Depersonifikasi
Kebijakan Publik
Masdar Hilmy ; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS, 08 Januari 2015
SETIAP kebijakan
publik yang cacat dalam proses pembuatannya dapat dipastikan akan menuai
kontroversi dan resistensi. Ada banyak penyebab sebuah kebijakan publik
mengalami kecacatan. Salah satunya adalah personifikasi. Personifikasi
kebijakan publik dapat terjadi ketika unsur-unsur personal menyelinap masuk,
membaur ke dalam struktur kelembagaan, dan mengacaukan produk kebijakan yang
mestinya bersifat institusional, nirpribadi, dan mencakup semua.
Harus diakui, di negeri ini banyak dijumpai kebijakan
publik yang justru ”apublik” akibat proses pembuatannya lebih banyak
merefleksikan keinginan pribadi sang pemimpin atau pejabat, sekaligus
mengabaikan public engagement. Dalam konteks ini, kriteria public good tidak diukur dan
diobyektifikasi sesuai dengan standar akuntabilitas publik, tetapi hasil
refleksi pribadi sang pejabat yang bersifat arbiter, tak semena-mena, dan
imajiner. Distorsi dan anomali kebijakan publik adalah sebuah konsekuensi
dari personifikasi kebijakan publik dimaksud.
Miskin visi kelembagaan
Masuknya unsur-unsur personal ke dalam sebuah kebijakan
publik sebenarnya bukan hal yang jelek sepanjang ia diproduksi dan
diobyektifikasi melalui sebuah proses yang akuntabel dan bertanggung jawab.
Dalam banyak hal, kehadiran unsur personal justru sering kali menginspirasi
munculnya kebijakan publik yang progresif. Persoalannya adalah sesuatu yang
bersifat pribadi ternyata belum tentu ekuivalen dengan kehendak publik akibat
distorsi dalam proses pembuatannya.
Masuknya kepentingan pribadi ke dalam sebuah kebijakan
publik dapat terjadi ketika sebuah lembaga kenegaraan mengalami rudin visi
kelembagaan. Dalam kondisi semacam ini, visi personal individu di tingkat
manajemen puncak jauh lebih dominan ketimbang visi formal kelembagaan. Dengan
ungkapan lain, visi kelembagaan sangat diwarnai oleh karakter individu sang
pemimpin. Akibatnya, yang tampak di permukaan adalah warna individu ketimbang
warna lembaga dimaksud.
Dalam perspektif manajemen organisasi, kondisi semacam ini
merupakan gejala tidak sehat sekalipun ruang-ruang organisasi sebenarnya
tetap akan mengakomodasi warna personal. Warna personal ini justru menjadi
elemen terpenting ketika sebuah organisasi melakukan proses transformasi
publik.
Meski demikian, dominasi warna personal dapat menyebabkan
turbulensi kelembagaan jika produk kebijakannya tidak menyentuh hajat hidup
publik. Warna personal hanya dapat ditoleransi dalam batas-batas tertentu
guna mendinamisasi gerak langkah organisasi tersebut agar tidak monoton.
Miskinnya visi kelembagaan menjadi fenomena umum yang
mudah dijumpai di negeri ini. Dalam ungkapan sarkastik, di negeri ini tak ada
visi lembaga; yang ada adalah visi pribadi pejabat. Pergantian kepemimpinan
di negeri ini sering kali diwarnai pergantian visi beserta seluruh
kebijakannya. Lebih parah lagi, pergantian kebijakan sering kali dilakukan
untuk sekadar menandai perbedaan dengan para pejabat sebelumnya. Selain itu,
pergantian kebijakan sering kali tidak disertai proses yang akuntabel.
Dalam konteks pembangunan, misalnya, sebenarnya kita punya
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional untuk tahun 2005 sampai
dengan 2025, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Namun,
realitasnya, yang berlaku di republik ini adalah jargon ”apa yang
direncanakan tidak dilakukan dan yang dilakukan tidak direncanakan”.
Maka, rencana tinggal rencana. Begitu seseorang terpilih
sebagai pejabat, tidak ada seorang pun yang berhak memaksanya menaati sebuah
cetak biru yang sudah ada. Padahal, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar,
ketaatan terhadap rencana merupakan harga mati.
Kontroversi dan resistensi atas penerapan Kurikulum 2013
(K-13), misalnya, menjadi contoh betapa pembuatan kebijakan publik belum
mengindahkan proses-proses yang akuntabel. Betapapun baik dan mulianya maksud
K-13, proses pembuatan yang tidak akuntabel dapat mereduksi keutamaan K-13
dimaksud. Di luar K-13 masih ada banyak kebijakan publik yang terkesan asal
jadi, ngawur, dan tidak merefleksikan kehendak publik. Sekalipun belum tentu
ada unsur personifikasi, ketergesa-gesaan implementasi K-13 bisa saja dibaca
sebagai wujud personifikasi pejabat terkait.
Akuntabilitas proses
Kontroversi dan resistensi publik atas kebijakan tertentu
terjadi karena masyarakat tidak ingin menjadi sekadar ”obyek penderita” dari
kebijakan publik yang tidak dikehendaki. Mereka juga tidak mau menjadi
kelinci percobaan dari sebuah kebijakan yang belum tentu membuat mereka lebih
baik. Alih-alih, mereka menjadi korban malapraktik dari sebuah kebijakan
publik yang ngawur. Jika sebuah kebijakan publik dihasilkan dalam sebuah
proses yang akuntabel, kecil kemungkinan terjadi kontroversi dan resistensi.
Dalam konteks ini, James E Anderson (Public Policymaking, 2006) menganjurkan lima langkah menghasilkan
kebijakan publik yang akuntabel: (1) identifikasi persoalan dan penyusunan
agenda; (2) merancang format kebijakan; (3) mengambil keputusan; (4) eksekusi
atau pelaksanaan; serta (5) evaluasi dan revisi kebijakan berdasarkan masukan
(second opinion) dari berbagai
pihak. Pertanyaannya adalah apakah setiap pejabat telah melampaui kelima
tahap tersebut dalam menghasilkan setiap kebijakan publik? Sebuah pertanyaan
retoris yang jawabannya sudah terang benderang.
Kita semua patut mewaspadai penggunaan jabatan formal
kenegaraan sekadar sebagai panggung pengartikulasian ke-aku-an seorang
pejabat. Di balik personifikasi kebijakan publik, terdapat absolutisme
kedirian sang pejabat yang overdosis. Tentu saja absolutisme yang dilandasi
oleh pembacaan yang tepat atas sense of publicness tidak begitu merisaukan.
Yang berbahaya adalah peneguhan unsur-unsur personal di dalamnya sehingga
melahirkan figur-figur demagog-otoriter-fasis seperti terefleksi dalam
ungkapan Raja Louis XIV (1638-1715), l’État
cest moi (negara adalah aku).
Oleh karena itu, demi menghindari malafungsi, para
pengambil kebijakan publik harus belajar menekan hasrat ke-aku-annya sembari
membangun nalar kelembagaan di setiap institusi yang dipimpinnya. Pejabat
publik yang baik niscaya tidak terlalu terobsesi dengan personal legacy yang akan diwariskan setelah ia lengser dari
jabatannya. Dengan demikian, seorang pengambil kebijakan perlu
menyublimasikan kediriannya ke dalam nalar kelembagaan agar tidak terjadi
konflik kepentingan di setiap produk kebijakannya.
Salah satu cara membangun nalar kelembagaan adalah
pelibatan massa melalui sebuah metode partisipatoris-emansipatif. Sudah bukan
zamannya para pejabat memperlakukan masyarakat sebagai hamparan angka yang
tidak tahu apa-apa, sementara mereka menganggap diri sebagai yang paling tahu
segala-galanya.
Pelibatan massa dapat diterjemahkan melalui pembacaan
kehendak publik tentang segala sesuatu yang terbaik bagi mereka (public good), bukan bagi para pejabat.
Cara seperti ini niscaya dapat menekan risiko penolakan terhadap sebuah produk
kebijakan publik.
Terpenting lagi, publik akan merasa terpanggil memperbaiki
kebijakan yang salah secara bersama-sama. Hanya dengan cara demikian,
depersonifikasi kebijakan publik dapat dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar