Manusia
Modern III : Waktu
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 11 Januari 2015
Beberapa
waktu yang lalu, dalam sebuah talk show
TV terkenal yang digelar dalam rangka memperingati 10 tahun tsunami dan di selenggarakan
di Aceh, Menteri Kelautan dan Perikanan ikut menjadi salah satu narasumber.
Dalam
kesempatan itu narasumber yang lain mengomentari betapa hebatnya Aceh,
yangdalamwaktu10 tahun pasca-tsunami sudah menggeliat bangun lagi ekonominya,
bahkan jauh lebih bagus dari sebelum tsunami. Ditunjukkan dalam talk show
itu, antara lain Kota Meulaboh di pantai Barat Aceh, yang dulu rata dengan
tanah oleh tsunami, sekarang sudah menjadi kota yang ramai, banyak toko, dan
betor (becak motor) berlalu lalang.
Tetapi ibu
menteri, narasumber yang namanya Susi Pudjiastuti, sekilas saja ikut memuji
perkembangan Aceh. Selanjutnya dia mengimbau kepada masyarakat agar
mengurangi hobi ngerumpi di warung kopi dari tiga jam menjadi sejam saja.
Maksudnya, agar ngobrol sebentar saja, selebihnya waktu digunakan untuk
hal-hal yang lebihbermanfaat, lebihproduktif: kerja, kerja, kerja! Susi jelas
bukan ustazah, apalagi ulama.
Pendidikannya
tergolong rendah, ijasah SMA pun dia tidak punya. Apalagi konon (saya sendiri
belum pernah melihat) tubuhnya bertato (suatu hal yang sering diidentikkan
dengan premanisme). Tetapi ucapannya benar sekali, bahkan ditegaskan oleh
wahyu Allah dalam surat al-Ashr (Masa/Waktu). “Waktu” adalah hal yang
dibagikan samar atas amarasa oleh Tuhan kepada setiap orang.
Tidak peduli
kaya atau miskin, berpendidikan atau buta huruf, pejabat atau rakyat, ulama
atau umat, sakit atau sehat, semua kebagianwaktuyangsama, yaitu 24 jam
sehari, 7 hari seminggu, 365 hari setahun. Tinggal terserah kepada kita
(manusia) masing-masing untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Makin banyak
waktu kita manfaatkan untuk kemaslahatan orang-orang lain, ataupun untuk diri
kita sendiri, semakin baik, dan pahalanya pun tidak usah menunggu sampai hari
kiamat. Di dunia ini pun Allah akan membalaskan kerja kita dengan balasan
yang kontan dan bisa dinikmati, baik oleh diri kita sendiri, maupun oleh
masyarakat yang ikut merasakan manfaat dari kerja kita.
Beberapa hari
sesudah talk show tersebut,
tepatnya tanggal 28 Desember 2014, terjadi musibah jatuhnya pesawat AirAsia
QZ8501 rute Surabaya-Singapura yang diduga menewaskan seluruh penumpang dan
awaknya. Terlepas dari drama dan tragedi yang pasti mengikuti setiap musibah,
kecelakaan pesawat AirAsia kali ini menyuguhkan tontonan (di TV) betapa
sekian banyak orang (termasuk yang tadinya tidak saling mengenal) bisa
bekerja sangat kompak berkejaran dengan waktu.
Presiden
Jokowi yang ketika musibah terjadi sedang di Papua, segera menggelar
konferensi pers dan memerintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya
untuk menemukan pesawat yang hilang itu dan mengevakuasi korban secepat-cepatmya.
Maka semua langsung bergerak! Basarnas sebagai pemimpin dan semua
terkoordinasi dengan sangat rapi.
Bantuan
negara lain berdatangan dengan alat-alat dan personel. Helikopter terbang dan
mendarat, kapal-kapal mencari korban di tengah laut yang bergolak, setelah
lokasi jatuhnya pesawat ditemukan. Di pos-pos evakuasi, petugas bersamasama
berlarian membawa brankar, ada yang berseragam Basarnas, TNI, dan Polisi
(sama sekali tidak terasa adanya isu pertikaian antar TNI-Polisi).
Dalam waktu
tiga hari Wali Kota Surabaya Risma hadir di Lanud Juanda Surabaya dan juga mendatangi
rumah-rumah penumpang yang ditinggalkan semua penghuninya yang ikut dengan
pesawat nahas itu. Rumah-rumah itu digembok dan disuruh jaga oleh Satpol PP.
Di Kabupaten Belitung Timur, Bupati Basuri
Tjahaja Purnama spontan menyiapkan sarana posko karena ada dugaan
pesawat jatuh di sekitar situ.
Ketika korban
mulai dievakuasi ke Pangkalan Bun, presiden menyempatkan diri untuk
mengunjunginya dan dari situ langsung terbang ke Surabaya untuk bertemu
langsung dengan keluarga korban. Bukan itu saja. Sebagian sejawat saya,
psikolog-psikolog yang ada di Surabaya, melalui Himpunan Psikologi Indonesia
cabang Jatim, langsung membuka meja-meja konseling di Lanud Juanda. Tidak ada
yang menanyakan uang makan apalagi honorarium. Pokoknya: kerja!
Hasil kerja
itu ternyata memang luar biasa. Dalam waktu tiga hari lokasi kecelakaan sudah
ditemukan dan selanjutnya bantuan dan evakuasi bisa dilaksanakan. Pujian dari
luar negeri bermunculan, dan yang terpenting rasa puas dari keluarga korban
sendiri di tengah duka mereka (inilah pahala langsung bagi para pekerja keras
itu).
Tentu hal ini
tidak akan terjadi jika dibentuk Pansus dulu, diseminarkan dulu, atau dibahas
dulu dengan Panitia Anggaran DPR. Memang budaya Indonesia lebih cenderung
kepada budaya oral atau lisan. Kita mahir sekali untuk berdebat, berdiskusi,
berpantun, berseloka, berdendang atau mendongeng, tetapi kurang cekatan kalau
disuruh kerja.
Waktu bisa
dibuang-buang untuk kebiasaan oral ini. Saya lihat sendiri di Banda Aceh (dua
minggu dan dua tahun pasca-tsunami ketika saya kesana) warung-warung kopi
buka seharian sampai malam, dan selalu penuh dengan orang yang mengobrol
sambil minum kopi. Bahkan, mungkin lebih dari tiga jam. Konon para elite Aceh
juga mengobrol di warung-warung kopi itu.
Tetapi kata
kawan-kawan saya yang belakangan ini sering mondar-mandir ke Aceh, jalan-jalan
raya di Aceh sekarang mulus-mulus, dibeton, bukan seperti yang dulu jamannya
DOM (daerah operasi militer). Jadi siapa yang membangun prasarana itu? Jelas
orang-orang yang senang bekerja demi waktu, karena tidak bisa orang membangun
sesuatu sambil ngobrol... Ya kan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar