Posisi
Indonesia Pascapeleburan RED+
Deni Bram ; Doktor Hukum Perubahan Iklim UI;
Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Januari 2015
LANGKAH restrukturisasi kembali
dilakukan dalam rezim Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
dalam rangka efisiensi lembaga. Setelah melakukan likuidasi terhadap 10
lembaga sebelumnya yang dinilai memiliki fungsi tumpang tindih, kini Badan
Pelaksana (BP) REDD+ pun dilebur dengan argumentasi yang sama. Rumah baru BP
REDD+ direncanakan masuk Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim di bawah naungan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diharapkan dapat lebih
mengarahkan kebijakan terpadu yang berbasis satu atap terkait dengan agenda
perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan secara komprehensif.
Hal itu tentu bukan hanya
memberikan dampak dari sudut struktur baru, melainkan juga mencerminkan
posisi baru Indonesia dalam lingkup mitigasi perubahan iklim di sektor
kehutanan pada khususnya dan optimalisasi yang dapat dilakukan dengan
mengandalkan struktur baru sektor perubahan iklim pada umumnya.
Indonesia
dan REDD+
Posisi Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia dan visi negara maritim dari Presiden Jokowi
terancam dalam konteks perubahan iklim. Hal itu diindikasikan dengan tidak
kurang dari 4.000 pulau dinyatakan hilang sebagai dampak kenaikan air laut secara
masif sebagai dampak perubahan iklim.
Namun, secara sistematis masyarakat
internasional mendorong sebuah upaya baru bahwa selain melakukan mitigasi
dari sektor industri yang berkontribusi dominan penyebab emisi gas rumah
kaca, perlu ada upaya lain dalam rangka meminimalisasi dampak yang dihasilkan
dengan mengandalkan sektor penyerap karbon yang dihasilkan. Dalam konteks
inilah keberadaan Indonesia, Papua Nugini, dan Kongo memiliki peran penting
selaku negara dengan jumlah hutan tropis terbesar di dunia. Hal lainnya yang
patut menjadi catatan dalam hubungan Indonesia dan REDD+ paling tidak dapat
diidentifikasi dalam tiga konteks utama.
Pertama, secara historis Indonesia
dapat dikatakan merupakan tempat lahirnya REDD+ karena untuk pertama kalinya
skema REDD+ diperbincangkan secara lengkap pada Conference of the Parties (CoP) ke-13 dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di
Bali, Desember 2007. Salah satu hal yang menjadi latar belakang penting dalam
hal ini diharapkan rezim REDD+ hadir sebagai instrumen yang menguntungkan
kedua pihak, yaitu negara berkembang dan negara maju. Peningkatan kemajuan
ekonomi negara berkembang diharapkan hadir sekaligus dapat menggugurkan
kewajiban dari negara maju dalam langkah mitigasi perubahan iklim. Hal itu
merupakan tindak lanjut dalam Copenhagen Accord yang menekankan pelaksanaan
REDD+ harus dapat memberikan insentif positif bagi negara pelaksana program
REDD+ tersebut.
Selanjutnya, pentingnya posisi
Indonesia dalam pembahasan REDD+ juga ditunjang dengan kenyataan bahwa
Indonesia merupakan negara pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia
setelah Brasil dan Kongo.Namun, sayangnya, dalam rilis terakhir per Juli 2014
Indonesia tercatat sebagai negara dengan deforestasi tertinggi mengalahkan Brasil
di posisi puncak sebelumnya. Tentu itu akan menjadi disinsentif bagi negara-negara
kontributor karbon dalam rangka melakukan mitigasi kehutanan di Indonesia,
karena kecenderungan itu justru menunjukkan komitmen yang tidak serius dari
pemerintah Indonesia dalam melakukan mitigasi perubahan iklim dari sektor
kehutanan. Sekaligus pula menunjukkan secara nyata regulasi yang hadir dapat
diindikasikan gagal dalam menekan laju kerusakan hutan.
Terakhir, posisi Indonesia menjadi
jauh lebih penting karena merupakan negara pertama yang memberikan respons
dari segi regulasi dengan hadirnya Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2009
tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
(REDD). Hal itu justru dilakukan saat legislasi di bidang perubahan iklim
sebagai aturan umum yang dimandatkan UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup belum dilahirkan. Hal tersebut dimaknai sebagai indikasi bahwa
mencerminkan langkah terburu-buru dalam implementasi REDD+ di Indonesia yang
merupakan bagian dari kebijakan peru bahan iklim secara umum tanpa ditunjang
aturan yang mapan sebelumnya. Hal itu secara konstitusional merupakan bentuk
lompatan hukum karena presiden selaku pemegang kekuasaan administrasi negara
tertinggi tidak dilibatkan dalam prosedur pembuatan, sedangkan diatur dalam
Pasal 17 UUD 1945 bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu
menteri-menteri yang membidangi urusan tertentu. Dengan demikian, keberadaan
dari Permenhut Nomor 30 Tahun 2009 secara konstitusional cacat.
Optimalisasi
Indonesia sebagai salah satu
pihak, baik dalam Konvensi Perubahan Iklim maupun Protokol Kyoto secara
fungsional, dituntut memiliki sebuah institusi untuk dapat menindaklanjuti
isu perubahan iklim pada tingkat nasional. Paling tidak institusi tersebut
akan hadir dalam dua bentuk kewenangan yang berbeda, yaitu kewenangan
eksternal sebagai focal point dalam
serangkaian proses internasional, serta kewenangan internal dalam rangka
menjadi penyelaras kebijakan perubahan iklim dalam lingkup nasional. Dalam
konteks eksternal saat ini Indonesia telah menetapkan Dewan Nasional
Perubahan Iklim. Kehadiran Dewan Nasional Perubahan Iklim disahkan dengan
diaturnya secara khusus dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).
Secara normatif, DNPI lahir karena
beberapa alasan dan urgensi tertentu dalam menghadapi perubahan iklim.
Pertama, pemerintah menyadari peningkatan gas rumah kaca yang berlebihan pada
saat ini telah menimbulkan terjadinya perubahan iklim global yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup dan merugikan berbagai kehidupan. Kedua,
dengan mempertimbangkan posisi geografis Indonesia yang merupakan negara
kepulauan terbesar yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, pemerintah
berpendapat perlu adanya tindakan pengendalian dengan bersandar pada prinsip
semua bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan sosial, ekonomi, dan
teknologi yang dimiliki negara masing-masing pada umumnya dan mengandalkan
seutuhnya potensi nasional pada khususnya.
Ketiga, dalam rangka merealisasikan
kedua hal di atas serta dalam rangka meningkatkan koordinasi pelaksanaan
pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi Indonesia di forum
internasional dalam pengendalian perubahan iklim, dipandang perlu membentuk
DNPI sebagai institusi yang bertindak sebagai pengevaluasi kebijakan
perubahan iklim pada tingkat nasional dan mewakili Indonesia dalam konferensi
para pihak setiap tahunnya.
Secara struktural, lazimnya
sebagai lembaga pemerintah nondepartemen, sebuah dewan atau komisi nasional
biasanya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Namun, rapat DNPI justru dipimpin langsung oleh Presiden SBY pada saat itu
dengan kapasitas sebagai ketua dewan, dua menko sebagai wakil ketua, dan para
menteri sebagai anggota. Hal itu menjadi unik pada saat lazimnya suatu
peraturan presiden yang mengatur pembentukan suatu lembaga negara menyebutkan
jabatan menteri atau pimpinan lembaga pemerintah yang secara ex-officio menjabat sebagai ketua dan
para anggota dewan atau lembaga negara tersebut. Hal itu perlu dibenahi agar
siapa pun ketua dewan yang mengisi jabatan tersebut memiliki kapasitas dan
kapabilitas berdasarkan jabatan, bukan pendekatan personal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar