Sabtu, 08 November 2014

Tato

Tato

Musyafak  ;  Staf di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
KORAN TEMPO, 07 November 2014

                                                                                   


Di antara sekian banyak perkara yang didebatkan para netizen, tato adalah salah satunya. Sebagian masyarakat Indonesia hari ini masih nyinyir memandang orang bertato. Selama ini orang-orang bertato kerap dianggap menyalahi norma atau urakan. Bahkan orang bertato diidentikkan sebagai orang kriminal, seperti preman atau gali. Di tengah stigma-stigma miring itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu pun tak kalis dari cibiran nyinyir: menteri kok urakan?

Stigmatisasi tato tercatat sebagai salah satu riwayat kelam dalam sejarah Indonesia modern. Ingat cerita penembak misterius (petrus) pada 1980-an? Mengingat petrus, kita akan terkenang mayat-mayat lelaki bertato atau berambut gondrong yang dibuang di sembarang tempat. Saat itu pemimpin rezim Orde Baru, Soeharto, menggunakan tangan petrus untuk "membersihkan" preman. Identifikasi seorang preman sangat gampang, salah satunya atribut tato di tubuhnya. Sejak saat itu persepsi masyarakat terhadap tato kian seram. Orang-orang bertato tak diterima masuk ABRI atau menjadi pegawai negeri.

Dari sisi moralitas, konstruksi pencitraan negatif terhadap tato itu nyaris tak berdasar. Tato merupakan ekspresi budaya yang sangat umum dijumpai di berbagai etnis di penjuru dunia. Tato digunakan untuk mengekspresikan keindahan, magis-spiritual, sekaligus identitas suatu komunitas.

Etnis Dayak atau Mentawai adalah contoh komunitas-suku yang kental akan tradisi tato. Buku catatan antropologis Reimar Schefold yang diterbitkan dengan judul Aku dan Orang Sakuddei (2014) belum lama ini memuat kisah tentang kentalnya tradisi titi (rajah/tato) di komunitas Mentawai. Titi "rajah purba" umum dimiliki orang Mentawai. Tato di tubuh sikerei (dukun) berbeda dengan tato di tubuh lelaki biasa karena peran sosial mereka berlainan. Perempuan juga bertato untuk mempercantik diri. Tradisi merajah tubuh yang sudah turun-temurun pada akhirnya memiliki efek magis, kejantanan, dan keindahan.

"Proyek pembersihan" orang bertato di masa Orde Baru tidak mengecualikan tato tradisional. Orang Dayak atau Mentawai dilarang mempraktekkan tradisi tato yang diwariskan oleh leluhurnya. Bayang-bayang akan punahnya tato tradisional di kedua komunitas tersebut dewasa ini adalah buntut dari penghapusan sistemik yang dilakukan Orde Baru.

Kini citra negatif tato sudah terdekonstruksi sehingga tak sesangar dua atau tiga dekade lalu. Tato telah menjadi gaya hidup. Tato digandrungi dan dipopulerkan oleh kaum selebritas, selain komunitas-komunitas yang berkiblat pada pemikiran kebebasan. Tato berangsur-angsur diterima sebagian masyarakat sebagai seni untuk mengekspresikan keindahan. Tato digunakan untuk meneguhkan identitas atau pandangan-pandangan ideologis. Tato burung phoenix di kaki Susi tentu punya makna ideologis sekaligus historis bagi pribadinya.

Dalam berbagai hal, kita perlu mengecualikan aspek kemasan untuk mengorek substansinya. Menilai manusia yang memiliki riwayat hidup sekompleks Susi tentu timpang jika sekadar ditilik dari bungkusnya, apalagi sekadar tato yang mencap di kakinya itu. Bagi yang masih nyinyir terhadap tato, bacalah buku, meleklah sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar