Kewalian
dan Gus Durian
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
|
KORAN
SINDO, 05 Januari 2015
Inikah yang
disebut impian menjadi kenyataan? Di masa hidupnya, Gus Dur sudah disebut
wali oleh sementara kalangan kaum nahdliyin.
Tapi yang
disebut “sementara” ini jumlahnya berjuta-juta orang dan yang berjuta-juta
ini pengaruh sosial-politiknya tidak kecil. Kita tahu media nasional sangat
terpengaruh. Ini boleh jadi karena mereka percaya Gus Dur memang wali
sehingga media menyiarkannya bukan sekadar di kalangan kaum nahdliyin,
melainkan di seluruh Indonesia. Media nasional “menyanyikan” lagu kewalian Gus
Dur.
Kemudian
media daerah mengikutinya. Ada orang-orang media yang mungkin skeptis, bahkan
tak percaya Gus Dur wali, tapi mereka menyiarkannya juga karena fenomena
kewalian itu jelas “laku” sekali dijual. Ada momen-momen penting pada tahun
1990-an dulu ketika ibaratnya Gus Dur terbatuk-batuk atau dehem-dehem pun
menjadi berita penting dan diulas panjang lebar di media.
Dalam tiap
kali muktamar NU Gus Dur menjadi pusat perhatian seluruh media. Kita ingat
beliau disebut news maker. Berita apa pun, kalau Gus Dur sumbernya, dianggap
penting. Dalam tiap muktamar itu, ketika Gus Dur berdiri dari kursinya dan
sekadar mau ke belakang pun para insan pers yang duduk berkelompok di suatu
tempat dengan sigap segera berdiri untuk dahulu-mendahului agar bisa mengajukan
suatu pertanyaan penting.
Padahal bisa
jadi saat itu Gus Dur betulbetul hanya ke belakang dan tak mungkin memberikan
suatu wawancara. Gus Dur seorang wali resminya wali Allah diterima luas pula
di kalangan media yang bukan komunitas kaum nahdliyin. Apalagi kalau di dalam
media itu ada warga kaum nahdliyin yang menjadi wartawan.
Otomatis dia
atau mereka akan tampil paling gigih untuk tiap kali mengulas dalam berita
atau esai mereka tentang kewalian Gus Dur. Meski begitu, banyak di antara
kawan-kawan Gus Dur sendiri, terutama dari kalangan Muhammadiyah atau punya
tetesan darah Masyumi, sangat tak percaya pada apa yang mereka anggap
“tahayul” belaka atau lelucon tak menarik itu. Almarhum Utomo Dananjaya salah
satucontohnya.
Almarhum
Muslim Abdurahman juga menganggapnya lelucon belaka. Lalu Gus Dur pun wafat
pada tanggal 30 Desember tahun 2010. Jutaan umat NU, ditambah Muhammadiyah,
Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan komunitaskomunitas lain, tumplekblek
di Jombang, mengantarkannya ke tempat pemakaman dan menunjukkan dengan tulus
penghormatan terakhir mereka kepada beliau.
Pada saat
itulah secara mengejutkan kedudukan beliau sebagai wali ke-10 dikukuhkan.
Tentu saja tak seorang pun menjadi panitia pengukuhan itu. Kita hanya tahu
mobil demi mobil, beribu-ribu banyaknya, ditempeli tulisan Gus Dur wali
ke-10. Kita tidak tahu psikologi kaum nahdliyin.
Kita belum
tahu bagaimana sebetulnya penghormatan kaum nahdliyin kepada Gus Dur. Dan
pada hari pemakaman beliau itulah kita tahu betapa tulus sikap hormat mereka
kepada beliau. Saya sendiri, di tengah kerumunan itu, merasa ada kejutan
besar yang mengguncang jiwa; menjadi sebuah kesimpulan bahwa Gus Dur yang
sudah dimahkotai kewalian di masa hidupnya kini mahkotanya itu dikukuhkan
dengan resepsi besar-besaran di saat kematiannya.
Dengan
merinding saya menafsirkan, tampaknya kewaliannya bukan lelucon, melainkan
anugerah “duniaakhirat” yang tak perlu dipertanyakan, tak perlu diragukan. Di
masa duka itu, tak mungkin ada rekayasa. Siapa orangnya yang siap dengan
sebuah rekayasa untuk sebuah kematian yang datang mendadak. Siapa yang,
diantaraorang-orang yang hidup dalam dunia rohani itu, siap membuat
kebohongan dalam masa duka mendalam seperti itu?
Tak ada
komando mewalikan Gus Dur. Jika hal itu ada, tampaknya dari langit datangnya.
Pada hari itu, kewalian duniawinya dikukuhkan menjadi kewalian dunia-akhirat.
Kita dibuat mengerti, beliau bukan sekadar pahlawan nasional. Kepahlawanan
bukan apa-apa dibandingkan dengan kewalian. Ada wartawan sebuah televisi yang
begitu mentah pendapatnya ketika siarannya membahas isu politik bahwa Gus Dur
diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Dia
membandingkan Gus Dur dengan Pak Harto. Dia bilang Pak Harto belum dijadikan
pahlawan, padahal berjasa, sedangkan Gus Dur, yang dilengserkan, malah
dicalonkan sebagai pahlawan. Dia sama sekali tak tahu persoalan. Gus Dur
dicalonkan sebagai pahlawan nasional atas kapasitas pribadinya dan tidak ada
hubungan dengan kepresidenan. Sebagai pribadi Gus Dur sangat besar.
Orang bilang
Gus Dur itu larger than life. Jadi, kalau toh beliau dijadikan pahlawan
nasional, apa gunanya kepahlawanan dibandingkan, sekali lagi, kewalian tadi?
Dawam Rahardjo, yang hampir tak pernah akur dengan Gus Dur, pada akhirnya,
entah mengapa, percaya betul Gus Dur itu wali.
Mungkin
beliau melihat dengan hati, sedangkan dua teman yang disebut di atas
menganggap kewalian Gus Dur sebagai lelucon, mungkin, lebih karena mereka
melihatnya dengan pikiran rasional. Tapi pengakuan atau penolakan sementara
kalangan kelihatannya tak begitu penting dibandingkan gegap gempitanya
penerimaan komunitas kaum nahdliyin yang begitu besar.
Selebihnya,
saya kira bangsa kita memang membutuhkan sekali sesuatu yang dapat dijadikan
sejenis “pujaan” hati seperti kewalian tadi. Fenomena ziarah kubur ke makam
wali-wali membuktikan itu. “Menggilanya” kunjungan ke makan Gus Dur, yang
hingga kini tetap membanjir, jelas membuktikan bahwa bangsa kita ini haus
akan rohani.
Ini untuk
menenteramkan hati yang dirusak oleh ekonomi kapitalistik yang serakah dan kejam,
dan oleh politik, dengan segenap watak korup di kalangan pejabat partai
maupun birokrasi yang membuat hancur kepercayaan kita atas apa yang mulia,
agung, dan luhur di dalam hidup ini. Ketika masih hidup, Gus Dur mengobati
jiwa masyarakat dengan berbagai sikap dan pandangan politik yang mengayomi.
Sesudah
wafat, beliau masih juga tampil dengan kewaliannya dan menyiram kehausan
maupun kekeringan rohani bangsa kita. Saya kira ini penting menjadi perhatian
kaum muda yang tergabung di dalam “Gus Durian”. Mereka pengagum dan pengikut
Gus Dur yang setia, bukan dengan kesetiaan buta, bukan dengan sikap taklid,
tapi dengan rasio yang sehat wal-afiat. Tiap saat mereka berkumpul dan
mengingat kembali kemuliaan Gus Dur.
Di Wisma
Makara, Depok, belum lama ini mereka menyelenggarakan simposium. Apa yang
penting di sana? Dalam forum kebudayaan, saya usulkan agar Gus Dur tidak
dijadikan mitos. Dipuji baik sekali. Tapi dipuja apalagi dipujapuja buruknya
bukan main. Jadi jangan lakukan itu.
Sebaliknya,
gagasan bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam hendaknya dirumuskan
sebagai suatu teori dan pemikiran kebudayaan, yang akan mengukuhkan gagasan
itu pada tingkat tindakan-tindakan, bukan berhenti sebagai hafalan teologis
yang bertakhta di alam kesadaran yang tak tersentuh. Kaum muda Gus Durian
banyak yang hebat dan memiliki kapasitas akademik yang tinggi. Niscaya mereka
bisa mewujudkan proses teoretisasi tadi.
Mungkin hal
itu tidak mudah, tapi itu jawaban yang kita butuhkan sekaligus untuk
menghindarkan diri dari pemitosan kewalian Gus Dur. Kita tahu, menjadi wali
mungkin beliau senang. Tapi menjadi dongeng dalam mitologi bagi dirinya
sendiri mungkin tidak.? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar