Hukuman
Mati dalam Konteks Internasional
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 21 Januari 2015
Polemik
seputar hukuman mati masih hangat diperbincangkan masyarakat. Polemik ini
semakin dalam ketika Brasil dan Belanda mengajukan protes dengan memanggil
duta besarnya di Indonesia.
Ancaman
serupa kemungkinan juga akan dilakukan Australia yang warga negaranya akan
menerima eksekusi mati. Perdebatan kemudian bergeser menjadi masalah
kehormatan dan kedaulatan negara yang menolak diintervensi melalui
ancaman-ancaman tersebut.
Saya pikir
kita perlu mengembalikan diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan
hukuman mati pada hak hidup dan norma-normanya dalam hubungan internasional.
Dua tema ini adalah tema yang amat sulit dan perlu kajian yang mendalam dan
tentu tidak akan cukup dalam ruang yang terbatas ini.
Oleh sebab
itu kolom ini mungkin hanya memberikan sebuah analisis untuk mengantarkan
diskusi agar lebih konstruktif dan menyentuh masalah-masalah mendasar
mengenai hukuman mati. Masalah pokok dari hukuman mati adalah sejauh mana hak
hidup itu berlaku universal atau merupakan cultural relativism (berlaku
khusus sesuai dengan konteks tertentu).
Apabila hak
hidup tersebut berlaku universal, tidak ada pengecualian apa pun yang dapat
digunakan untuk mencabut hak tersebut. Namun apabila ia berlaku khusus, ada
kondisi tertentu yang memberi ruang untuk mencabut hukuman mati. Turunan dari
paradigma tersebut secara sederhana adalah pertanyaan tentang apakah hak
hidup ini sebuah keadaan yang sangat sakral atau bukan?
Melalui
eksekusi enam terpidana mati, kita secara tidak langsung memasuki perdebatan
tentang hak hidup ini. Namun hak hidup dalam konteks hak asasi manusia tidak
hanya menyangkut hukuman mati. Hak hidup juga menjadi perdebatan dalam
masalahmasalah eutanasia , aborsi, membunuh untuk mempertahankan diri, dan
terkait dengan moralitas dalam peperangan.
Dalam masalah
aborsi sebagai contoh, mereka yang menolak aborsi memiliki argumen bahwa
janin dalam kandungan berapa pun usianya telah memiliki hak hidup yang tidak
dapat dihilangkan dengan alasan apa pun. Negara harus melindungi janin
tersebut terutama karena si janin tidak memiliki kemampuan untuk membela
diri.
Sementara
mereka yang menyetujui aborsi mengaitkan hak hidup si janin dengan hak hidup
sang ibu. Sang ibu juga berhak untuk mempertahankan hak hidupnya. Apabila
sang ibu mendapat risiko baik psikologis maupun fisik karena janin yang
dikandungnya, ia memiliki hak untuk mencabut hak hidup si janin.
Polemik itu
juga berkembang dalam kasus hukuman mati. Pendapat yang mendukung hukuman
mati sebagian besar memiliki argumen bahwa hak hidup terpidana dapat dicabut
karena kejahatan kejam yang mereka lakukan. Sementara mereka yang menolak
hukuman mati berpendapat bahwa hak hidup adalah sebuah kondisi yang sakral
dan asasi di mana melalui hak itulah tujuan dari kehidupan manusia
dilekatkan.
Apa yang menarik
dari polemik tersebut adalah kecenderungan negara-negara di dunia untuk
mengurangi daftar kejahatan berat yang dianggap dapat diganjar dengan hukuman
mati dan di beberapa negara di Eropa, bahkan menghapuskan hukuman mati
sebagai sanksi. Contoh adalah di China. Negara ini terkenal sebagai negara
yang paling banyak melakukan eksekusi mati.
Sebuah
lembaga hak asasi manusia yang beroperasi di China, Dui Hua Foundation,
menyebutkan 5.000-6.000 eksekusi dilakukan pada tahun 2007 (Washington Post ,
24/12/ 2008). Sepuluh tahun yang lalu, jumlahnya dapat mencapai puluhan ribu.
Di China, kejahatan yang berat antara lain korupsi, bandar narkoba,
pembunuhan, dan kejahatan lain.
China adalah
negara yang paling banyak mengeksekusi hukuman mati. Sebelum tahun 2011,
China memiliki 68 daftar kejahatan berat yang dapat diganjar hukuman mati.
Namun dengan banyaknya tekanan, China mengurangi 13 kejahatan dari daftar
tersebut. Kejahatan yang dikurangi antara lain menyelundupkan besi, mengajari
metode mencuri, dan mencuri harta dalam makam kuburan.
Di Amerika
Serikat, kecenderungan untuk mengurangi kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman
mati juga terjadi dalam sistem hukumnya. Hal ini diawali dengan
diperkenalkannya pengategorian pembunuhan tingkat pertama dan kedua. Kejahatan
berat yang dapat dihukum mati adalah kejahatan tingkat pertama seperti
pembunuhan berencana, pembakaran, pemerkosaan.
Daftar
kejahatan ini semakin lama semakin berkurang dan syarat untuk dikategorikan
sebagai pembunuhan tingkat pertama semakin diperberat. Sementara itu di
tingkat pemerintahan federal, ada beberapa negara bagian yang tidak
membolehkan hukuman mati, yang telah menghapuskan hukuman mati atau telah
melakukan moratorium hukuman mati.
Ada 18 negara
bagian yang telah menghapuskan hukuman mati. Negara bagian yang sejak awal
tidak memiliki hukuman mati adalah Michigan (1846) dan Maryland adalah negara
ke- 18 yang menghapuskan hukuman mati. Di Eropa, upaya untuk menghapuskan
hukuman mati berawal dari berakhirnya Perang Dunia II. Kekejaman Nazi di
bawah Hitler telah membawa trauma yang besar bagi masyarakat Eropa dan
mengupayakan sebuah perangkat yang dapat melindungi mereka dari kejahatan
yang terjadi di masa lalu.
Dari wilayah
inilah sejumlah perangkat hukum hak asasi manusia lahir dan diadopsi oleh PBB
seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik serta
beberapa konvensi lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Eropa
menjadi ujung tombak dari advokasi masalah hak asasi manusia.
Di tingkat
regional, mereka memiliki The Charter
of Fundamental Rights of The European Union (EU) dan The European Convention on Human Rights of The Council of Europe
yang secara tegas menghapus hukuman mati. Hanya Belarusia dan Kazakhstan yang
masih mempraktikkan hukuman mati.
Menurunnya
dan dihapuskannya hukuman mati di beberapa negara di dunia antara lain
disebabkan alasan-alasan moral, filosofis, etik, dan zaman yang sudah semakin
modern. Kelompok yang mendukung dan menolak hukuman mati adalah kenyataan
yang tak dapat ditolak, tetapi dialog ilmiah atau politik diantara mereka berlangsung
secara ilmiah dan objektif.
Selain itu
ada studi-studi seputar efektivitas hukuman mati dalam mengurangi tingkat
kejahatan yang ingin diberantas. Pengalaman itu juga perlu menjadi tantangan
buat kita di Indonesia. Pemerintah perlu memfasilitasi atau menjelaskan
denganbaikpilihan-pilihanyang mereka putuskan dalam soal hukuman mati dan
jangan dibiarkan hanya menjadi debat kusir yang tidak produktif.
Dalam
hubungan internasional, Indonesia juga perlu lebih elegan menyampaikan
alasan-alasannya ketika mempertahankan hukuman mati; jawaban Indonesia perlu
kontekstual dan tidak abai pada perkembangan zaman. Pada akhirnya bila
pergaulan internasional bergerak ke arah penghapusan hukuman mati, argumen
kedaulatan bangsa menjadi lemah (irrelevant). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar