Tato
Musyafak ; Staf
di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 07 November 2014
Di antara sekian banyak perkara yang didebatkan para netizen,
tato adalah salah satunya. Sebagian masyarakat Indonesia hari ini masih
nyinyir memandang orang bertato. Selama ini orang-orang bertato kerap
dianggap menyalahi norma atau urakan. Bahkan orang bertato diidentikkan
sebagai orang kriminal, seperti preman atau gali. Di tengah stigma-stigma
miring itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu pun tak kalis
dari cibiran nyinyir: menteri kok urakan?
Stigmatisasi tato tercatat sebagai salah satu riwayat kelam
dalam sejarah Indonesia modern. Ingat cerita penembak misterius (petrus) pada
1980-an? Mengingat petrus, kita akan terkenang mayat-mayat lelaki bertato
atau berambut gondrong yang dibuang di sembarang tempat. Saat itu pemimpin
rezim Orde Baru, Soeharto, menggunakan tangan petrus untuk "membersihkan"
preman. Identifikasi seorang preman sangat gampang, salah satunya atribut
tato di tubuhnya. Sejak saat itu persepsi masyarakat terhadap tato kian
seram. Orang-orang bertato tak diterima masuk ABRI atau menjadi pegawai
negeri.
Dari sisi moralitas, konstruksi pencitraan negatif terhadap tato
itu nyaris tak berdasar. Tato merupakan ekspresi budaya yang sangat umum
dijumpai di berbagai etnis di penjuru dunia. Tato digunakan untuk
mengekspresikan keindahan, magis-spiritual, sekaligus identitas suatu
komunitas.
Etnis Dayak atau Mentawai adalah contoh komunitas-suku yang
kental akan tradisi tato. Buku catatan antropologis Reimar Schefold yang
diterbitkan dengan judul Aku dan Orang Sakuddei (2014) belum lama ini memuat
kisah tentang kentalnya tradisi titi (rajah/tato) di komunitas Mentawai. Titi
"rajah purba" umum dimiliki orang Mentawai. Tato di tubuh sikerei
(dukun) berbeda dengan tato di tubuh lelaki biasa karena peran sosial mereka
berlainan. Perempuan juga bertato untuk mempercantik diri. Tradisi merajah
tubuh yang sudah turun-temurun pada akhirnya memiliki efek magis, kejantanan,
dan keindahan.
"Proyek pembersihan" orang bertato di masa Orde Baru
tidak mengecualikan tato tradisional. Orang Dayak atau Mentawai dilarang
mempraktekkan tradisi tato yang diwariskan oleh leluhurnya. Bayang-bayang
akan punahnya tato tradisional di kedua komunitas tersebut dewasa ini adalah
buntut dari penghapusan sistemik yang dilakukan Orde Baru.
Kini citra negatif tato sudah terdekonstruksi sehingga tak
sesangar dua atau tiga dekade lalu. Tato telah menjadi gaya hidup. Tato
digandrungi dan dipopulerkan oleh kaum selebritas, selain komunitas-komunitas
yang berkiblat pada pemikiran kebebasan. Tato berangsur-angsur diterima
sebagian masyarakat sebagai seni untuk mengekspresikan keindahan. Tato
digunakan untuk meneguhkan identitas atau pandangan-pandangan ideologis. Tato
burung phoenix di kaki Susi tentu punya makna ideologis sekaligus historis
bagi pribadinya.
Dalam berbagai hal, kita perlu mengecualikan aspek kemasan untuk
mengorek substansinya. Menilai manusia yang memiliki riwayat hidup sekompleks
Susi tentu timpang jika sekadar ditilik dari bungkusnya, apalagi sekadar tato
yang mencap di kakinya itu. Bagi yang masih nyinyir terhadap tato, bacalah
buku, meleklah sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar