Konsistensi
Hukuman Mati
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional UI
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2015
PELAKSANAAN enam pidana mati telah
menuai protes dari beberapa negara yang warganya menjalani hukuman tersebut.
Pemerintah Brasil dan Belanda yang kemudian diikuti oleh Nigeria telah
memanggil pulang duta besar (dubes)nya untuk berkonsultasi.
Pemanggilan itu merupakan wujud
ketidaksukaan mereka atas kebijakan yang diambil pemerintah meski mereka
pasti memahami tidak mungkin memaksakan kehendak mereka kepada Indonesia.
Saat ini, Pemerintah Australia
melalui Perdana Menteri Tony Abbott dan Menteri Luar Negeri Julia Bishop,
secara intensif melobi pemerintah Indonesia. Baik Presiden Jokowi maupun
Menlu Retno Marsudi agar dua warganya tidak dieksekusi mati dalam pelaksanaan
hukuman mati berikutnya.
Bagi Indonesia, sikap Australia
perlu dicermati secara ekstra meski tidak boleh sekali-sekali menghentikan
konsistensi pelaksanaan hukuman mati.
Dalam situasi saat ini, pemerintah
tidak punya alternatif lain selain terus konsisten dengan kebijakan
pelaksanaan hukuman mati. Situasi point of no return alias tidak dapat
kembali. Bagi Presiden Jokowi, ada empat alasan untuk menolak lobi dari pihak
Australia.
Pertama, pelaksanaan hukuman mati
merupakan masalah kedaulatan dan penegakan hukum di Indonesia. Hukuman mati
bukanlah masalah kepentingan antarnegara yang berhadap-hadapan, seperti
masalah perbatasan atau penyadapan yang ilegal. Pelaksanaan hukuman mati
terkait dengan warga asing yang melakukan kejahatan di Indonesia yang
berkonsekuensi pada penjatuhan hukuman mati.
Tidak ada di dunia ini negara yang
akan membela warganya yang melakukan kejahatan di negara lain. Terlebih lagi
kejahatan tersebut akan memengaruhi keberlangsungan negara tersebut di masa
mendatang.
Selanjutnya, lobi patut ditolak
karena pemerintah tidak ingin dianggap diskriminatif terhadap warga dari
negara lain yang telah menjalani hukuman mati, seperti dari Belanda dan
Brasil.
Bila terjadi inkonsistensi berarti
harus dicarikan alasan untuk membenarkannya. Mencari suatu alasan untuk
sesuatu yang tidak konsisten akan sangat sulit.
Bagi Presiden Jokowi, ada empat
alasan untuk menolak lobi dari pihak Australia.
Pertama, pelaksanaan hukuman mati
merupakan masalah kedaulatan dan penegakan hukum di Indonesia.
Hukuman mati bukanlah masalah
kepentingan antarnegara yang berhadap-hadapan, seperti masalah perbatasan
atau penyadapan yang ilegal. Pelaksanaan hukuman mati terkait dengan warga
asing yang melakukan kejahatan di Indonesia yang berkonsekuensi pada
penjatuhan hukuman mati.
Tidak ada di dunia ini negara yang
akan membela warganya yang melakukan kejahatan di negara lain. Terlebih lagi,
kejahatan tersebut akan memengaruhi keberlangsungan negara tersebut di masa
mendatang.
Selanjutnya, lobi patut ditolak
karena pemerintah tidak ingin dianggap diskriminatif terhadap warga dari
negara lain yang telah menjalani hukuman mati, seperti dari Belanda dan
Brasil. Bila terjadi inkonsistensi berarti harus dicarikan alasan untuk
membenarkannya. Mencari suatu alasan untuk sesuatu yang tidak konsisten akan
sangat sulit.
Ketiga, bila lobi dikabulkan
Presiden Jokowi, presiden akan berhadapan dengan mayoritas publik Indonesia
yang telah lama geram dan marah atas maraknya penyalahgunaan narkoba di
Indonesia.
Bahkan, presiden harus berhadapan
dengan publik yang menganggap pemerintah lemah di depan negara lain ketika
kepentingan nasional menjadi taruhan. Publik akan menganggap presiden tidak
mampu untuk memenuhi janji dalam visi misi dan gagal dalam menyerap aspirasi.
Itu mengingat rakyat telah lama rindu akan kehadiran sosok pemimpin yang
berani saat tekanan dari luar negeri datang.
Terakhir, bila ada inkonsistensi
terkait kebijakan pelaksanaan hukuman mati dari Presiden Jokowi, itu akan
menjadi bola liar bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan presiden.
Dilakukan
dengan baik
Saat ini hampir semua partai, baik
yang terafiliasi pada Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) mendukung kebijakan tegas Presiden Jokowi untuk melaksanakan
hukuman mati. Namun, demikian ketegasan Indonesia menolak lobi Australia
harus dilakukan secara baik. Mengapa?
Pertama, karena secara jarak
Australia ialah tetangga Indonesia yang dekat. Ini berbeda dengan Brasil,
Nigeria, dan Belanda. Kedua, hubungan kedua negara kerap diwarnai dengan
berbagai isu yang berakibat pada naik turunnya (ups and downs) hubungan.
Ketiga, interaksi di tingkat
masyarakat antarkedua negara sangat intens. Di sini perlu dihindari hubungan
harmonis di tingkat masyarakat. Selanjutnya, baik di Australia maupun di
Indonesia, para pejabat kerap mengambil kebijakan yang didasarkan pada reaksi
publik. Bila publik menginginkan reaksi yang keras, pejabatnya akan bertindak
keras.
Terakhir, sejumlah isu terkait
Indonesia tidak jarang dijadikan komoditas politik oleh para politisi
Australia, utamanya di masa-masa pemilihan umum. Itu dapat menjadi sumber
ketenangan hubungan.
Oleh karena itu, sejumlah langkah
perlu diambil pemerintah agar Australia tidak memberikan reaksi yang
berlebihan, yaitu lebih dari pemanggilan pulang dubesnya untuk berkonsultasi.
Memang kedua pemerintahan bisa
memainkan `ketergantungan' yang satu terhadap yang lain. Namun, bila itu yang
dilakukan, permasalahan akan melebar dan tidak sesuai proporsi.
Dalam konteks demikian, pemerintah
perlu mengambil inisiatif untuk mencegah rusaknya hubungan yang luar biasa
sebagai dampak dari pelaksanaan hukuman mati.
Ada sejumlah langkah yang dapat
diambil.
Pemerintah perlu secara intensif
memberi informasi yang akurat kepada para pejabat Australia atas tindakan dua
warganya hingga dijatuhi hukuman mati dan tidak mendapatkan pengampunan dari
presiden.
Jangan sampai pemerintah Australia
bereaksi keras tanpa mengetahui kejahatan yang dilakukan, terutama dampaknya
terhadap Indonesia. Pemerintah melalui dubes, konjen, dan konsul di
Australia, juga perlu melakukan tatap muka dengan publik Australia serta
menjelaskan darurat narkoba yang dialami Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut
disampaikan alasan mengapa hukuman mati harus dilaksanakan dan juga posisi sulit
Indonesia di mata Brasil dan Belanda bila tidak konsisten dengan kebijakan
pelaksanaan hukuman mati.
Intinya, para diplomat melakukan
upaya untuk mengundang empati dari masyarakat Australia atas kondisi yang
dihadapi Indonesia. Hal lain ialah pemerintah perlu memperhitungkan secara
cermat waktu pelaksanaan hukuman mati terhadap dua warga Australia. Waktu
yang tepat ialah waktu yang tidak berdekatan dengan pelaksanaan pemilu di
Australia.
Bila sejumlah langkah ini
dilakukan, hubungan Indonesia dengan Australia diharapkan tidak terpengaruh
secara signifikan dalam pelaksanaan hukuman mati dua warga Australia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar