Minggu, 11 Januari 2015

Posisi Indonesia Pascapeleburan RED+

Posisi Indonesia Pascapeleburan RED+

Deni Bram  ;   Doktor Hukum Perubahan Iklim UI;
Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara
MEDIA INDONESIA,  10 Januari 2015

                                                                                                                       


LANGKAH restrukturisasi kembali dilakukan dalam rezim Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam rangka efisiensi lembaga. Setelah melakukan likuidasi terhadap 10 lembaga sebelumnya yang dinilai memiliki fungsi tumpang tindih, kini Badan Pelaksana (BP) REDD+ pun dilebur dengan argumentasi yang sama. Rumah baru BP REDD+ direncanakan masuk Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diharapkan dapat lebih mengarahkan kebijakan terpadu yang berbasis satu atap terkait dengan agenda perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan secara komprehensif.

Hal itu tentu bukan hanya memberikan dampak dari sudut struktur baru, melainkan juga mencerminkan posisi baru Indonesia dalam lingkup mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan pada khususnya dan optimalisasi yang dapat dilakukan dengan mengandalkan struktur baru sektor perubahan iklim pada umumnya.

Indonesia dan REDD+

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan visi negara maritim dari Presiden Jokowi terancam dalam konteks perubahan iklim. Hal itu diindikasikan dengan tidak kurang dari 4.000 pulau dinyatakan hilang sebagai dampak kenaikan air laut secara masif sebagai dampak perubahan iklim. 

Namun, secara sistematis masyarakat internasional mendorong sebuah upaya baru bahwa selain melakukan mitigasi dari sektor industri yang berkontribusi dominan penyebab emisi gas rumah kaca, perlu ada upaya lain dalam rangka meminimalisasi dampak yang dihasilkan dengan mengandalkan sektor penyerap karbon yang dihasilkan. Dalam konteks inilah keberadaan Indonesia, Papua Nugini, dan Kongo memiliki peran penting selaku negara dengan jumlah hutan tropis terbesar di dunia. Hal lainnya yang patut menjadi catatan dalam hubungan Indonesia dan REDD+ paling tidak dapat diidentifikasi dalam tiga konteks utama.

Pertama, secara historis Indonesia dapat dikatakan merupakan tempat lahirnya REDD+ karena untuk pertama kalinya skema REDD+ diperbincangkan secara lengkap pada Conference of the Parties (CoP) ke-13 dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali, Desember 2007. Salah satu hal yang menjadi latar belakang penting dalam hal ini diharapkan rezim REDD+ hadir sebagai instrumen yang menguntungkan kedua pihak, yaitu negara berkembang dan negara maju. Peningkatan kemajuan ekonomi negara berkembang diharapkan hadir sekaligus dapat menggugurkan kewajiban dari negara maju dalam langkah mitigasi perubahan iklim. Hal itu merupakan tindak lanjut dalam Copenhagen Accord yang menekankan pelaksanaan REDD+ harus dapat memberikan insentif positif bagi negara pelaksana program REDD+ tersebut.

Selanjutnya, pentingnya posisi Indonesia dalam pembahasan REDD+ juga ditunjang dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo.Namun, sayangnya, dalam rilis terakhir per Juli 2014 Indonesia tercatat sebagai negara dengan deforestasi tertinggi mengalahkan Brasil di posisi puncak sebelumnya. Tentu itu akan menjadi disinsentif bagi negara-negara kontributor karbon dalam rangka melakukan mitigasi kehutanan di Indonesia, karena kecenderungan itu justru menunjukkan komitmen yang tidak serius dari pemerintah Indonesia dalam melakukan mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan. Sekaligus pula menunjukkan secara nyata regulasi yang hadir dapat diindikasikan gagal dalam menekan laju kerusakan hutan.

Terakhir, posisi Indonesia menjadi jauh lebih penting karena merupakan negara pertama yang memberikan respons dari segi regulasi dengan hadirnya Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Hal itu justru dilakukan saat legislasi di bidang perubahan iklim sebagai aturan umum yang dimandatkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum dilahirkan. Hal tersebut dimaknai sebagai indikasi bahwa mencerminkan langkah terburu-buru dalam implementasi REDD+ di Indonesia yang merupakan bagian dari kebijakan peru bahan iklim secara umum tanpa ditunjang aturan yang mapan sebelumnya. Hal itu secara konstitusional merupakan bentuk lompatan hukum karena presiden selaku pemegang kekuasaan administrasi negara tertinggi tidak dilibatkan dalam prosedur pembuatan, sedangkan diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu menteri-menteri yang membidangi urusan tertentu. Dengan demikian, keberadaan dari Permenhut Nomor 30 Tahun 2009 secara konstitusional cacat.

Optimalisasi

Indonesia sebagai salah satu pihak, baik dalam Konvensi Perubahan Iklim maupun Protokol Kyoto secara fungsional, dituntut memiliki sebuah institusi untuk dapat menindaklanjuti isu perubahan iklim pada tingkat nasional. Paling tidak institusi tersebut akan hadir dalam dua bentuk kewenangan yang berbeda, yaitu kewenangan eksternal sebagai focal point dalam serangkaian proses internasional, serta kewenangan internal dalam rangka menjadi penyelaras kebijakan perubahan iklim dalam lingkup nasional. Dalam konteks eksternal saat ini Indonesia telah menetapkan Dewan Nasional Perubahan Iklim. Kehadiran Dewan Nasional Perubahan Iklim disahkan dengan diaturnya secara khusus dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).

Secara normatif, DNPI lahir karena beberapa alasan dan urgensi tertentu dalam menghadapi perubahan iklim. Pertama, pemerintah menyadari peningkatan gas rumah kaca yang berlebihan pada saat ini telah menimbulkan terjadinya perubahan iklim global yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan merugikan berbagai kehidupan. Kedua, dengan mempertimbangkan posisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, pemerintah berpendapat perlu adanya tindakan pengendalian dengan bersandar pada prinsip semua bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan sosial, ekonomi, dan teknologi yang dimiliki negara masing-masing pada umumnya dan mengandalkan seutuhnya potensi nasional pada khususnya.

Ketiga, dalam rangka merealisasikan kedua hal di atas serta dalam rangka meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim, dipandang perlu membentuk DNPI sebagai institusi yang bertindak sebagai pengevaluasi kebijakan perubahan iklim pada tingkat nasional dan mewakili Indonesia dalam konferensi para pihak setiap tahunnya.

Secara struktural, lazimnya sebagai lembaga pemerintah nondepartemen, sebuah dewan atau komisi nasional biasanya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Namun, rapat DNPI justru dipimpin langsung oleh Presiden SBY pada saat itu dengan kapasitas sebagai ketua dewan, dua menko sebagai wakil ketua, dan para menteri sebagai anggota. Hal itu menjadi unik pada saat lazimnya suatu peraturan presiden yang mengatur pembentukan suatu lembaga negara menyebutkan jabatan menteri atau pimpinan lembaga pemerintah yang secara ex-officio menjabat sebagai ketua dan para anggota dewan atau lembaga negara tersebut. Hal itu perlu dibenahi agar siapa pun ketua dewan yang mengisi jabatan tersebut memiliki kapasitas dan kapabilitas berdasarkan jabatan, bukan pendekatan personal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar