Warisan
Arun
Iskandar Zulkarnaen ; Wakil Rektor Bidang Kerja Sama,
Universitas Malikussaleh, Aceh
|
KOMPAS, 10 Januari 2015
Aceh pernah menjadi wilayah petro
dollar dengan beroperasinya PT Arun NGL. Samantha F Ravich, dalam tulisannya
berjudul ”Eyeing Indonesia Through the
Lens of Aceh” di jurnal The
Washington Quarterly Vol 23/3, 2000, menulis bahwa produksi gas Arun
setiap tahun mencapai 12 juta ton liquefied natural gas atau sepertiga dari
total ekspor gas Indonesia. Pada 1998, produksi gas Arun mencapai 2 miliar
dollar AS.
Ironisnya, keberadaan Arun relatif
tidak berkorelasi positif terhadap tingkat kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat Aceh. Kemiskinan dan pengangguran di Aceh Utara—tempat Arun
beroperasi—justru tertinggi di Aceh karena sebagian besar hasil Arun dibawa
ke pusat.
Ketika perubahan melanda Aceh dan
porsi pembagian migas untuk daerah sangat besar (70:30), produksi migas Arun
sudah menurun, migas bukan lagi primadona ekonomi.
Selama ini, Arun adalah salah satu
ikon Aceh, bahkan menjadi bagian dari sejarah konflik Aceh. Arun
disebut-sebut banyak kalangan sebagai salah satu sumber persoalan yang turut
membakar Aceh.
Sebagai industri yang menghasilkan
banyak dukungan finansial, Arun adalah target sasaran sekaligus alasan bagi
aparat keamanan untuk bertahan di Aceh.
Rawannya kompleks industri dan
komersial lain dari serangan GAM mendorong para pengelolanya mencari perlindungan
tambahan dengan membayar komandan setempat untuk menempatkan tentaranya (Ravich, 2000).
Masa kejayaan PT Arun NGL berakhir
seiring pengapalan terakhir gas ke Korea Selatan pertengahan Oktober lalu.
Perusahaan yang pernah melambungkan nama Aceh dan Indonesia ke mata dunia itu
resmi mengakhiri produksi dan ekspor gas ke Korea Selatan dan Jepang.
Tidak ada lagi PT Arun NGL. Yang
ada adalah PT Arun Pertamina Gas (Pertagas), anak perusahaan Pertamina dengan
produksi kondensat dan gas untuk kebutuhan industri dan rumah tangga di Aceh.
Peralihan produksi berkonsekuensi
pada berakhirnya masa kerja ratusan karyawan Desember 2014.
PT Arun NGL memang belum mati. Ia
ibarat kapal hendak karam.
Perusahaan terbesar di Indonesia
era 1970-an itu memiliki beban berupa aset, seperti perumahan, pelabuhan,
areal perkantoran, dan pabrik.
Semua pihak paham bahwa Arun akan
berhenti beroperasi pada Oktober 2014 sesuai dengan Agreement of Use and Operating Plan (AUOP). Maka, seharusnya
pembicaraan dan pelepasan soal aset sudah dilaksanakan beberapa tahun
sebelumnya.
Daerah
dan pusat
Positif atau negatifnya citra Arun
di masyarakat Aceh sangat tergantung dari legacy yang ditinggalkan. Arun
berpeluang menegaskan citra dan keberpihakannya kepada masyarakat Aceh
melalui pelepasan beragam aset yang dimiliki untuk masyarakat di sekitar
perusahaannya.
Hal ini pernah dilakukan
ExxonMobil dengan melepas aset Perumahan Bukit Indah untuk Universitas
Malikussaleh dan aset perkantoran untuk Pemerintah Aceh Utara. Inilah bukti
peninggalan ExxonMobil selama beroperasi di Aceh.
Tentu saja tidak apple to apple
membandingkan antara ExxonMobil dan Arun. ExxonMobil adalah perusahaan swasta
yang tidak terlalu terikat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan
atau pemanfaatan aset. Sementara Arun adalah BUMN yang penggunaan,
pengalihfungsian, dan penghapusan asetnya wajib sesuai undang-undang.
Sebagai BUMN, pemerintah pusat
adalah pemegang share terbesar. Hendak dikemanakan aset Arun, peran
pemerintah pusat sangat dominan.
Namun, jangan lupa bahwa
pemerintah daerah dan masyarakat Aceh adalah pihak penanggung terbesar, baik
secara fisik maupun psikologis, dari kehadiran Arun sehingga harus
mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar juga.
Jika saja negara tidak menyerahkan
aset Arun kepada warga sekitar, tetapi menghibahkan ke industri lain, seperti
untuk PT Pupuk Iskandar Muda, misalnya, nasib Arun hanya ada dua. Pertama,
Arun tak akan meninggalkan jejak.
Kedua, jikapun diingat, hanya
meninggalkan kenangan kusam di Aceh. Arun hanya akan menjadi industri yang
mengeksploitasi tanpa memberikan kesejahteraan bagi warga Aceh.
Karena itu, direksi dan unsur
pimpinan Arun serta Pertamina harus memberikan masukan kepada pemerintah agar
segala aset yang dimilikinya diserahkan ke masyarakat sekitar sebagai bagian
integral dari stakeholder perusahaan.
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kota
Lhokseumawe, dan perguruan tinggi di Aceh Utara telah meminta aset-aset itu
untuk tujuan mencerdaskan anak bangsa.
Jika ada kekhawatiran pemerintah
daerah tak mampu mengelola aset sebesar itu, tentu Arun dan pemerintah pusat
bisa menghibahkannya ke perguruan tinggi yang perlu ruang untuk jumlah
mahasiswa yang setiap tahun mendaftar hingga puluhan ribu orang.
Kabar dari staf PT Arun
menyebutkan, perusahaan sedang mencari donor untuk membangun museum
pengolahan minyak bumi dan gas di kompleks perusahaan itu.
Langkah membangun museum ini patut
diapresiasi, sejauh diberikan kepada pihak yang tepat untuk mengelola
sehingga menjadi sarana edukasi masyarakat.
Petronas sebagai perusahaan minyak
dan gas Malaysia telah membangun museum jenis ini. Semua masyarakat bisa
melihat bagaimana kehebatan Petronas dalam
bisnis minyak dan gas di mancanegara. Ini menjadi ikon Malaysia dengan dua
tower kembarnya.
Jika terealisasi, Arun akan
membekas di sanubari generasi Aceh. Arun tidak hanya meninggalkan nama dengan
kekeruhan sejarah, tetapi juga sebuah legacy
yang berperan dalam pencerdasan kehidupan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar