Minggu, 11 Januari 2015

Mahomet

Mahomet

Goenawan Mohamad  ;   Esais, Mantan Pemred Majalah Tempo
TEMPO.CO,  12 Januari 2015

                                                                                                                       


April 1741, sebuah lakon tentang "Mahomet" dipanggungkan di sebuah teater di Lille, Prancis utara. Penulisnya akan dikenang orang berabad-abad (meskipun lakon ini jarang dibicarakan), karena ia Voltaire, karena Voltaire selalu mengutarakan pikiranpikiran yang cerdas, kadang-kadang dalam, kadang-kadang dangkal, bisa kocak, bisa kasar, tapi umumnya merisaukan. Khususnya tentang sesuatu yang berlanjut hingga abad ke21 ini: manusia dan fanatisme dan kebengisan.

Ia mengerjakan karyanya itu, Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophète, sejak 1739. Dari judulnya sudah kelihatan bahwa ia mengaitkan fanatisme dengan Nabi yang membawa Islam ke dunia.

Cerita yang terdiri atas lima babak ini berkisar pada rencana Mahomet untuk mengalahkan Zopire, Gubernur Kota Mekah. Dalam babak ke-4, Zopire dibunuh pemuda yang ia sayangi, Séïde, yang sebenarnya anaknya sendiri tapi telah jadi pengikut Mahomet yang dengan patuh menjalankan perintah pembunuhan itu. Pada saat yang sama, Séïde diracun Omar, orang kepercayaan Mahomet. Anak muda itu mati pelan-pelan. Ia harus disingkirkan agar tak lagi berada di dekat Palmire, gadis yang menawan hati sang Prophète. Di akhir lakon, Palmire menampik Mahomet dan perempuan itu bunuh diri.

Saya tak tahu adakah Mahomet sebuah karya utama dalam riwayat Voltaire; lakon ini tak seterkenal karyanya yang lain, Candide, misalnya, meskipun berkalikali dipentaskan Tapi ada seorang pengkritiknya yang layak didengar meskipun bukan datang dari kalangan sastra dan dikutip pendapatnya hampir seabad kemudian: Napoleon Bonaparte.

Ketika penguasa Prancis ini berjumpa dengan Goethe pada 1808 di Kota Erfurt, ia menyatakan ketidaksukaannya kepada Mahomet -- meskipun Goethelah yang menerjemahkan lakon itu. Sebuah "karikatur", kata Napoleon -- dan saya bisa mengerti kenapa demikian. Mahomet tak mendalam, mudah ditebak tendensnya, tokohnya hampir sepenuhnya satu sisi. Mirip sebuah melodrama. Atau sebuah propaganda.

Goethe tak membantah. Ia pengagum Voltaire tapi pada saat yang sama amat kuat simpatinya kepada Islam; ia dijuluki "Meccarus" karena itu. Tak mengherankan bila ia mencoba mengubah sosok Mahomet dalam versi Jerman lakon ini. Ia tak ingin mengulang "sikap kasar" Voltaire. Dalam teks asli Mahomet mengatakan kepada Zopire ia siap jadi lebih kejam ketimbang musuhnya itu, Je serai plus que toi cruel, impitoyable, sementara dalam teks Goethe yang kita temukan adalah kalimat, "Kau mengundangku untuk bengis," Du forderst selbst zur Grausamkeit mich auf.

Bagi Goethe, berbeda dari bagi Voltaire, kekerasan dalam sejarah Islam terjadi karena sesuatu yang datang dari luar. Tapi bersama Voltaire ia menolak iman yang melahirkan kebengisan dan agama yang bersandar pada kekuasaan yang tak mau digugat.

Dalam Mahomet, sang tokoh utama menyatakan ambisinya: ia, dengan "iman yang lebih murni" ketimbang keyakinan lain, ingin menegakkan imperium yang mencakup semesta. Mungkin sebab itu dalam tafsir Goethe, Mahomet adalah sindiran bagi Gereja Katolik -- meskipun anehnya Voltaire mempersembahkan karyanya buat Paus Benediktus XIV. Bisa jadi ini caranya melindungi diri dari sensor. Permusuhan antara Voltaire dan Gereja memang termasyhur, dan di zamannya kekuasaan atas nama agama memang bisa terdengar bodoh tapi tetap mengancam: sebuah sajak Voltaire diperintahkan Parlemen Paris untuk dibakar di depan umum, 23 Januari 1759.

Dari Voltaire ke Goethe, cukup panjang masa itu. Tapi ada yang berlanjut terus: hasrat akan kehidupan rohani yang berbeda dari yang ditunjukkan agamaagama. Para sejarawan mengatakan niat itu lahir bersama Zaman Pencerahan yang mengutamakan nalar manusia. Tapi saya kira tak hanya terbatas di masa itu. Tiap kali agamaagama bergerak jadi mekanisme pembalasan, tiap kali Tuhan dirindukan dengan cara lain.

Voltaire menampik agama-agama, ketika pada saat yang sama ia juga menolak atheisme. Ia menyebut diri seorang "theis". Sekitar tahun 1750 ia mengumumkan penjelasannya tentang apa yang disebutnya "theisme":

Seorang theis adalah seseorang yang menerima dengan teguh adanya satu Wujud Yang Maha Luhur yang menghukum kejahatan tanpa sikap yang kejam, dan yang dengan baik hati memberi anugerah kepada laku kebajikan. Seorang theis tak tahu bagaimana cara Tuhan menghukum, bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana cara Tuhan mengampuni, sebab ia tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui Tuhan itu adil ....

Voltaire: hampir tiga abad kemudian. Rasanya ada yang salah di hari ini ketika dari Prancis ia seakan-akan perlu mengulang kata-katanya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar