Apa
Kabar RUU Migas?
Rahmad Pribadi ; Alumnus Harvard University,
Pelaku Usaha Perminyakan Bidang Hulu
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2015
APA kabar RUU Migas? Lebih dari
dua tahun sejak dibubarkannya BP Migas pada 13 November 2012, UU Migas No 22/2001
belum juga selesai direvisi. Bahkan, diduga pada tahun ini pun revisi itu
tidak akan selesai. Pertanyaannya ialah apakah tidak selesainya revisi itu
dapat diartikan pemerintah telah melakukan pengabaian terpenuhinya
kesejahteraan yang menjadi hak rakyat Indonesia?
Sepanjang 2014, pembahasan
mengenai RUU Migas seperti berjalan di tempat. Padahal, UU yang baru sudah
sangat mendesak. Ada 16 pasal/ayat dalam UU Migas yang dibatalkan MK. Beberapa
di antaranya ialah pasal yang menjadi hal pokok dalam tata kelola migas.
Salah satunya ialah keputusan MK
untuk membubarkan BP Migas. Padahal, keberadaan dan peran BP Migas dalam tata
kelola migas sangat sentral. Pemerintah segera membentuk Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Usaha Hulu Migas (SKK Migas) sebagai pengganti BP Migas.
Namun, dasar pembentukan SKK Migas
yang hanya berdasarkan PP dan bukan Perpu, menjadikan kedudukan hukum SKK
Migas tidak kuat dan bisa menjadi sasaran tembak berikutnya. Dengan
menempatkan SKK Migas dalam ketidakpastian karena statusnya hanya sementara
dan dasar pembentukannya hanyalah PP, itu bisa mengakibatkan pimpinan SKK
Migas selalu dalam kegamangan dalam memutuskan hal yang penting dan
signifikan.
Salah satu contohnya ialah
kegagalan SKK Migas mengambil keputusan cepat mengenai mega proyek Indonesia Deepwater Development (IDD)
oleh Chevron Indonesia. Kegamangan pimpinan SKK Migas menyebabkan Chevron
memutuskan untuk menunda proyek itu pada Oktober 2014. Padahal, IDD ialah
proyek pengembangan migas yang sangat penting. Tidak hanya karena besarnya
nilai proyek yang mencapai US$ 12 miliar, tetapi juga besarnya produksi gas
yang dapat dihasilkan dari proyek tersebut.
Apabila proyek itu terlaksana
sesuai dengan rencana awal, pada 2018 RI akan mendapat tambahan produksi gas
sebesar 1.270 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Itu suatu tambahan
produksi yang bisa digunakan untuk menutupi defisit gas di Jawa. Namun,
sekarang semua itu menjadi tidak pasti.
Tentunya kegamangan tidak hanya
dirasakan pimpinan SKK Migas, tetapi juga dirasakan para pelaku usaha hulu
migas, khususnya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S). Kepastian hukum ialah
hal yang sangat penting bagi K3S dalam membuat keputusan bisnis. Tanpa
kepastian hukum, bisa jadi lifting migas juga akan semakin sulit
dipertahankan.
Hal lain yang juga sangat penting
yang terjadi pada 2014 ialah penyesuaian harga BBM. Kurang dari satu bulan
sejak Presiden Jokowi dilantik, pemerintah dengan berani menaikkan harga BBM.
Pada akhir 2014, pemerintah kembali mengambil kebijaksanaan yang sangat
fundamental, yaitu penghentian subsidi bensin premium (RON 88).
Dengan dihapuskannya subsidi
bensin premium, maka harga yang ditetapkan pemerintah pada esensinya ialah
harga pasar. Tentu, ada beberapa pertanyaan menyangkut diketahui, MK itu.
Sebagaimana diketahui hal itu menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3)
UU No 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, penetapan harga BBM
ialah kewenangan pemerintah karena BBM merupakan sumber daya yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana
landasan hukumnya apa bila harga yang ditetapkan pemerin tah itu ialah harga
pasar? Bukankah yang demikian bisa dianggap sebagai pembangkangan keputusan
MK. Secara substansi, itu bisa dianggap menghidupkan kembali Pasal 28 ayat 2
UU Migas.
Pertanyaan kedua ialah transparansi
penetapan harga BBM. Apabila memang subsidi akan dihapus dan pemerintah akan
terus memegang kendali penentuan harga BBM, sudah selayaknya pemerintah
memberikan penjelasan tentang mekanisme pene tapan harga. Transparansi
penetapan harga menjadi sangat penting. Peme rintah sebaiknya menetapkan
sebuah formula yang menggunakan harga pasar sebagai referensi untuk menen
tukan harga BBM. Dengan demikian harga BBM menjadi transparan.
Tahun
2015
Banyak hal yang akan terjadi di
2015, terutama berkaitan dengan pelemahan kondisi perekonomian dunia dan
kegaduhan politik domestik. Namun, cukup bersyukur bahwa kita memulai tahun
ini dengan hal yang baik. Penghapusan subsidi BBM tentunya akan memberi warna
baru di 2015. Setidaknya, secara fiskal diperkirakan pemerintah akan
menghemat tidak kurang dari Rp200 triliun. Dana itu bisa digunakan untuk
membangun sektor produktif yang akan menopang per tumbuhan ekonomi Indonesia
di tengah melemahnya ekono mi dunia.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
sudah menjelaskan bahwa sebagian dari dana itu akan digunakan untuk
pembangunan infrastruktur perhubungan. Namun, kita berharap bahwa pemerintah
juga akan menggunakan dana itu untuk mendorong tumbuhnya sektor energi.
Sebagian dana itu haruslah juga dimanfaatkan untuk memba ngun infrastruktur
energi, seperti pipanisasi migas, kilang minyak, LNG Receiving Terminal, dan
depo penyimpanan BBM.
Kita juga berharap pemerintah bisa
memanfaatkan dana itu untuk mendorong sektor energi terba rukan dengan
memberikan insentif kepada dunia usaha dalam bentuk penundaan pajak, investment credit, atau bantuan untuk
R&D. Tanpa pemanfaatan yang baik, tentunya penghapusan subsidi BBM
menjadi kurang bermakna bagi kesejahteraan masyarakat.
Meskipun 2015 masih akan diwarnai
dengan kegaduhan politik, seperti tidak kunjung selesainya konflik internal
beberapa partai politik, per tarungan kepentingan antara Koalisi Merah Putih
(KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), namun kita wajib berharap di 2015,
pemerintah bersa ma DPR RI bisa menetapkan UU Migas yang baru. Tidak kunjung
selesainya pembahasan RUU Migas sangat me rugikan bangsa dan negara ini. Kita
akan kehilangan banyak kesempatan untuk membangun kesejahteraan rakyat
melalui pemanfaatan sumber daya migas di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar