Minggu, 11 Januari 2015

Amburadul

Amburadul

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO,  11 Januari 2015

                                                                                                                       


Sore itu, saya bersama Romo Imam mau cari udara segar di pantai. Kami naik angkot, begitulah kendaraan penumpang mini itu biasa disebut-padahal kawasan ini jauh dari kota. Penumpang sepi, maklum orang lebih senang naik sepeda motor atau mobil pribadi. Romo pun leluasa ngobrol dengan sopir. Saya dengar Romo bertanya, "Bang, apakah angkot ini punya izin trayek ke pantai itu?"

Saya melihat sopir gelagapan sebelum menjawab, "Di sini tak ada izin trayek, tapi kan orang sudah tahu tujuan angkot ini ke pantai." Romo melanjutkan, "Kalau begitu, perjalanan ini ilegal, tak berizin. Nanti kalau ada apa-apa pada penumpang, siapa bertanggung jawab?" Sopir bingung. "Apa-apa itu apa?"
Romo tertawa, tetapi pasti bukan mengejek. "Maksud saya, kalau misalnya kecelakaan dan penumpang cedera, siapa yang menanggung biayanya?" Sopir pun lama terdiam. Lalu menjawab, "Ya, urusan penumpang. Bukan urusan saya. Bayar murah saja, kok, mau diurus. Kalau saya ikut cedera, siapa mengurus saya?"

Obrolan terhenti, ada penumpang yang turun. Saya teringat olok-olok penarik becak di Surabaya ketika penumpangnya minta pelan-pelan supaya tak keserempet mobil. Bayar murah, kok, minta selamat. Tapi saya juga percaya pada teman yang berpendapat, tiket pesawat murah bukan berkaitan dengan aman dan tidaknya penerbangan, melainkan soal kenyamanan. Ketika itu kami mau pesan tiket ke Jakarta. Antara yang murah dan mahal selisihnya sampai Rp 600 ribu. Petugas travel menyebutkan, yang mahal dapat makan dan minum, yang murah tak disuguhi apa-apa. Teman saya langsung memilih yang murah. "Nanti kita beli makanan yang paling enak, tak sampai Rp 100 ribu, kita makan di pesawat. Masih untung Rp 500 ribu," begitu alasannya.

Angkot jalan lagi dan Romo meneruskan dialognya, "Bang Sopir, ada izin trayek atau tidak, kalau misalnya terjadi kecelakaan, apalagi sampai ada penumpang meninggal dunia, pemerintah memberikan jaminan lewat asuransi Jasa Raharja?" Sopir tenang saja, entah dia paham atau tidak. Tapi saya yang nimbrung, "Seperti penumpang AirAsia itu kan Romo, ilegal atau tidak penerbangannya, tetap saja ada klaim asuransi." Romo langsung menjawab, "Betul. Keluarga korban jangan diteror dengan ilegal atau tidaknya penerbangan AirAsia. Asuransi harus diberikan. Penumpang kan tak perlu bertanya kepada pilot apakah penerbangannya ada izin atau tidak. Apalagi penumpang sampai bertanya, apakah pilot sudah di-briefing soal cuaca atau tidak."

"Tapi amburadulnya izin penerbangan ini juga harus menjadi perhatian serius pemerintah," kata Romo lagi. "Menteri Perhubungan sudah bagus untuk bertindak tegas. Jangan main-main di udara. Izin penerbangan itu, dari trayeknya sampai jam penerbangan, berkaitan dengan kepadatan lalu lintas di udara. Itu ada batasnya. Bayangkan kalau ada enam pesawat di jalur yang sama pada waktu yang sama, lalu menghadapi cuaca buruk. Yang satu minta izin ke kiri, yang satu ke kanan, yang lain minta naik, lainnya lagi minta turun, bagaimana ATC sebagai pengendali kontrol menjawab keenam-enamnya bersamaan? Pesawat kan tak bisa disuruh parkir dulu."

"Petugas ATC harus diperbanyak," kata saya, pura-pura paham. Romo tertawa, "Apa teknologinya sudah mendukung? Peralatan saja sudah kuno. Semua harus dibenahi, ya peralatan, ya perizinan. Juga pengawasan. Jangan-jangan amburadul ini sudah dari dulu dan musibah selalu membawa pelajaran."
Angkot sudah sampai di pantai. Ombak besar sekitar dua meter. Kalau dua meter saja begini, bagaimana kalau empat meter seperti di tempat AirAsia jatuh?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar