Hubungan
Televisi dan Pendidikan
Suryani Zaini ; Anggota Dewan Redaksi Indosiar dan SCTV
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Januari 2015
LITERATUR tentang fungsi media
senantiasa mengetengahkan bahwa fungsi media ialah informasi, hiburan, dan
pendidikan. Media cetak pada umumnya lebih memberikan penekanan pada fungsi
informasi dan hiburan, sedangkan televisi (TV) lebih cenderung mengedepankan
fungsi hiburan dan informasi, sementara itu, fungsi pendidikan bagi TV
cenderung diposisikan sebagai unsur pelengkap. Mengapa demikian?
Apakah karena pengelola stasiun TV
tidak menyadari tanggung jawab sosial mereka kepada pemirsa? Ataukah karena
fungsi pendidikan dianggap merupakan tanggung jawab utama keluarga dan
sekolah? Padahal, kita tahu bahwa apa pun yang disiarkan TV, sadar atau
tidak, dimaksudkan atau tidak, akan senantiasa menyosialisasikan nilai-nilai
sosial-budaya tertentu dan berdampak pada pemirsa.
Tidak jarang orang menuduh siaran
TV menjadi biang keladi perilaku sosial menyimpang yang terjadi di masyarakat.
Padahal, mungkin saja terjadi saat dilakukan survei menyangkut pengaruh
siaran TV pada pemirsa, ternyata tindakan yang dilakukan responden,
independen dari siaran TV. Artinya, responden tidak menyaksikan siaran TV dan
tindakannya dijalankan secara spontan tanpa ada kaitannya dengan siaran TV.
Belum lagi kalau kita menelaah
lebih jauh penelitian tentang hubungan antara tayangan kekerasan di TV (TV
violence) dan perilaku kekerasan aktual di masyarakat, ternyata hasilnya
menunjukkan penyebab kekerasan di masyarakat ialah faktor struktural
(kesenjangan sosial-ekonomis, lingkungan, dan sebagainya). Tayangan kekerasan
di TV bukan sebagai penyebab terjadinya kekerasan di masyarakat, melainkan
sebagai faktor yang memperkuat atau mengukuhkan nilai kekerasan yang sudah
ada (Joseph Klapper, 1967). Di satu
sisi, saat TV menayangkan peristiwa kekerasan di masyarakat, niatnya membuat
masyarakat waspada terhadap kemungkinan tindakan kekerasan yang ada di
lingkungan sosial. Namun saat frekuensi penayangan tindakan kekerasan menjadi
berlebihan, niat mendidik masyarakat malah berbalik membuat masyarakat
menjadi takut dan waswas. Di lain pihak, penayangan tindak kekerasan yang
berlebihan akan menimbulkan pula dampak psikologis dalam bentuk desensitizing process (proses kehilangan
kepekaan akibat tindakan yang sebenarnya luar biasa, malah dianggap normal
karena terlalu sering disaksikan).
Dalam kondisi di saat TV dihadapkan pada
dikotomi antara tayangan mendidik dan tidak mendidik, stasiun TV akan
cenderung berdalih dengan mengatakan apa pun program yang ditayangkan
senantiasa memiliki dampak yang diniatkan (intended consequences) dan dampak yang tidak direncanakan (unintended consequences).
Niat program TV senantiasa baik,
tetapi pemirsa akan menilai kualitas sebuah tayangan sesuai dengan persepsi
masingmasing yang memang pada dasarnya sudah berbeda. Sebagai ilustrasi, saat
stasiun TV mengampanyekan pemberantasan HIV/ AIDS dengan sosialisasi
penggunaan kondom (niat baik), pesan TV malah dituduh mendorong praktik seks
bebas melalui pemanfaatan kondom (dampak buruk).
Sikap
proaktif
Dalam dilema semacam ini, tidak
banyak pihak yang dapat melihat secara
propor sional sejauh mana sebenarnya
TV dapat berperan dalam proses pendidikan. Fungsi pendidikan dilekatkan pada
mass media (termasuk TV) karena posisi media sebagai lembaga pendidikan
informal. Dalam pendidikan formal, di rumah dan sekolah, nilai-nilai
pendidikan disampaikan melalui proses yang interaktif dan dialogis.
Melalui lembaga pendidikan
informal yang dijalankan mass media, nilai-nilai pendidikan disisipkan
melalui tayangan yang disajikan dalam proses yang monologis. Masalah apakah
pemirsa mengerti pesanpesan pendidikan yang diselipkan melalui tayangan TV
ataupun apakah mereka memperoleh manfaat pembelajaran, akan bergantung pada
persepsi setiap pemirsa.
Setiap pembahasan mengenai
mendidik tidaknya tayangan TV pada pemirsa akan sangat bergantung pada sikap
proaktif pemirsa untuk memilih dan memilah, antara nilai positif mana yang
perlu diinternalisasi untuk kemudian diadopsi dan nilai negatif mana yang
perlu diabaikan.
Cara TV menjalankan fungsi
pendidikan tidak mungkin dilakukan dengan cara yang linear. Jika hal tersebut
dijalankan, mungkin akan membosankan. Nilai pendidikan disampaikan melalui
penampilan pesanpesan yang kontras bahkan kontroversial.Kebaikan dikontraskan
dengan kejahatan, kecerdasan akan dipertentangkan dengan kebodohan, kepolosan
dengan keculasan, bahkan kekerasan dengan kasih. Masalah etika akan timbul,
dan dengan sendirinya peran pendidikan akan dipermasalahkan manakala
penyampaian pesan dilakukan dengan cara yang tidak proporsional. Atau
manakala, nilai-nilai (values) yang
negatif memperoleh legitimasi dalam bentuk pembenaran. Tema bahwa kebaikan
mengalahkan kebatilan, kejujuran menundukkan kecurangan dan seterusnya, tetap
harus dipertahankan dan dijaga sebagai pesan moral.
Panggilan medium TV memang untuk
menghibur pemirsa karena jika tayangan tidak menghibur, tentu akan kehilangan
pemirsa. Jumlah pemirsa yang tecermin pada rating itulah yang dijual pada
agensi untuk menghadirkan iklan, yang pada gilirannya akan memberikan
keuntungan ekonomis agar stasiun TV tetap eksis. Logika instrumental bisnis
TV memang mencari untung, tetapi logika ideal operasional TV ialah melayani
pemirsa dengan tayangan yang menghibur dan sejauh mungkin mendidik.
Jika di sana-sini masih terjadi
benturan antara fungsi hiburan dan pendidikan, patut dipahami bahwa pengelola
stasiun TV masih berusaha mencari `format yang pas'. Dalam situasi ini,
pemirsa juga diminta menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi pendidikan,
mass media, termasuk TV, tidak mungkin mengganti peran rumah tangga apalagi
sekolah. Posisi mass media sekadar melengkapi peran lembaga pendidikan yang
sudah ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar