumi di atas
sumbunya sembari mengitari Matahari telah berlangsung ribuan, bahkan jutaan
tahun. Setiap perputaran memerlukan waktu 24 jam. Apabila rotasi mencapai 365
kali, disebut satu tahun. Peralihan dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari
adalah peristiwa alamiah semata.
Jawaban
mendasar terhadap pertanyaan di atas antara lain diberikan Aristoteles dalam
Buku Fisika (Physics Book) IV, Bab
10-14; ”What Is Time?: On Aristotle’s
Definition of Time”. Ia mendefinisikan waktu sebagai sejumlah perubahan
berkenaan dengan ”sebelumnya” (before)
dan ”sesudahnya” (after). Oleh
karena itu, waktu secara fundamental berkaitan dengan perubahan dan gerak.
Jelasnya, waktu merupakan serangkaian gerak perubahan dari masa lampau ke
masa yang akan datang.
Bertitik
tolak dari pemahaman itu, pesta pergantian tahun tidak merayakan fenomena
alam, tetapi merayakan harapan masa akan datang lebih baik dibandingkan
dengan masa sebelumnya. Agar dapat menyelami makna tersebut, diperlukan
kompetensi berkontemplasi supaya peristiwa masa lalu dapat dijadikan modal
refleksi dan introspeksi menyempurnakan kehidupan selanjutnya.
Nuansa pesta
pergantian tahun kali ini, selain dirayakan dengan kegembiraan, sangat
dirasakan pula semangat solidaritas, empati, dan suasana duka yang mendalam
terhadap ratusan korban musibah tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah,
serta jatuhnya pesawat AirAsia di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Suasana pergantian tahun dirasakan semakin khidmat dengan diselenggarakannya
zikir nasional untuk bermuhasabah yang diikuti ribuan peserta.
Dengan ibadah
tersebut, masyarakat semakin disadarkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang paling mulia. Kegembiraan harus disertai empati yang tinggi
terhadap warga lain yang miskin, kurang beruntung, terlebih yang sedang
menerima musibah. Pergantian tahun juga semakin bermakna dengan prakarsa
Komite Perdamaian Dunia yang menyelenggarakan acara bertema ”Persatuan dan
Kebinekaan Budaya Indonesia” (Kompas,
2/1). Diharapkan tahun 2015 merupakan kebangkitan peradaban dan budaya
sebagai panglima membangun dunia yang berkesinambungan.
Berbekal
semangat tersebut, semua komponen bangsa perlu merenungkan agenda politik
”membangsa”, proses menjadi bangsa, dan ”menegara”, proses mengelola
kekuasaan yang beradab untuk mewujudkan kebahagiaan bersama. Momentum ini
sangat penting mengingat proses membangun bangsa yang bineka sekaligus eka
tahun 2014 diwarnai meningkatnya intoleransi dan semakin tertekannya
kelompok-kelompok marjinal, baik dalam perspektif religiositas maupun
sosial-ekonomi.
Bahkan, di
Yogyakarta, ikon masyarakat yang sangat toleran, menurut laporan tahunan The Wahid Institute tahun 2014, berada
di peringkat kedua dalam prestasi intoleransi, terutama berkenaan dengan
kebebasan beragama dan mengekspresikan keyakinan (The Jakarta Post, 2/1). Pemerintah daerah dan kepolisian dianggap
melanggar hak asasi warga karena tak mampu melindungi warganya melaksanakan
hak-hak beragama serta kepercayaan mereka. Proses membangsa juga sangat
terganggu dengan pertarungan politik tahun 2014 yang masih mengeksploitasi
sentimen primordial sebagai instrumen mengumpulkan suara.
Dalam proses
menegara, pertarungan kekuasaan yang membabi buta masih berlangsung. Parlemen
terbelah dalam dua kubu, Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.
Adapun partai politik, selain semakin oligarkistis, juga mengidap perpecahan
dan dekonsolidasi. Sebagian besar politisi ibaratnya bukan hanya penikmat
kekuasaan, melainkan juga pemadat nikmat kuasa yang sudah kehilangan kendali
moral, etika, perilaku juga hati serta peradaban dan absennya kemauan baik
serta rasa malu. Kedaulatan rakyat dikerdilkan maknanya sekadar Demokrasi
Esoteris (Esoteric Democracy).
Demokrasi yang ditafsirkan segelintir orang sesuai dengan interes mereka.
Namun, bukan
berarti politik membangsa dan menegara tanpa harapan. Dalam hal pertama,
respons masyarakat atas musibah tanah longsor di Banjarnegara, pesawat
AirAsia, dan musibah lain membuktikan tingkat empati publik serta solidaritas
sosial masyarakat masih tinggi. Sikap berbela rasa, rasa-merasakan, dalam
hidup bersama terawat baik. Suasana kebatinan kolektif itu adalah modal andal
melanjutkan proses membangsa menuju masyarakat yang bahagia.
Dalam proses
menegara, kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, meskipun baru sekitar tiga
bulan dan masih terdapat berbagai kekurangan, telah menunjukkan simtom-simtom
kebijakan yang menjanjikan. Pertama, mengurai kemaceten serta silang
sengkarut manajemen dan tumpang tindih birokrasi tidak dengan mengucap mantra
debottlenecking (mengurai
kemacetan), tetapi terjun ke lapangan dan membuat kebijakan untuk dieksekusi,
misalnya kebijakan membentuk Badan Keamanan Laut serta membentuk Tim
Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi untuk memberantas mafia migas.
Kedua, keberanian mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke sektor
pembangunan infrastruktur.
Dengan
kebijakan yang memihak rakyat, apabila dilakukan konsisten disertai
transparansi dan akuntabilitas, proses menegara tahun 2015 dapat menjadi
modal penting membangun kehidupan politik yang memuliakan kekuasaan. Bangsa
Indonesia pun menapak tahun 2015 dengan kepala tegak dan optimistis serta
pantang menyerah untuk mewujudkan bangsa bahagia dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar