Minggu, 11 Januari 2015

Warisan Arun

Warisan Arun

Iskandar Zulkarnaen  ;   Wakil Rektor Bidang Kerja Sama,
Universitas Malikussaleh, Aceh
KOMPAS,  10 Januari 2015

                                                                                                                       


Aceh pernah menjadi wilayah petro dollar dengan beroperasinya PT Arun NGL. Samantha F Ravich, dalam tulisannya berjudul ”Eyeing Indonesia Through the Lens of Aceh” di jurnal The Washington Quarterly Vol 23/3, 2000, menulis bahwa produksi gas Arun setiap tahun mencapai 12 juta ton liquefied natural gas atau sepertiga dari total ekspor gas Indonesia. Pada 1998, produksi gas Arun mencapai 2 miliar dollar AS.

Ironisnya, keberadaan Arun relatif tidak berkorelasi positif terhadap tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Kemiskinan dan pengangguran di Aceh Utara—tempat Arun beroperasi—justru tertinggi di Aceh karena sebagian besar hasil Arun dibawa ke pusat.

Ketika perubahan melanda Aceh dan porsi pembagian migas untuk daerah sangat besar (70:30), produksi migas Arun sudah menurun, migas bukan lagi primadona ekonomi.

Selama ini, Arun adalah salah satu ikon Aceh, bahkan menjadi bagian dari sejarah konflik Aceh. Arun disebut-sebut banyak kalangan sebagai salah satu sumber persoalan yang turut membakar Aceh.

Sebagai industri yang menghasilkan banyak dukungan finansial, Arun adalah target sasaran sekaligus alasan bagi aparat keamanan untuk bertahan di Aceh.
Rawannya kompleks industri dan komersial lain dari serangan GAM mendorong para pengelolanya mencari perlindungan tambahan dengan membayar komandan setempat untuk menempatkan tentaranya (Ravich, 2000).

Masa kejayaan PT Arun NGL berakhir seiring pengapalan terakhir gas ke Korea Selatan pertengahan Oktober lalu. Perusahaan yang pernah melambungkan nama Aceh dan Indonesia ke mata dunia itu resmi mengakhiri produksi dan ekspor gas ke Korea Selatan dan Jepang.

Tidak ada lagi PT Arun NGL. Yang ada adalah PT Arun Pertamina Gas (Pertagas), anak perusahaan Pertamina dengan produksi kondensat dan gas untuk kebutuhan industri dan rumah tangga di Aceh.

Peralihan produksi berkonsekuensi pada berakhirnya masa kerja ratusan karyawan Desember 2014.

PT Arun NGL memang belum mati. Ia ibarat kapal hendak karam.
Perusahaan terbesar di Indonesia era 1970-an itu memiliki beban berupa aset, seperti perumahan, pelabuhan, areal perkantoran, dan pabrik.

Semua pihak paham bahwa Arun akan berhenti beroperasi pada Oktober 2014 sesuai dengan Agreement of Use and Operating Plan (AUOP). Maka, seharusnya pembicaraan dan pelepasan soal aset sudah dilaksanakan beberapa tahun sebelumnya.

Daerah dan pusat

Positif atau negatifnya citra Arun di masyarakat Aceh sangat tergantung dari legacy yang ditinggalkan. Arun berpeluang menegaskan citra dan keberpihakannya kepada masyarakat Aceh melalui pelepasan beragam aset yang dimiliki untuk masyarakat di sekitar perusahaannya.

Hal ini pernah dilakukan ExxonMobil dengan melepas aset Perumahan Bukit Indah untuk Universitas Malikussaleh dan aset perkantoran untuk Pemerintah Aceh Utara. Inilah bukti peninggalan ExxonMobil selama beroperasi di Aceh.
Tentu saja tidak apple to apple membandingkan antara ExxonMobil dan Arun. ExxonMobil adalah perusahaan swasta yang tidak terlalu terikat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan atau pemanfaatan aset. Sementara Arun adalah BUMN yang penggunaan, pengalihfungsian, dan penghapusan asetnya wajib sesuai undang-undang.

Sebagai BUMN, pemerintah pusat adalah pemegang share terbesar. Hendak dikemanakan aset Arun, peran pemerintah pusat sangat dominan.

Namun, jangan lupa bahwa pemerintah daerah dan masyarakat Aceh adalah pihak penanggung terbesar, baik secara fisik maupun psikologis, dari kehadiran Arun sehingga harus mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar juga.
Jika saja negara tidak menyerahkan aset Arun kepada warga sekitar, tetapi menghibahkan ke industri lain, seperti untuk PT Pupuk Iskandar Muda, misalnya, nasib Arun hanya ada dua. Pertama, Arun tak akan meninggalkan jejak.

Kedua, jikapun diingat, hanya meninggalkan kenangan kusam di Aceh. Arun hanya akan menjadi industri yang mengeksploitasi tanpa memberikan kesejahteraan bagi warga Aceh.

Karena itu, direksi dan unsur pimpinan Arun serta Pertamina harus memberikan masukan kepada pemerintah agar segala aset yang dimilikinya diserahkan ke masyarakat sekitar sebagai bagian integral dari stakeholder perusahaan.
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kota Lhokseumawe, dan perguruan tinggi di Aceh Utara telah meminta aset-aset itu untuk tujuan mencerdaskan anak bangsa.

Jika ada kekhawatiran pemerintah daerah tak mampu mengelola aset sebesar itu, tentu Arun dan pemerintah pusat bisa menghibahkannya ke perguruan tinggi yang perlu ruang untuk jumlah mahasiswa yang setiap tahun mendaftar hingga puluhan ribu orang.

Kabar dari staf PT Arun menyebutkan, perusahaan sedang mencari donor untuk membangun museum pengolahan minyak bumi dan gas di kompleks perusahaan itu.

Langkah membangun museum ini patut diapresiasi, sejauh diberikan kepada pihak yang tepat untuk mengelola sehingga menjadi sarana edukasi masyarakat.
Petronas sebagai perusahaan minyak dan gas Malaysia telah membangun museum jenis ini. Semua masyarakat bisa melihat bagaimana kehebatan Petronas dalam bisnis minyak dan gas di mancanegara. Ini menjadi ikon Malaysia dengan dua tower kembarnya.

Jika terealisasi, Arun akan membekas di sanubari generasi Aceh. Arun tidak hanya meninggalkan nama dengan kekeruhan sejarah, tetapi juga sebuah legacy yang berperan dalam pencerdasan kehidupan bangsa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar