Harga
Bersubsidi Turun, Rakyat Rugi atau Untung?
Agus Pambagio ; Pengamat Kebijakan Publik
|
DETIKNEWS, 19 Januari 2015
Harga bahan
bakar minyak (BBM), utamanya bensin premium dan solar, merupakan faktor utama
pemicu meningkatnya biaya atau harga komoditi lain, seperti biaya
transportasi, harga beras, harga sayur mayur, dan harga-harga kebutuhan pokok
lainnya. Ujung-ujungnya harga BBM menjadi salah satu pemicu utama naiknya
inflasi di Indonesia.
Di saat
kebutuhan BBM Indonesia mencapai sekitar 1,6 juta barel/hari dengan produksi
dalam negeri hanya kurang dari 800 ribu barel/hari, membuat Indonesia harus
mengimpor 60% kebutuhan BBMnya. Kebutuhan ini tentunya sangat berdampak pada
beban Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) yang cukup besar setiap
tahunnya.
Rencana
Pemerintahan Jokowi untuk mengurangi beban subsidi BBM supaya alokasi
anggaran untuk pembangunan infrastruktur meningkat, berakibat harga BBM
bersubsidi harus dinaikkan. Untuk itu, harga BBM bersubsidi dinaikkan pada
tanggal 1 November 2014. Di tengah harga minyak mentah dunia sedang tinggi
tentunya kebijakan ini dapat mengurangi beban negara untuk mengimpor dan
mensubsidi BBM secara signifikan. Namun tidak pada saat harga minyak dunia
rendah seperti saat ini.
Kondisi ini
idealnya menguntungkan pemerintah karena dapat segera mengalokasikan anggaran
yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur. Namun setelah pemerintah
menurunkan harga BBM pada tanggal 1 Januari 2015, kembali ketika pemerintah
akan menurunkan harga BBM pada tanggal 19 Januari 2015, muncul pertanyaan
saya: apakah penurunan kembali harga BBM akan menurunkan harga komoditas,
transportasi dan menguntungkan rakyat? Apakah dengan turunnya harga BBM,
sumber energi baru dan terbarukan dapat tumbuh secara ekonomis untuk memenuhi
kebutuhan energi nasional?
Dampak Turunnya Harga BBM
Ketika harga
premium turun dari Rp 8.500/liter menjadi Rp 7.600/liter sementara harga
solar juga turun dari Rp 7.500/liter menjadi Rp 7.250/liter pada 1 Januari
2015 (berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 39/2014), saya langsung memantau
dampak sosial ekonomi dari beberapa harga komoditi pangan dan biaya
transportasi. Ternyata tidak ada yang turun. Artinya dampak turunnya harga
BBM bersubsidi bagi rakyat kecil tidak banyak manfaatnya. Bagaimana bagi
negara?
Bagi negara,
yang pasti merugikan karena pendapatan negara dari penjualan BBM bersubsidi
akan hilang sekitar 10,6% untuk per liter premium dan 3,33% untuk per liter
solar. Artinya pendapatan negara yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur
akan berkurang karena pendapatan berkurang, sementara untuk rakyat tidak
bermanfaat secara signifikan karena tidak ada penurunan harga-harga komoditi
pangan, transportasi, dan lain-lain.
Belum lagi
kita selesai mengevaluasi dampak penurunan harga BBM bersubsidi, hari ini
Senin 19 Januari 2015, pemerintah kembali menurunkan harga BBM bersubsidi
untuk bensin premium menjadi Rp 6.600/liter (turun 13,16%) dan solar menjadi
Rp 6.400/liter (turun 11,72%). Jadi sejak kenaikan bulan November 2014, pendapatan
negara dari penjualan premium menurun sekitar 23,76% dan solar menurun hingga
15,05%. Sementara kebutuhan BBM terus meningkat, penerimaan negara dari
sektor migas juga ikut turun.
Lalu apa yang
akan terjadi ketika nanti, jika kuartal II (Q II) 2015 harga minyak dunia
naik, misalnya kembali ke harga di atas 90 USD/barel? Pastinya pemerintah
akan kesulitan mengalokasikan dana subsidi BBM yang membengkak dan merugikan
rakyat karena harga-harga akan kembali melambung. Penurunan harga minyak
mentah dunia tidak selalu menguntungkan perekonomian Indonesia, mengingat
pendapatan dari sektor ekspor migas masih lumayan besar.
Ingat harga
minyak mentah dunia merupakan komoditas politik untuk mengendalikan dunia
bagi beberapa negara adi daya (Amerika, China dan Rusia) dan dampaknya akan
terasa sangat besar bagi negara pengimpor minyak, seperti Indonesia. Kondisi
ini harus diwaspadai dan dipantau sangat ketat oleh Menteri Koordinator
Perekonomian dan jajarannya.
Terus
turunnya harga BBM bersubsidi akan membuat harga BBM murah yang idealnya
menguntungkan rakyat. Namun situasi ini akan kembali mengganggu pengembangan
energi nonfosil atau sumber energi baru terbarukan yang bukan berasal dari
fosil, misalnya minyak nabati, bioetanol, dan sebagainya. Bahkan gas pun akan
sulit dikembangkan sebagai energi utama menggantikan BBM untuk rumah tangga
maupun transportasi ketika harga BBM bersubsidi semakin murah.
Seperti kita
ketahui bersama bahwa untuk mengembangkan energi baru terbarukan sebagai
sumber energi utama yang akan menggantikan peran BBM diperlukan investasi
yang tidak sedikit. Investasi ini sebaiknya dibiayai oleh pemerintah melalui
APBN supaya harga energi baru terbarukan terjangkau oleh rakyat. Lalu
bagaimana pendapatan negara bisa bertambah jika harga BBM terus diturunkan
dengan patokan turunnya harga minyak mentah dunia? Pertanyaan lain, apakah
upaya Menteri ESDM ini untuk membantu rakyat atau hanya pencitraan seperti
pemerintahan yang lalu?
Masih segar
dalam ingatan kita membengkaknya anggaran subsidi BBM di tahun 2014 yang
salah satunya disebabkan karena Presiden SBY menurunkan harga BBM bersubsidi
2 kali. Coba jika saat itu SBY tidak menurunkan harga BBM bersubsidi,
pemerintah tidak perlu menganggarkan dana subsisdi BBM nyaris mendekati Rp
300 triliun. Masih terekam dalam pikiran saya ketika harga BBM diturunkan,
sama sekali tidak berdampak pada turunnya harga kebutuhan pokok dan ongkos
transportasi masal kala itu. Saya yakin demikian pula saat ini.
Yang Harus Dilakukan oleh
Pemerintah
Pertama,
selama mayoritas harga komoditi masih sangat terpengaruh oleh harga BBM,
jangan terapkan pemberlakuan tarif pasar harga BBM bersubsidi yang bisa naik
turun kapan saja. Kecuali pemerintah akan segera menghapus bensin bersubsidi
RON 88 menjadi RON 92 atau yang lebih tinggi.
Kedua,
penerapan harga BBM bersubsidi mengikuti harga atau tren dunia akan
mengurangi kemampuan dana pemerintah untuk membangun infrastruktur dan
pengembangan energi baru terbarukan. Kedua program ini tidak akan pernah bisa
dilaksanakan ketika energi pokok (BBM) harga sangat murah. Energi pokok
harganya harus mahal sehingga membuat rakyat mau berpartisipasi dalam program
pengembangan energi baru terbarukan.
Ketiga,
dengan pola seperti ini, sulit bagi pemerintah untuk merencanakan kemandirian
energi Indonesia ke depan. Ketergantungan pada BBM impor akan semakin tinggi
karena tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, sementara itu energi
baru terbarukan semakin dilupakan. Saya mohon kepada Presiden Jokowi supaya
dalam 5 tahun mendatang lebih bijaksana dalam membuat kebijakan energi
Indonesia demi keberlangsungan bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar