Beras
Toto Subandriyo ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 07 Januari 2015
Pada era 1970-an hingga awal 1980-an pernah populer
terminologi "Karawang Bergoyang" di kalangan wartawan Ibu Kota.
Istilah ini merupakan simbolisasi dari kondisi harga gabah/beras yang sedang
bergejolak di Tanah Air. Gejolak harga dapat berupa anjloknya harga
gabah/beras saat puncak panen raya, atau meroketnya harga gabah/beras di
pasar akibat musim paceklik seperti sekarang ini.
Kabupaten Karawang sering menjadi laboratorium teknologi
pertanian yang menghasilkan berbagai inovasi untuk dijadikan program
nasional. Salah satunya adalah program Bimbingan Massal (Bimas), yang
diinisiasi oleh para pakar pertanian Institut Pertanian Bogor. Program ini
sukses membawa Indonesia berswasembada beras pada 1984. Hingga sekarang,
daerah ini selalu dijadikan sebagai barometer situasi pangan Republik.
Beberapa bulan terakhir ini, harga beras di sejumlah
daerah diberitakan telah melambung tinggi, menyentuh batas psikologis
masyarakat. Salah satu pemicu tingginya angka inflasi beberapa bulan terakhir
berasal dari komponen harga bergejolak, terutama kelompok volatile foods,
seperti beras, cabai merah, dan cabai rawit. Angka inflasi nasional pada
Oktober, November, dan Desember 2014 berturut-turut adalah 0,47 persen, 1,5
persen, dan 2,46 persen.
Tingginya angka inflasi yang dipicu oleh meroketnya harga
volatile foods merupakan sinyal peringatan bagi pemerintah. Henri Josserand
dari Global Information and Early Warning System, FAO, mengingatkan bahwa inflasi
yang diakibatkan melambungnya harga pangan merupakan pukulan paling berat
bagi warga miskin. Sebabnya, pengeluaran untuk belanja pangan keluarga miskin
tidak kurang dari 60 persen dari total pengeluaran. Studi Bank Pembangunan
Asia pada April 2011 juga sampai pada kesimpulan, kenaikan harga pangan 10
persen di negara berkembang Asia akan menambah jumlah penduduk miskin baru
sebanyak 64 juta orang (dasar perhitungan garis kemiskinan US$ 1,25 per
hari).
Orang awam mungkin berpikir bahwa harga beras yang tinggi
saat ini menguntungkan petani. Sejatinya, harga beras yang tinggi saat ini
tidak dinikmati petani, melainkan sebaliknya justru memberatkan beban hidup
mereka. Mengapa? Karena komposisi terbesar petani kita adalah petani gurem
(menggarap sawah kurang dari 0,5 hektare). Beras hasil panen telah habis
dikonsumsi keluarga. Pada saat seperti ini mereka telah menjadi net consumer
beras. Untuk keperluan makan sehari-hari, mereka juga membeli beras seperti
konsumen lainnya.
Karena itu, untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan
sedikit meringankan beban hidup mereka, pemerintah harus segera melakukan
upaya stabilisasi harga berbagai kebutuhan pangan yang tengah meroket. Upaya
stabilisasi harga tersebut antara lain dapat dilakukan dengan operasi pasar khusus
(OPK) atau operasi pasar murni (OPM).
Upaya-upaya tersebut merupakan bentuk kehadiran pemerintah
di tengah-tengah beban hidup masyarakat yang makin berat. Kehadiran
pemerintah tersebut belakangan dirasakan nyaris nihil karena situasi politik
yang gaduh. Profesor Toru Yano dari Kyoto University pernah mengingatkan:
"Ancaman bangsa Indonesia bukanlah berasal dari serangan dan invasi
negara lain. Ancaman sesungguhnya justru berasal dari dalam negeri. Cukup
disulut dengan isu kelangkaan beras dan bahan kebutuhan pokok lain, maka
keresahan sosial akan mudah tersulut." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar