Sabtu, 10 Januari 2015

Beras

Beras

Toto Subandriyo  ;   Penulis
KORAN TEMPO,  07 Januari 2015

                                                                                                                       


Pada era 1970-an hingga awal 1980-an pernah populer terminologi "Karawang Bergoyang" di kalangan wartawan Ibu Kota. Istilah ini merupakan simbolisasi dari kondisi harga gabah/beras yang sedang bergejolak di Tanah Air. Gejolak harga dapat berupa anjloknya harga gabah/beras saat puncak panen raya, atau meroketnya harga gabah/beras di pasar akibat musim paceklik seperti sekarang ini.

Kabupaten Karawang sering menjadi laboratorium teknologi pertanian yang menghasilkan berbagai inovasi untuk dijadikan program nasional. Salah satunya adalah program Bimbingan Massal (Bimas), yang diinisiasi oleh para pakar pertanian Institut Pertanian Bogor. Program ini sukses membawa Indonesia berswasembada beras pada 1984. Hingga sekarang, daerah ini selalu dijadikan sebagai barometer situasi pangan Republik.

Beberapa bulan terakhir ini, harga beras di sejumlah daerah diberitakan telah melambung tinggi, menyentuh batas psikologis masyarakat. Salah satu pemicu tingginya angka inflasi beberapa bulan terakhir berasal dari komponen harga bergejolak, terutama kelompok volatile foods, seperti beras, cabai merah, dan cabai rawit. Angka inflasi nasional pada Oktober, November, dan Desember 2014 berturut-turut adalah 0,47 persen, 1,5 persen, dan 2,46 persen.

Tingginya angka inflasi yang dipicu oleh meroketnya harga volatile foods merupakan sinyal peringatan bagi pemerintah. Henri Josserand dari Global Information and Early Warning System, FAO, mengingatkan bahwa inflasi yang diakibatkan melambungnya harga pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Sebabnya, pengeluaran untuk belanja pangan keluarga miskin tidak kurang dari 60 persen dari total pengeluaran. Studi Bank Pembangunan Asia pada April 2011 juga sampai pada kesimpulan, kenaikan harga pangan 10 persen di negara berkembang Asia akan menambah jumlah penduduk miskin baru sebanyak 64 juta orang (dasar perhitungan garis kemiskinan US$ 1,25 per hari).

Orang awam mungkin berpikir bahwa harga beras yang tinggi saat ini menguntungkan petani. Sejatinya, harga beras yang tinggi saat ini tidak dinikmati petani, melainkan sebaliknya justru memberatkan beban hidup mereka. Mengapa? Karena komposisi terbesar petani kita adalah petani gurem (menggarap sawah kurang dari 0,5 hektare). Beras hasil panen telah habis dikonsumsi keluarga. Pada saat seperti ini mereka telah menjadi net consumer beras. Untuk keperluan makan sehari-hari, mereka juga membeli beras seperti konsumen lainnya.

Karena itu, untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan sedikit meringankan beban hidup mereka, pemerintah harus segera melakukan upaya stabilisasi harga berbagai kebutuhan pangan yang tengah meroket. Upaya stabilisasi harga tersebut antara lain dapat dilakukan dengan operasi pasar khusus (OPK) atau operasi pasar murni (OPM).

Upaya-upaya tersebut merupakan bentuk kehadiran pemerintah di tengah-tengah beban hidup masyarakat yang makin berat. Kehadiran pemerintah tersebut belakangan dirasakan nyaris nihil karena situasi politik yang gaduh. Profesor Toru Yano dari Kyoto University pernah mengingatkan: "Ancaman bangsa Indonesia bukanlah berasal dari serangan dan invasi negara lain. Ancaman sesungguhnya justru berasal dari dalam negeri. Cukup disulut dengan isu kelangkaan beras dan bahan kebutuhan pokok lain, maka keresahan sosial akan mudah tersulut."  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar