Indonesia
Move On
Achmad M Akung ; Dosen Fakultas Psikologi, Universitas
Diponegoro Semarang
|
KORAN
SINDO, 21 Januari 2015
Sekitar
seratus hari hampir tertempuhi oleh presiden terpilih untuk mengemban amanah
konstitusi. Meski mungkin masih terlalu dini, perlahan rakyat telah bisa
menilai kinerja presiden beserta kabinet kerjanya.
Rakyat mulai
bisa menimbang, apakah harapan pada presiden yang konon merakyat itu bisa
terwujud, atau sekadar eikasia berujung hampa. Sekadar berkilas balik, pemilu
tempo hari adalah pemilu paling pelik sepanjang sejarah Indonesia. Tidak
sekadar soal teknisnya yang rumit, berliku, dan tidak sederhana, tapi juga
perseteruan antar pendukung yang mengharu biru jagat psikososio politik
masyarakat kita.
Baru sekali
dalam sejarah Indonesia, pemenang pemilu ditetapkan oleh MK tersebab gugatan
kecurangan pemilu secara terstruktur, masif, dan sistematis. Meski akhirnya
MK menolak gugatan tersebut, kuatnya indikasi atas dugaan kecurangan, serta
tipisnya selisih suara, menyimpan bara yang sewaktu-waktu berpotensi
menaikkan tensi politik masyarakat.
Kategorisasi
Pemilu yang
hanya diikuti oleh dua calon memang memolarisasikan masyarakat menjadi dua
kutub pendukung capres. Polarisasi itu mengotakkan masyarakat kita dalam dua
kategorisasi besar, pendukung Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta, KIH atau KMP.
Jika bukan kelompok kami (ingroup),
berarti kelompok mereka (outgroup).
Masing-masing kategori kelompok ini memiliki apa disebut Henry Tajfel (1972)
sebagai identitas sosial (social
identity).
Mereka
terikat dalam sebuah ikatan emosional ke-kita-an (we-ness) dengan standar nilai dan norma kelompok. Masing-masing
pribadi meyakini, memikirkan, merasakan, dan berperilaku sebagaimana nilai
kolektif yang dipegang dalam kelompok sosial rujukannya tersebut. Asyiknya,
ke dua kutub besar ini meyakini bahwa kelompok dan jagoan yang mereka dukung
adalah yang terbaik dan paling benar.
Lantas,
berlakulah kecenderungan psikologis untuk melakukan ingroup favoritism dan outgroup
derogation. Mengagungkan kelompoknya sendiri dan merendahkan kelompok outgroup-nya. Dalam konteks inilah,
kita bisa memahami ketegangan yang tempo hari kita saksikan selama proses
pemilu. Saling bully, caci, maki
antarpendukung capres menjadi lumrah terjadi di tengah masyarakat kita.
Mulai warung
kopi, pasar, terminal, hingga di obrolan sehari-hari. Yang paling parah
terjadi perang siber di lini masa dunia maya, termasuk di media sosial.
Pemilu memang telah berlalu, namun ternyata ”perseteruan” di tengah
masyarakat kita belum juga usai. Namun, kali ini sedikit mengalami pergeseran.
Seusai presiden baru dilantik, sebagian pendukung presiden yang kalah
bergerak menjadi ”oposan” yang begitu rajin mencari celah, mengkritisi
kebijakan presiden terpilih.
Berbekal
ketidak percayaan, kelompok ini sangat kritis menagih realisasi janji kampanye
yang berjibun itu. Janji kebijakan pembentukan kabinet yang ramping, politik
bebas balas jasa dan utang budi, mempertahankan subsidi dan tidak menaikkan
harga BBM, sungguh ditunggu realisasinya. Ketika kebijakan yang diambil
ternyata meleset, bagi sebagian kalangan, situasi ini menjadi semacam amunisi
untuk mengkritisi dan menyerang pemerintah.
Dunia maya
menjadi salah satu kanal untuk menyalurkan kegundahan mereka. Di pihak lain,
loyalis presiden terpilih, sembari harapharap cemas, selalu habis-habisan
membela kebijakan yang diambil pemerintah, mencari dalil pembenar dan
rasionalisasi bagi kebijakan idolanya.
Tren
kurusetra politik dunia maya nampaknya memang mulai berubah. Para pendukung
presiden terpilih, terlihat lebih banyak tiarap, tidak seintens dahulu
seperti ketika masa-masa kampanye pemilu yang begitu agresif, masif, dan
sistematis. Tampaknya mereka mulai keteteran, speechless , ketika janjijanji
kampanye ternyata tak kunjung direalisasikan, bahkan dikhianati oleh
pemerintah yang mereka pilih.
Saatnya Move On
Apabila kita
berkenan jujur memaknai, sesungguhnya segenap realitas perseteruan ini sangat
melelahkan. Padahal, bangsa ini harus selalu memperkuat diri melawan ”perang
asimetris” yang dilancarkan kapitalis asing. Sungguh, tidak ada jalan lain
melainkan kita harus merapatkan barisan, bersinergi dan membisik bangun
kekuatan, untuk mempertahankan eksistensi bangsa ini.
Kita mesti
bergegas dan bersegera move on,
beranjak dari situasi fatigue-anomik,
dengan mengusaikan segenap perseteruan yang melelahkan ini. Jika kita terus
berseteru, kita akan terpecah, lalu lemah sehingga mudah untuk kalah dan
dijajah. Tidak lagi dengan kekuatan senjata, namun dengan strategi perang
asimetris yang terkadang halus dan melenakan.
Para psikolog
sosial mencoba menawarkan beberapa formula untuk membantu kita mengakhiri
konflik tersebab terbelahnya masyarakat. Beberapa hal terpenting yang dapat
kita dilakukan adalah melakukan dekategorisasi, melepaskan sekat kategoris
dan melakukan rekategorisasi atau membuat kategorisasi baru.
Muaranya adalah terciptanya identitas sosial
baru yang kukuh, yang dapat melampaui identitas kelompok, agar tercipta
identitas sosial yang lebih inklusif . Sekat kategoris bahwa kita adalah
pendukung Jokowi atau Prabowo, KIH atau KMP, sudah saatnya kita lepaskan,
kita ganti dengan kategorisasi baru bernama rakyat Indonesia.
Hilangnya
sekat kategori ini diharapkan akan menanggalkan rintangan psikologis untuk
mengkritisi kebijakan pemerintah terpilih jika menyimpang dari jalan
kebenaran berbangsa dan bernegara. Tentu saja dibutuhkan kebesaran jiwa,
karena biasanya terdapat kendala psikologis bernama gengsi, kebanggaan
sebagai pengikut, terkadang juga muncul rasa malu, gengsi, dan harga diri
yang terusik tersebab rasa khilaf dalam melangkah, atau salah dalam memilih.
Kerelaan hati
untuk kembali dalam identitas kekitaan (we-ness)
di rumah besar bernama Indonesia, adalah jawaban untuk mereduksi konflik dan
mengokohkan jati diri bangsa. Pendukung Jokowi yang telah ikhlas, move on, justru akan keluar dari
lingkar kekuasaan yang melenakan.
Mereka
memilih memasang jarak dan berdiri tegak terhormat menjadi kelompok yang
paling awal, paling kritis, dan paling keras menegur idolanya, jika kebijakan
yang diambil mengkhianati rakyat. Bukan sebaliknya, nunut mulyo, mendompleng menikmati kekuasaan. Membabi buta,
mematikan nalar, menumpulkan nurani, membela, mendewakan, dan menganggap
pemimpin pujaannya tidak pernah berbuat salah (can do no wrong).
Sikap yang
menunjukkan kejumudan berpikir dan kekonyolan politik ini hanya akan
membidani kelahiran tirani kuasa absolut tanpa kontrol, yang gemar melakukan
represi dan kedustaan terhadap rakyatnya sendiri. Sebaliknya, pendukung
Prabowo yang telah move on, pantang
mencari-cari kesalahan pemerintah jika memang tidak sesat langkah.
Mereka
semestinya justru berada di garda terdepan dalam mendukung dan membela setiap
kebijakan yang memenangkan rakyat. Jikapun tersalah, mereka akan menegur
dengan mesra, menyentil dengan cinta, mengingatkan tentang konstitusi, serta
mendoakan agar amanah agar kebaikan tercurah untuk semua. Bersikap kritis
bukan karena benci Jokowi, melainkan karena peduli, tersebab rasa cintanya
yang tulus pada negeri ini.
Pun demikian
halnya dengan pemerintah. Saatnya pemerintah move on, beranjak dari euforia kemenangan pemilu yang telah lalu
itu. Saatnya membuktikan janji mengayomi, ”momong” dan melayani hampir
setengah miliar penduduk Indonesia. Bukan sekadar pendukungnya semata, namun
juga pendukung mantan capres yang lain, bahkan termasuk mereka yang dalam
pemilu tempo hari memilih untuk tidak memilih.
Kebijakan
yang diambil harus menyejahterakan seluruh rakyat, bukan sekadar membalas
budi partai pendukung, relawan, media propaganda, maupun konsorsium investor
politik penyandang dana pemenangan pemilu. Namun jika pemerintah memilih
untuk mengalahkan rakyat, mengkhianati janji politik semasa kampanye, dan
membangun tradisi politik purba di atas kebohongan yang dusta, sesungguhnya
kekuasaan itu adalah fana.
Puja-puji
bisa saja berubah menjadi caci maki, sanjungan bisa berbuah hujatan, trust
bisa bergeser menjadi distrust,
suka bisa menjadi duka, cinta bisa berujung benci. Terlebih ketika ekspektasi
setinggi langit itu terempas di cadas realitas kehidupan yang kian berat
disangga rakyat. Senyampang masih pagi, saatnya segenap anak bangsa, move on
dari masa lalu, bersinergi, membisik bangun kekuatan yang memenangkan rakyat,
untuk bersama menjaga negeri indah bernama Indonesia ini. Indonesia, mari
kita move on. Waalahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar