Muhammaduyah
dan Pembaruan
Zuly Qodir ; Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;
Jemaah Muhammadiyah
|
KOMPAS,
17 November 2014
"Muhammadiyah
yang didirikan KH Ahmad Dahlan dengan gerakan amal pembaruan telah
menempatkannya sebagai organisasi Islam modern terbesar tidak hanya di dunia
Islam, tetapi bahkan di dunia." (Nurcholish Madjid, 1983)
MUHAMMADIYAH telah berusia 102 tahun (18 November 1912-18 November
2014). Usia yang tidak muda lagi untuk sebuah organisasi sosial keagamaan di
tengah hadirnya organisasi sosial keagamaan dengan karakteristik beragam
lainnya, seperti Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam, dan Persis.
Penilaian yang dilakukan Nurcholish Madjid atas Muhammadiyah dapat
dibaca dalam dua perspektif. Pertama, sebagai penilaian obyektif atas
Muhammadiyah yang lahir di tengah pergolakan umat Islam Indonesia era
kolonial ketika zaman itu umat Islam berada dalam era kegelapan.
Kedua, sebagai penilaian sekaligus wahana Muhammadiyah mengoreksi diri
atas kebesaran dan pembaruan yang dilakukan sejak KH Ahmad Dahlan sampai
sekarang. Jika KH Ahmad Dahlan mampu menghadirkan roh pembaruan pemikiran
serta gerakan Islam di Indonesia, mengapa belakangan Muhammadiyah sering dikritik
kurang memiliki gereget etos pembaruan pemikiran dan gerakannya?
Mengikuti yang disampaikan Achmad Jainuri (2004), Muhammadiyah sebagai
organisasi sossial keagamaan memiliki karakteristik. Pertama, melihat Islam sebagai agama yang
mengajarkan kepada umatnya persoalan-persoalan kehidupan duniawi dan ukhrawi
yang bertujuan untuk kemajuan dan kebaikan publik. Karena itu, dalil
fastabiqul khairat merupakan dalil yang tidak bisa ditinggalkan oleh
Muhammadiyah, sampai kapan pun.
Kedua, Muhammadiyah sebagai organisasi modernis menerima dan
mengaplikasikan syariah dalam semua kehidupan secara fleksibel. Hal ini
membuat kaum modernis cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu
dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan Barat. Implikasi
dari karakteristik Muhammadiyah semacam ini, Muhammadiyah tidak bisa alergi
dengan pendekatan-pendekatan ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang
sebelumnya tak pernah atau belum ditemukan. Semua demi kemaslahatan umat dan
kemajuan bangsa. Muhammadiyah tak boleh alergi dengan munculnya teknologi
yang baru serta kondisi sosial yang memengaruhi terjadi perubahan sosial
sebagai akibat dari adanya rekayasa sosial yang merupakan bagian terpenting
dalam ijtihad kemanusiaan.
Ketiga, Muhammadiyah sebagai organisasi modernis menerima perubahan
sebagai keniscayaan selama praktik kehidupan masa kini dipandang tak
merefleksikan semangat ajaran Islam yang sesungguhnya. Karakteristik semacam
ini akhirnya harus membawa Muhammadiyah pada model dan metode pemahaman serta
pengamalan Islam yang lebih substansial ketimbang pada pemahaman dan
pengalaman islam yang sifatnya formalistik, pinggiran, bahkan parokial yang
cenderung memecah belah umat karena perbedaan dalam arti yang sangat
artifisial alias hanya dalam perbedaan kulit luarnya, bukan pada ruh Islam
atau ”api Islam”.
Spirit
pembaruan
Karakteristik Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang
demikian itu dapat dikatakan sebagai kultur organisasi Islam yang moderat
sekaligus progresif.
Memasuki usia 102 tahun, bagi Muhammadiyah jelas ditantang dengan
pelbagai persoalan kehidupan nyata di Indonesia serta di dunia. Apakah
Muhammadiyah mampu menghadirkan spirit pembaruan sebagaimana digelorakan oleh
KH Ahmad Dahlan, ataukah melempem di tengah tanjakan tajam dan berliku. Jika
mampu menapaki tanjakan tajam dan menikung dalam kehidupan umat Islam serta
bangsa Indonesia yang berkembang, Muhammadiyah akan dilihat oleh publik tetap
pada jalur pembaruan sebagaimana digelolarakan dan dikembangkan sang pendiri,
KH Ahmad Dahlan.
Namun, jika larut dalam kebesaran organisasi dan jumlah jemaah yang
mencapai jutaan, spirit pembaruan Muhammadiyah mendapat pertanyaan serius.
Benarkah Muhammadiyah masih memiliki spirit pembaruan pemikiran dan gerakan
Islam di Indonesia dan dunia?
Muhammadiyah akan tetap dinilai memiliki spirit pembaruan jika mampu
menghadirkan Islam yang moderat, Islam yang berkultur kemajuan (yakni sesuai
zamannya), bukan Islam yang ingin kembali pada masa 500 tahun yang lalu, yang
pada saat itu ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang pesat.
Muhammadiyah akan tetap dinilai memiliki spirit pembaruan jika tetap mampu
memberikan pencerahan, memberikan perlindungan, mendamaikan, dan menyejukkan
kehidupan umat. Inilah karakteristik Muhammadiyah yang tidak boleh hilang,
sampai kapan pun.
Muhammadiyah memang tidak secara khusus diarahkan dan cita-citakan
menjadi pembawa obor perubahan dunia politik praktis di Indonesia. Namun,
Muhammadiyah akan dinilai memberikan pencerahan dan sumbangan yang konkret ketika
mampu menghadirkan kultur berpolitik yang berperadaban, beradab, dan
berperikemanusiaan. Muhammadiyah mampu menghadirkan politik sebagai kerja
saling balas dendam serta transaksi kekuasaan para elite sebagaimana
dipertontonkan oleh sebagian politisi kita belakangan ini.
Oleh karena itu, Muhammadiyah harus benar-benar berada pada jalur yang
benar (sirathal mustaqim tajdid),
bukan pada jalur yang diarahkan untuk menikam sesama anak bangsa dengan
ganasnya permainan politik transaksional, serta ganasnya kemewahan kehidupan
elite bangsa yang semakin tidak terkontrol.
Muhammadiyah harus bisa dihadirkan dengan semangat pembaruan kehidupan
yang lebih cerdas dan lebih jernih dalam berpolitik serta berperilaku
keagamaan. Muhammadiyah harus mampu mengurangi kehidupan galau yang dialami
sebagian besar rakyat Indonesia karena berbagai ketidakpastian dalam
hidupnya. Muhammadiyah harus bisa dihadirkan dengan semangat pembaruan untuk
memperbarui mentalitas bangsa ini dari mentalitas jongos, babu, dan bangsa
kuli menjadi bangsa yang mandiri, berdikari, dan kerja sama dengan musyawarah
mufakat sebagai landasannya: bukan jadi bangsa para bandit dan kecu yang
merusak peradaban umat manusia.
Proviciat
untuk Muhammadiyah yang ke-102 tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar