Mahomet
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemred Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 12 Januari 2015
April 1741, sebuah lakon tentang
"Mahomet" dipanggungkan di sebuah teater di Lille, Prancis utara.
Penulisnya akan dikenang orang berabad-abad (meskipun lakon ini jarang
dibicarakan), karena ia Voltaire, karena Voltaire selalu mengutarakan
pikiranpikiran yang cerdas, kadang-kadang dalam, kadang-kadang dangkal, bisa
kocak, bisa kasar, tapi umumnya merisaukan. Khususnya tentang sesuatu yang
berlanjut hingga abad ke21 ini: manusia dan fanatisme dan kebengisan.
Ia mengerjakan karyanya itu, Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophète,
sejak 1739. Dari judulnya sudah kelihatan bahwa ia mengaitkan fanatisme
dengan Nabi yang membawa Islam ke dunia.
Cerita yang terdiri atas lima
babak ini berkisar pada rencana Mahomet untuk mengalahkan Zopire, Gubernur
Kota Mekah. Dalam babak ke-4, Zopire dibunuh pemuda yang ia sayangi, Séïde,
yang sebenarnya anaknya sendiri tapi telah jadi pengikut Mahomet yang dengan
patuh menjalankan perintah pembunuhan itu. Pada saat yang sama, Séïde
diracun Omar, orang kepercayaan Mahomet. Anak muda itu mati pelan-pelan. Ia
harus disingkirkan agar tak lagi berada di dekat Palmire, gadis yang menawan
hati sang Prophète. Di akhir lakon, Palmire menampik Mahomet dan perempuan
itu bunuh diri.
Saya tak tahu adakah Mahomet
sebuah karya utama dalam riwayat Voltaire; lakon ini tak seterkenal karyanya
yang lain, Candide, misalnya, meskipun berkalikali dipentaskan Tapi ada
seorang pengkritiknya yang layak didengar meskipun bukan datang dari kalangan
sastra dan dikutip pendapatnya hampir seabad kemudian: Napoleon Bonaparte.
Ketika penguasa Prancis ini
berjumpa dengan Goethe pada 1808 di Kota Erfurt, ia menyatakan ketidaksukaannya
kepada Mahomet -- meskipun Goethelah yang menerjemahkan lakon itu. Sebuah
"karikatur", kata Napoleon -- dan saya bisa mengerti kenapa
demikian. Mahomet tak mendalam, mudah ditebak tendensnya, tokohnya hampir
sepenuhnya satu sisi. Mirip sebuah melodrama. Atau sebuah propaganda.
Goethe tak membantah. Ia pengagum
Voltaire tapi pada saat yang sama amat kuat simpatinya kepada Islam; ia
dijuluki "Meccarus" karena itu. Tak mengherankan bila ia mencoba
mengubah sosok Mahomet dalam versi Jerman lakon ini. Ia tak ingin mengulang "sikap
kasar" Voltaire. Dalam teks asli Mahomet mengatakan kepada Zopire ia
siap jadi lebih kejam ketimbang musuhnya itu, Je serai plus que toi cruel, impitoyable, sementara dalam teks
Goethe yang kita temukan adalah kalimat, "Kau mengundangku untuk
bengis," Du forderst selbst zur
Grausamkeit mich auf.
Bagi Goethe, berbeda dari bagi
Voltaire, kekerasan dalam sejarah Islam terjadi karena sesuatu yang datang
dari luar. Tapi bersama Voltaire ia menolak iman yang melahirkan kebengisan
dan agama yang bersandar pada kekuasaan yang tak mau digugat.
Dalam Mahomet, sang tokoh utama
menyatakan ambisinya: ia, dengan "iman yang lebih murni" ketimbang
keyakinan lain, ingin menegakkan imperium yang mencakup semesta. Mungkin
sebab itu dalam tafsir Goethe, Mahomet adalah sindiran bagi Gereja Katolik --
meskipun anehnya Voltaire mempersembahkan karyanya buat Paus Benediktus XIV.
Bisa jadi ini caranya melindungi diri dari sensor. Permusuhan antara Voltaire
dan Gereja memang termasyhur, dan di zamannya kekuasaan atas nama agama
memang bisa terdengar bodoh tapi tetap mengancam: sebuah sajak Voltaire
diperintahkan Parlemen Paris untuk dibakar di depan umum, 23 Januari 1759.
Dari Voltaire ke Goethe, cukup
panjang masa itu. Tapi ada yang berlanjut terus: hasrat akan kehidupan rohani
yang berbeda dari yang ditunjukkan agamaagama. Para sejarawan mengatakan niat
itu lahir bersama Zaman Pencerahan yang mengutamakan nalar manusia. Tapi saya
kira tak hanya terbatas di masa itu. Tiap kali agamaagama bergerak jadi
mekanisme pembalasan, tiap kali Tuhan dirindukan dengan cara lain.
Voltaire menampik agama-agama,
ketika pada saat yang sama ia juga menolak atheisme. Ia menyebut diri seorang
"theis". Sekitar tahun 1750 ia mengumumkan penjelasannya tentang
apa yang disebutnya "theisme":
Seorang theis adalah seseorang
yang menerima dengan teguh adanya satu Wujud Yang Maha Luhur yang menghukum
kejahatan tanpa sikap yang kejam, dan yang dengan baik hati memberi anugerah
kepada laku kebajikan. Seorang theis tak tahu bagaimana cara Tuhan menghukum,
bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana cara Tuhan mengampuni, sebab ia
tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui Tuhan itu adil
....
Voltaire: hampir tiga abad
kemudian. Rasanya ada yang salah di hari ini ketika dari Prancis ia seakan-akan
perlu mengulang kata-katanya lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar