Kamis, 20 November 2014

Tindak Pidana di Bidang Pajak dan Tipikor

              Tindak Pidana di Bidang Pajak dan Tipikor

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar (Emeritus) Unpad;
Direktur Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP)
KORAN SINDO,  19 November 2014

                                                                                                                       


Perpajakan di semua negara merupakan sumber pendapatan (pemasukan) negara yang amat penting dan satu-satunya andalan utama perekonomian tiap negara di dunia.

Sifat khas perpajakan adalah kewajiban yang bersanksi atau bersifat memaksa sekalipun dengan sistem self-assessment seperti Indonesia. Namun, dalam praktik perpajakan di Indonesia tidak semua wajib pajak mematuhi persis apa yang diperintahkan UU RI Nomor 6 Tahun 1983 dan Perubahan Keempat yang diatur dalam UU RI Nomor 5 Tahun 2008 (UU KUP).

Ketidakpatuhan wajib pajak pada umumnya disebabkan karena (1) ketidakjujuran wajib pajak dalam mengisi SPT; (2) mekanisme koreksi dan penyelesaian melalui model konferensi yang belum tersosialisasi secara merata dan menyeluruh serta terlaksana secara adil dan fair kepada wajib pajak, dan (3) sistem pengawasan (termasuk prosedur pemeriksaan) perpajakan yang belum tertata dengan sistem online terhadap seluruh kantor pajak yang tersebar di 34 propinsi dan lebih dari seratus kota/kabupaten; meliputi lima jenis pajak negara dan enam belas jenis pajak daerah.

Referensi perpajakan mengenal tiga jenis pelanggaran pajak yaitu tax avoidance, tax evasion dan tax fraud. Ketiganya memiliki perbedaan besar satu sama lain secara hukum baik mengenai kualitas perbuatan maupun mengenai akibat hukumnya.

UU KUP tidak memiliki arah yang jelas mengenai politik (hukum) perpajakan nasional (Indonesia) karena telah melekatkan ancaman sanksi pidana ke dalam sanksi administrasi atau disebut ”low degree of differentiation” antara keduanya seperti di Inggris, Swedia, dan Spanyol; berbeda dengan Belanda, Jerman, dan Portugal yang menerapkan model ”high degree of differentiation” antara sanksi administrasi dan sanksi pidana (Oswald Jansen, 2012).

Ketidak tegasan politik hukum perpajakan dalam konteks pengaturan mengenai posisi kedua sanksi tersebut merupakan sumber masalah dalam penegakan hukum perpajakan di Indonesia. Konsekuensi logis dari masalah tersebut, dalam praktik perpajakan, sanksi administrasi pajak juga diterapkan sanksi pidana pajak bahkan lebih jauh ditahbiskan sebagai tindak pidana korupsi (pidsus).

Dampak dari kerancuan sistem sanksi (hukum) perpajakan nasional dalam praktik justru bersifat kontraproduktif yaitu menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan ketidakadilan bagi wajib pajak apalagi wajib pajak yang kooperatif.

UU KUP juga telah memberikan diskresi yang luas kepada Dirjen Pajak dan jajaran pemeriksa untuk menentukan kepatuhan wajib pajak sekalipun standar akuntansi penilaian kewajiban membayar pajak masih belum jelas dan sering inkonsisten dalam implementasinya.

Di sisi lain secara teoritik dan referensi hukum pajak tentang sifat hukum administrasi yang merupakan hukum publik pada UU KUP juga tidak jelas dengan ada diskresi tersebut. Sifat memaksa dari UU KUP telah tergerus oleh ketentuan Pasal 44B yang menegaskan: (1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan menteri keuangan, jaksa agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu enam bulan sejak tanggal surat permintaan;( 2) penghentian penyidikan di bidang perpajakan...hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan (restitusi) dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Dua ayat dari ketentuan Pasal 44B jelas menunjukkan bahwa arah politik (hukum) perpajakan Indonesia menganut ”dual-track policy”, di satu sisi, bertujuan menegakkan disiplin perpajakan sebagai sumber pendapatan negara, dan di sisi lain menggunakan ”sun-rise policy” dengan tujuan memasukkan pendapatan negara secara optimal.

Dilihat dari sistem pemisahan kekuasaan, ketentuan Pasal 44B dapat merupakan bentuk intervensi eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif, namun dilihat dari sudut pendekatan analisis ekonomi, ketentuan tersebut merupakan salah satu cara efisien dalam mendukung perekonomian nasional.

Dari sudut teoritik perpajakan, ketentuan Pasal 44B UU KUP menegasikan arti penting kategorisasi pelanggaran perpajakan (tax avoidance, tax evasion dan tax fraud). Dari sudut hukum pidana, ketentuan Pasal 44B ayat (2) merupakan alasan pemaaf yang dapat menghentikan penyidikan sekalipun secara bersyarat (jangka waktu enam bulan).

Dari sudut politik perpajakan, ketentuan Pasal 44B menempatkan sektor perpajakan nasional bukan bertujuan menghukum wajib pajak per se, melainkan mendorong dan memperkuat kemampuan membayar pajak terhadap setiap wajib pajak.

Keinginan pimpinan KPK agar ”pengemplang pajak” dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dengan alasan mengurangi/merugikan pendapatan negara perlu diperjelas sekaligus dipertanyakan; Pertama, dari ketiga jenis pelanggaran pajak tersebut, perbuatan mengemplang pajak yang mana yang termasuk tipikor?

Kedua, bagaimana fungsi ultimum remedium dari hukum pidana (sanksi) dalam penerapan UU KUP atau apakah masih relevan penerapan fungsi hukum pidana tersebut dalam masalah perpajakan di Indonesia? Ketiga, bagaimana nasib ketentuan Pasal 44 B UU KUP jika pelanggaran UU KUP serta-merta digolongkan sebagai tindak pidana korupsi?

Perlu diketahui bahwa UU KUP secara eksplisit hanya memberlakukan UU Tipikor— pemerasan dalam jabatan terhadap fiscus bukan terhadap wajib pajak ((Pasal 36 A ayat (4). Posisi Pasal 43 UU KUP tidak menempatkan wajib pajak sebagai dader (pelaku utama) melain sebagai pelaku-peserta (Pasal 55 KUHP); kecuali tertangkap tangan, suap, atau gratifikasi.

Pertanyaan keempat, bagaimana nasib ketentuan Pasal 14 UU Tipikor tahun yang merupakan lex specialis systematic yang berbunyi: ”Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undangundang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.

Ketentuan pasal ini yang memerintahkan kepada aparatur hukum (APH) termasuk hakim untuk memberlakukan ketentuan pidana dalam UU administratif bukan pada UU tipikor jika tidak secara eksplisit dicantumkan bahwa pelanggaran atas UU Administratif adalah tindak pidana korupsi.

Namun, dalam praktik ketentuan Pasal 14 UU Tipikor tidak pernah diterapkan secara sungguh-sungguh dan sejujurnya oleh APH; bahkan saya tidak yakin APH pernah memahami memorie van toelichting dari ketentuan tersebut agar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999 tidak dijadikan sebagai ”pukat harimau” terhadap setiap pelanggaran UU Administratif hanya karena telah dipenuhinya unsur kerugian keuangan negara.

Ketentuan pasal tersebut diperkuat oleh ketentuan Bab XI UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara( UUPN) yang mengatur tentang Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah. Pasal 59 ayat (2) dan pasal-pasal selanjutnya dari UU PN telah menegaskan bahwa pelanggaran kewajiban penyelenggara negara yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, tidak mutatis mutandis merupakan tindak pidana korupsi karena pembentuk UU PN mendahulukan penyelesaian melalui (sanksi) hukum administratif, bukan sanksi pidana an sich !

Kehendak pimpinan KPK untuk men-tipikor-kan harus diapresiasi, tetapi masih diperlukan harmonisasi UU KUP dan UU Tipikor agar terjamin kepastian hukum dan keadilan dalam perpajakan nasional. Jika tidak, hampir dipastikan langkah hukum yang terburu-buru dan tidak teliti dapat merugikan secara signifikan iklim perekonomian nasional dan belum tentu juga langkah tersebut dapat menjamin dan memperkuat penambahan pendapatan negara dari sektor pajak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar