Tantangan
Kelistrikan
Fabby Tumiwa ; Pemerhati Energi; Bekerja di Institute for
Essential Services Reform (IESR) Jakarta; Salah Satu Penyusun Skenario
Bandung
|
KOMPAS,
17 November 2014
KECUKUPAN pasokan listrik dalam
lima tahun mendatang menjadi faktor kunci keberhasilan Presiden Joko Widodo
merealisasikan target pertumbuhan ekonomi tujuh persen. Keterbatasan pasokan
listrik menjadi salah satu hambatan investasi, khususnya bagi sektor industri
yang diharapkan dapat tumbuh dan menciptakan lapangan kerja serta
menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas. Laporan Doing Business 2014
yang dirilis Bank Dunia menempatkan Indonesia pada peringkat ke-120 dari 189
negara yang disurvei. Salah satu indikator yang dinilai adalah proses, waktu,
dan biaya untuk mendapatkan pasokan listrik. Di Indonesia, pelaku bisnis
harus menunggu rata-rata 111 hari untuk dapat sambungan listrik, sementara di
Filipina hanya perlu 42 hari dan di Malaysia 32 hari.
Biaya untuk mendapatkan sambungan listrik di Indonesia juga lebih
tinggi dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Lamanya waktu mendapatkan
sambungan listrik bukan sekadar persoalan administrasi, penyebab utamanya
adalah minimnya ketersediaan atau cadangan pasokan listrik dan infrastruktur
jaringan yang terbatas untuk penyambungan baru. Dengan kapasitas listrik
pas-pasan, pelaku bisnis harus menunggu sampai ada tambahan kapasitas
pembangkit dan jaringan baru untuk mendapat penyambungan listrik.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2013-2022
mengindikasikan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen perlu
tambahan pasokan listrik 5,5-5,9 gigawatt (GW) setiap tahun atau sekitar
27.000 sampai 30.000 MW selama lima tahun. Dalam sejumlah kesempatan sebelum
dilantik, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menyampaikan rencana
pemerintah membangun 25 GW pembangkit baru dalam waktu lima tahun.
Pemerintah memang perlu bergegas dan bekerja keras untuk membenahi
kondisi kelistrikan. Selain meningkatnya kebutuhan listrik secara drastis,
ancaman krisis listrik pun sudah mengintai. Dalam lima tahun terakhir, jumlah
pembangkit yang dibangun tertinggal jauh dari laju permintaan. Dalam kurun
2009-2013, kapasitas terpasang pembangkit tumbuh rata-rata 6 persen setara
dengan tambahan 2,5-3,0 GW per tahun, dan produksi listrik tumbuh rata-rata
7,5 persen. Penambahan ini masih lebih rendah dibandingkan dengan laju
permintaan listrik yang tumbuh di atas 8,5 persen, belum lagi kapasitas baru
untuk mengganti kapasitas pembangkit yang berkurang karena faktor derating.
Hambatan struktural
Lambatnya pembangunan pembangkit, transmisi dan distribusi, dan
rendahnya realisasi investasi swasta disebabkan oleh sejumlah persoalan
struktural. Oleh karena itu, tanpa membenahi dan menyelesaikan
hambatan-hambatan struktural ini, sukar rasanya memenuhi target pembangunan
25 GW dalam lima tahun mendatang. Hambatan struktural ada di dua aras:
kebijakan dan peraturan, serta implementasi. Pada aras kebijakan dan regulasi
terdapat sejumlah tantangan yang menghadang. Pertama, kebijakan subsidi
listrik yang mencapai 30-35 persen dari total biaya penyediaan listrik PLN
ternyata sangat memengaruhi keuangan dan kemampuan perusahaan negara tersebut
untuk melakukan investasi.
Karena porsi penerimaan PLN cukup besar dari subsidi negara, dampaknya
adalah tingginya persepsi risiko investor dalam berinvestasi di sektor
kelistrikan. Oleh karena itu, jika pemerintah mengambil kebijakan untuk
mengurangi subsidi listrik, hal ini tidak hanya meningkatkan kemampuan
keuangan dan kapasitas investasi PLN, tetapi juga menurunkan profil risiko
investasi sehingga PLN dapat mengakses pinjaman dengan bunga lebih rendah,
dan laju investasi swasta yang selama ini tingkat realisasinya sangat rendah diharapkan
dapat membaik. Perbaikan profil risiko dapat mengurangi tekanan kepada
pemerintah untuk menyediakan penjaminan investasi listrik swasta.
Kedua, alokasi energi primer, khususnya gas bumi dan tata niaganya,
menyebabkan PLN kesulitan mendapatkan pasokan gas yang cukup dengan kebutuhan
pembangkitnya. Gas menjadi sangat penting untuk menyediakan listrik yang least cost pada sistem-sistem dengan
beban menengah di Kalimantan dan Sulawesi, yang didominasi oleh pelanggan
rumah tangga dan komersial, serta untuk memasok listrik pada beban menengah
dan puncak pada sistem Jawa-Bali dan Sumatera. Perbaikan alokasi gas dan
perbaikan tata niaga gas menjadi sangat penting untuk mendukung solusi
percepatan pembangunan PLTGU untuk mengatasi ancaman defisit listrik di
Jawa-Bali yang diperkirakan dapat terjadi pada tahun 2017-2018.
Pada aras implementasi terdapat sejumlah kendala yang menghadang.
Pertama, ketersediaan lahan selama ini merupakan salah satu faktor yang
menghambat realisasi pembangkit dan transmisi. Kasus mundurnya pembangunan
PLTU Batang karena penolakan masyarakat setempat untuk dibebaskan lahannya,
dan berbagai kesulitan pembebasan lahan untuk tapak dan jalur transmisi yang
menyebabkan terlambatnya pembangunan jaringan transmisi di Sumatera Utara, Lampung,
Jawa, dan Bali, mengindikasikan penyediaan lahan untuk membangun
infrastruktur listrik tidak mudah dan membutuhkan penanganan yang lebih
serius.
Untuk memastikan percepatan penyediaan lahan, diperlukan dukungan dan
koordinasi pemerintah pusat dan daerah untuk membebaskan lahan menggunakan UU
Nomor 2 Tahun 2012, pemberantasan mafia dan calo-calo tanah, dan merancang
skema kompensasi yang lebih atraktif bagi masyarakat untuk menyerahkan
lahannya untuk pembangunan infrastruktur. Koordinasi antarinstansi yang
berurusan dengan lahan perlu diintensifkan dan perlunya melahirkan
terobosan-terobosan baru yang bersifat win-win
solution untuk kepentingan masyarakat pemilik tanah dan kepentingan umum.
Kedua, ketersediaan pembiayaan untuk pembangkit listrik. Untuk
membangun pembangkit 5,9 GW dan jaringan transmisi dan distribusi setiap
tahunnya dibutuhkan pembiayaan 12 miliar dollar AS (Rp 138 triliun). PLN
diharapkan mengisi 50-60 persen dari kebutuhan ini atau Rp 70 triliun-Rp 80
triliun dan sisanya berasal dari swasta. Masalahnya, dengan kemampuannya saat
ini, PLN hanya sanggup mendanai maksimum Rp 50 triliun. Itu pun sebagian
besar berasal dari pinjaman dalam dan luar negeri yang berisiko memperburuk
tingkat rasio utang PLN. Adapun sisa kebutuhan investasi Rp 50 triliun-Rp 60
triliun diharapkan datang dari investor swasta (IPP).
Listrik
swasta
Memberikan harapan yang besar terhadap IPP untuk memasok 40-50 persen
pasokan tambahan harus disikapi dengan hati-hati. Pengalaman mobilisasi
investasi swasta proyek-proyek IPP selama satu dekade terakhir
mengindikasikan success rate yang relatif rendah, hanya 20-25 persen rencana
investasi yang bisa direalisasikan sebagai pembangkit. Oleh karena itu perlu
dipikirkan kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas investor IPP yang
masuk, termasuk upaya untuk kemampuan finansialnya dalam rangka mengurangi
risiko kegagalan investasi IPP.
Untuk itu, pemerintah harus memanfaatkan seluruh instrumen yang
tersedia untuk menutupi kesenjangan pembiayaan yang ada. Ada beberapa solusi
yang bisa dilakukan. Pertama, menyuntik modal tambahan kepada PLN Rp 15
triliun-Rp 20 triliun per tahun untuk memperkuat kapasitas investasinya.
Sembari dilakukan perbaikan pada subsidi dan struktur tarif listrik melalui
mekanisme performance based ratemaking (PBR) yang akan dimulai tahun 2015,
suntikan modal ini diharapkan semakin berkurang seiring dengan perbaikan
kinerja finansial PLN.
Kedua, mengembangkan skema pendanaan yang inovatif untuk memaksimalkan
dan memperbesar kapasitas pendanaan dari sumber-sumber domestik. Pemerintah
dapat mendukung penerbitan instrumen surat utang (bond) yang khusus untuk mendanai infrastruktur listrik yang
hasilnya diteruskan kepada PLN atau IPP swasta dengan syarat-syarat tertentu.
Eksplorasi juga bisa dilakukan untuk penggunaan skema linked deposit program,
di mana pemerintah menyimpan dana di bank-bank tertentu dalam bentuk deposito
dengan persyaratan bank-bank domestik
tersebut memberikan fasilitas kredit kepada proyek-proyek energi terbarukan
senilai dengan deposito dana pemerintah tersebut.
Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga dapat dilibatkan untuk
memanfaatkan skema ini dalam rangka mendorong pasokan pendanaan untuk
pembangkit listrik berbasis energi terbarukan skala kecil dan menengah yang
dapat diakses pengembang listrik swasta domestik. Selama ini investor listrik
skala kecil mengalami kesulitan mendapatkan pendanaan dari bank-bank lokal.
Instrumen lain yang bisa dieksplorasi adalah kemungkinan aplikasi grant
converted subordinated debt yang bisa diberikan melalui institusi keuangan
yang ada di bawah Kementerian Keuangan, misalnya Pusat Investasi Pemerintah
(PIP) dan PT SMI.
Ketiga adalah masalah perizinan pada tingkat daerah dan pusat. Sejumlah
proyek pembangkit mengalami masalah ini. Ada pembangkit yang sudah lebih dari
empat tahun belum tuntas perizinannya.
Presiden harus mengerahkan kabinetnya untuk merampingkan birokrasi
perizinan dan memangkas pola-pola rekomendasi berjenjang yang melibatkan
berbagai institusi kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah untuk
mendapatkan satu izin yang ujung-ujungnya justru yang memperlambat proses
pengeluaran izin. Hal ini berarti perlu merevisi berbagai aturan di tingkat
daerah dan pusat.
Presiden harus menunjukkan kepemimpinan dan konsistensi menyelesaikan
persoalan struktural tersebut. Tanpa membenahi hambatan-hambatan di atas,
jangan harap pembangunan pembangkit listrik akan terpenuhi sesuai kebutuhan.
Ketidakmampuan menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar dan struktural yang
selama ini merongrong sektor energi dan menghambat pembangunan kelistrikan
akan menyebabkan berbagai komplikasi masalah di masa depan serta defisit
pasokan listrik yang bertambah akut.
Skenario Ombak, satu dari empat skenario sistem energi Indonesia 2030
dalam Skenario Bandung (www.bandungscenarios2030.com), secara eksplisit
menggambarkan kemungkinan stagnasi karena negara ini terjebak dalam kubangan
persoalan yang sama karena ketidakmampuan para pemimpinnya menyelesaikan
sejumlah persoalan mendasar dan struktural yang membelit sektor energi selama
ini.
Risiko dan harga yang harus dibayar jika defisit pasokan listrik
terjadi terlalu besar. Kegagalan mencapai pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas yang sangat diperlukan untuk mengatasi pengangguran, kemiskinan,
dan memperkuat daya saing bangsa ini akan membuat Indonesia semakin
tertinggal dari bangsa lain. Rakyat menunggu program dan langkah inovatif
Kabinet Kerja untuk mengatasi ancaman krisis listrik yang sudah di depan
pintu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar