Minggu, 11 Januari 2015

Manusia Modern III : Waktu

Manusia Modern III : Waktu

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  11 Januari 2015

                                                                                                                       


Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah talk show TV terkenal yang digelar dalam rangka memperingati 10 tahun tsunami dan di selenggarakan di Aceh, Menteri Kelautan dan Perikanan ikut menjadi salah satu narasumber.

Dalam kesempatan itu narasumber yang lain mengomentari betapa hebatnya Aceh, yangdalamwaktu10 tahun pasca-tsunami sudah menggeliat bangun lagi ekonominya, bahkan jauh lebih bagus dari sebelum tsunami. Ditunjukkan dalam talk show itu, antara lain Kota Meulaboh di pantai Barat Aceh, yang dulu rata dengan tanah oleh tsunami, sekarang sudah menjadi kota yang ramai, banyak toko, dan betor (becak motor) berlalu lalang.

Tetapi ibu menteri, narasumber yang namanya Susi Pudjiastuti, sekilas saja ikut memuji perkembangan Aceh. Selanjutnya dia mengimbau kepada masyarakat agar mengurangi hobi ngerumpi di warung kopi dari tiga jam menjadi sejam saja. Maksudnya, agar ngobrol sebentar saja, selebihnya waktu digunakan untuk hal-hal yang lebihbermanfaat, lebihproduktif: kerja, kerja, kerja! Susi jelas bukan ustazah, apalagi ulama.

Pendidikannya tergolong rendah, ijasah SMA pun dia tidak punya. Apalagi konon (saya sendiri belum pernah melihat) tubuhnya bertato (suatu hal yang sering diidentikkan dengan premanisme). Tetapi ucapannya benar sekali, bahkan ditegaskan oleh wahyu Allah dalam surat al-Ashr (Masa/Waktu). “Waktu” adalah hal yang dibagikan samar atas amarasa oleh Tuhan kepada setiap orang.

Tidak peduli kaya atau miskin, berpendidikan atau buta huruf, pejabat atau rakyat, ulama atau umat, sakit atau sehat, semua kebagianwaktuyangsama, yaitu 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 365 hari setahun. Tinggal terserah kepada kita (manusia) masing-masing untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.

Makin banyak waktu kita manfaatkan untuk kemaslahatan orang-orang lain, ataupun untuk diri kita sendiri, semakin baik, dan pahalanya pun tidak usah menunggu sampai hari kiamat. Di dunia ini pun Allah akan membalaskan kerja kita dengan balasan yang kontan dan bisa dinikmati, baik oleh diri kita sendiri, maupun oleh masyarakat yang ikut merasakan manfaat dari kerja kita.

Beberapa hari sesudah talk show tersebut, tepatnya tanggal 28 Desember 2014, terjadi musibah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura yang diduga menewaskan seluruh penumpang dan awaknya. Terlepas dari drama dan tragedi yang pasti mengikuti setiap musibah, kecelakaan pesawat AirAsia kali ini menyuguhkan tontonan (di TV) betapa sekian banyak orang (termasuk yang tadinya tidak saling mengenal) bisa bekerja sangat kompak berkejaran dengan waktu.

Presiden Jokowi yang ketika musibah terjadi sedang di Papua, segera menggelar konferensi pers dan memerintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk menemukan pesawat yang hilang itu dan mengevakuasi korban secepat-cepatmya. Maka semua langsung bergerak! Basarnas sebagai pemimpin dan semua terkoordinasi dengan sangat rapi.

Bantuan negara lain berdatangan dengan alat-alat dan personel. Helikopter terbang dan mendarat, kapal-kapal mencari korban di tengah laut yang bergolak, setelah lokasi jatuhnya pesawat ditemukan. Di pos-pos evakuasi, petugas bersamasama berlarian membawa brankar, ada yang berseragam Basarnas, TNI, dan Polisi (sama sekali tidak terasa adanya isu pertikaian antar TNI-Polisi).

Dalam waktu tiga hari Wali Kota Surabaya Risma hadir di Lanud Juanda Surabaya dan juga mendatangi rumah-rumah penumpang yang ditinggalkan semua penghuninya yang ikut dengan pesawat nahas itu. Rumah-rumah itu digembok dan disuruh jaga oleh Satpol PP. Di Kabupaten Belitung Timur, Bupati Basuri Tjahaja Purnama spontan menyiapkan sarana posko karena ada dugaan pesawat jatuh di sekitar situ.

Ketika korban mulai dievakuasi ke Pangkalan Bun, presiden menyempatkan diri untuk mengunjunginya dan dari situ langsung terbang ke Surabaya untuk bertemu langsung dengan keluarga korban. Bukan itu saja. Sebagian sejawat saya, psikolog-psikolog yang ada di Surabaya, melalui Himpunan Psikologi Indonesia cabang Jatim, langsung membuka meja-meja konseling di Lanud Juanda. Tidak ada yang menanyakan uang makan apalagi honorarium. Pokoknya: kerja!

Hasil kerja itu ternyata memang luar biasa. Dalam waktu tiga hari lokasi kecelakaan sudah ditemukan dan selanjutnya bantuan dan evakuasi bisa dilaksanakan. Pujian dari luar negeri bermunculan, dan yang terpenting rasa puas dari keluarga korban sendiri di tengah duka mereka (inilah pahala langsung bagi para pekerja keras itu).

Tentu hal ini tidak akan terjadi jika dibentuk Pansus dulu, diseminarkan dulu, atau dibahas dulu dengan Panitia Anggaran DPR. Memang budaya Indonesia lebih cenderung kepada budaya oral atau lisan. Kita mahir sekali untuk berdebat, berdiskusi, berpantun, berseloka, berdendang atau mendongeng, tetapi kurang cekatan kalau disuruh kerja.

Waktu bisa dibuang-buang untuk kebiasaan oral ini. Saya lihat sendiri di Banda Aceh (dua minggu dan dua tahun pasca-tsunami ketika saya kesana) warung-warung kopi buka seharian sampai malam, dan selalu penuh dengan orang yang mengobrol sambil minum kopi. Bahkan, mungkin lebih dari tiga jam. Konon para elite Aceh juga mengobrol di warung-warung kopi itu.

Tetapi kata kawan-kawan saya yang belakangan ini sering mondar-mandir ke Aceh, jalan-jalan raya di Aceh sekarang mulus-mulus, dibeton, bukan seperti yang dulu jamannya DOM (daerah operasi militer). Jadi siapa yang membangun prasarana itu? Jelas orang-orang yang senang bekerja demi waktu, karena tidak bisa orang membangun sesuatu sambil ngobrol... Ya kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar