Berebut
Pemerintahan Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 10 Januari 2015
Patut
disayangkan! Konflik antara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi dengan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Kementerian Dalam Negeri bereskalasi hingga menyeret partai politik di
belakang para menteri (Kompas, 5
Januari 2015).
Titik
kulminasi ini akan mengusik kembali kenegarawanan Joko Widodo untuk
memutuskan fungsi pemerintahan desa diurus Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau Kemendagri. Dapat saja keputusan
Presiden segera meredam perseteruan secara legalistis, tetapi butuh tambahan
waktu untuk meredakan pertentangan antar-aparat kementerian.
Untunglah, di
tengah prahara kementerian itu, dana desa tetap ditransfer (Kompas, 6 Januari
2016). Namun, biasanya, tanpa aturan menteri tentang tata cara distribusi
dana di desa, transfer tetap mengendap di kantor perbendaharaan negara. Ujung
dari adu gajah ini berupa surutnya kepentingan warga desa.
Pemerintahan desa
UU No 6/2014
tentang Desa digembar-gemborkan membawa romantisme masa Bung Karno saat
urusan desa dilembagakan dalam kementerian tersendiri. Diinginkan menteri
desa Indonesia duduk sejajar dengan menteri-menteri desa dari negara Asia dan
Pasifik dalam pertemuan tahunan.
Undang-undang
itu hampir sepenuhnya menampung kepentingan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat
(PMD)/Kemendagri, dengan mengukuhkan berbagai peraturan menteri menjadi
pasal-pasalnya. Penamaan ”desa” sekaligus menegasi ”(wilayah, kawasan)
pedesaan” yang dikelola kementerian lain pada masanya.
Secara
khusus, topik pemerintahan desa mendominasi 12 dari 15 bab dalam UU Desa.
Lobi di akhir pembahasan antarkementerian memungkinkan bidang pembangunan
pedesaan turut termaktub dalam tiga bab menjelang akhir undang-undang.
Komposisi bab
menunjukkan UU Desa terutama berbicara tentang pemerintahan desa. Pada titik
inilah konflik Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi dengan Ditjen PMD/Kemendagri bermula.
Dipilih dari
elemen partai (bukan profesional murni), menteri desa masuk dari pintu
wewenang daerah tertinggal dan kawasan transmigrasi yang justru dikecilkan
dalam UU Desa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga baru menangkap
koruptor daerah tertinggal dan transmigrasi. Ditjen PMD/Kemendagri yang
memiliki kekuatan pengalaman, aparat, jaringan pemerintahan daerah, hingga
infrastruktur sistem informasi lalu menutup pintu pemindahan Direktorat
Pemerintahan Desa.
Sejak
1970-an, Nordholt mencatat kuasa pemerintahan desa menguat pesat sejalan
dengan penyaluran program pembangunan lewat kepala desa. Kuasa pemerintah
desa sempat mengerdil sejak reformasi menjalankan program pemberdayaan
masyarakat dengan melewatkan persetujuan kepala desa.
Kini, UU No
6/2014 tentang Desa membuhulkan kembali kuasa pemerintahan desa melalui arus
masuk dana desa ratusan juta rupiah setahun, berikut wewenang mengelola
seluruh program yang masuk desa. Melalui perolehan honor bulanan, cengkeraman
pemerintahan desa menjalar sampai ke tingkat rukun tetangga (semula rukun
tetangga diperlakukan sebagai lembaga kemasyarakatan sukarela).
Meskipun
menggunakan pakaian dan atribut ala pemerintah, kenyataannya aparat
pemerintah desa tidak pernah terdaftar resmi sebagai pegawai negeri sipil
(hanya sebagian kecil sekretaris desa). Kontrol pemerintah pusat dan daerah
terhadap berjalannya fungsi-fungsi pemerintahan desa selama ini dilakukan
melalui insentif program dan dana yang masuk ke desa.
Dua solusi
Jika fungsi pemerintahan
desa dimasukkan ke dalam Ditjen PMD/Kemendagri, petugas administrasi, seperti
sekretaris desa dan kepala urusan, hendaknya terdaftar sebagai pegawai negeri
sipil. Sehari-hari mereka bertugas melayani warga, siapa pun yang menjadi
kepala desa. Kondisinya akan serupa dengan pemda kabupaten/kota dan provinsi,
dan mereka benar-benar tepat disebut aparat pemerintah desa.
Sesuai UU No
6/2014, selanjutnya pemerintah pusat menyelesaikan peraturan pelaksanaan
kepegawaian desa, aset desa, aturan bagi pemprov untuk meresmikan desa adat,
juga memastikan keberlanjutan anggaran pusat dan daerah untuk desa.
Jika fungsi
pemerintahan desa tetap dijalankan melalui insentif dana dan program seperti
selama ini, bisa diletakkan pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi. Tentu saja personel Ditjen PMD/Kemendagri yang
berpengalaman serta infrastruktur penunjang turut berpindah demi untuk
menjaga kelancaran pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa.
Untuk
mempercepat akselerasi pemerintahan desa, perlu segera diatur tahapan
pencairan dana desa, pelaksanaan penggunaannya untuk insentif aparat
pemerintahan desa, dan aturan pelaporan dana desa. Perlu disusun pula
operasionalisasi keterpaduan pembangunan di tingkat desa bagi semua kementerian
dan lembaga di pusat. Juga disusun aturan untuk memadukan program dan
anggaran oleh pemerintah desa.
Untuk mencari
keseimbangan antara dominasi pemerintah desa semasa Orde Baru dan dominasi
warga semasa reformasi, partisipasi warga dalam pelayanan publik dapat
dilakukan. Selama ini, partisipasi warga dalam pelayanan publik berlangsung
pada bidang kesehatan melalui posyandu, pendidikan melalui komite sekolah,
dan ketenteraman melalui sistem keamanan lingkungan. Kelompok masyarakat juga
terbiasa membangun infrastruktur.
Bidang
partisipasi dapat diperluas untuk semacam urusan pemerintahan wajib dan
pilihan yang berkaitan dengan pelayanan dasar sosial, pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum dan penataan ruang. Juga layanan perumahan rakyat dan kawasan
permukiman, serta ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar