Jumat, 07 November 2014

Tantangan Kebijakan Pajak

Tantangan Kebijakan Pajak

Yustinus Prastowo  ;  Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta
KORAN TEMPO, 04 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Pajak adalah sumber penerimaan negara terbesar. Lima tahun terakhir, rata-rata kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan APBN mencapai 74 persen. Target penerimaan pajak dalam APBN-P 2014 adalah Rp 1.246 triliun. Hal yang memprihatinkan, dalam kurun 2005-2013, tax ratio (perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto) hanya naik 0,1 persen dan target penerimaan pajak hanya tercapai sekali, yaitu pada 2008. Bahkan pada 2013 pencapaian penerimaan hanya 94 persen atau terjadi shortfall Rp 88 triliun.

Sejak 2011, perbandingan realisasi penerimaan pajak terhadap potensi (tax coverage ratio) cenderung stagnan, dan perbandingan pertumbuhan penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi (tax buoyancy ratio) cenderung menurun. Hal ini diperparah dengan menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Dalam situasi demikian, amat sulit bagi pemerintahan baru untuk membiayai program-program pembangunan jika tidak ditempuh langkah-langkah terobosan yang fundamental. Paparan berikut berupaya menimbang visi-misi pajak Presiden dan memberi beberapa usul programatik.

Berdasarkan visi dan misi calon presiden yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), kita dapat menerka dan memetakan tiga hal penting: target, strategi kelembagaan, dan strategi kebijakan. Jokowi mematok target pencapaian tax ratio (perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB) sebesar 16 persen pada 2019. Tentu saja ini bukan hal baru. Bahkan Presiden Yudhoyono pada 2004 mematok target tax ratio menjadi 19 persen dalam waktu lima tahun. Faktanya, tax ratio kita tak pernah beranjak pada kisaran 12-13 persen. Artinya, tanpa strategi yang jelas dan terukur, janji peningkatan tax ratio tak ubahnya sebuah jargon kosong makna. Jika demikian, bagaimana Presiden Jokowi menawarkan strategi pencapaian target?

Pada tataran strategi kelembagaan, Jokowi menempatkan strategi kelembagaan dalam konteks lebih luas yang menempatkan pajak dalam lanskap kebijakan fiskal. Ada dua hal yang ditawarkan. Pertama, desain ulang arsitektur fiskal dan merancang ulang lembaga pemungutan pajak. Kedua, Jokowi menegaskan niat awalnya merealisasi pembentukan Badan Penerimaan Pajak yang otonom (di luar Kementerian Keuangan) dengan tiga kewenangan penting, yaitu anggaran, manajemen sumber daya manusia, dan tata kelola organisasi. Strategi kelembagaan tersebut diturunkan dalam strategi kebijakan.

Jokowi menempatkan penerimaan pajak dalam dialektika partisipasi-manfaat. Kinerja penerimaan pajak dievaluasi seiring dengan potensi pajak dan saat yang bersamaan dilakukan sinkronisasi dengan alokasi anggaran yang berfokus pada belanja publik, seperti pembangunan infrastruktur, pengelolaan pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Menariknya, Jokowi juga mengemas isu penanganan korupsi sektor pajak dan bea-cukai serta pelibatan pemerintah daerah dalam kebijakan pemungutan pajak nasional. Ia tampaknya yakin bahwa kepercayaan (trust) merupakan pilar penting keberhasilan pemungutan pajak.

Lalu, bagaimana visi-misi itu terwujud? Tiga hal penting harus dipahami. Pertama, tax ratio yang masih rendah menunjukkan sulitnya memungut pajak di Indonesia. Potensi pajak yang sangat tinggi (setidaknya Rp 400 triliun/tahun belum terpungut), merupakan tantangan tersendiri. Penerimaan PPh Orang Pribadi sangat jauh di bawah potensi. Dibutuhkan kepemimpinan yang berani tanpa kompromi melakukan penegakan hukum, terutama menghadapi pengemplang pajak. Sumber potensi penerimaan pajak ada di sekeliling kita, bukan korporat asing di seberang sana.

Kedua, reformasi perpajakan hanya akan berhasil apabila dapat membawa sekaligus mereformasi kebijakan pajak, Undang-Undang Perpajakan, dan administrasi perpajakan (Bird:2003; Tanzi:2007). Tiga aspek ini harus dilambari visi keadilan yang kuat dan hanya akan terwujud jika presiden yang visioner, DPR yang kompeten, dan partisipasi publik yang luas bahu-membahu. Dan ketiga, transformasi kelembagaan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, dan sebagian pengelola PNBP menjadi Badan Penerimaan Negara. Prasyarat kelembagaan ini mutlak dibutuhkan untuk membangun lembaga pemungutan yang kuat, kapabel, dan akuntabel (Talierco:2003; Crandal:2010).

Mencermati proses reformasi perpajakan yang telah dan sedang terjadi persoalan pokoknya adalah defisit kepemimpinan. Bak sebuah orkestra, belum tercipta perpaduan yang anggun. Kita butuh dirigen yang mampu memandu dan mengarahkan. Persoalan pajak yang amat penting sangat bergantung pada kemauan politik dan keberanian seorang presiden untuk berdiri di garis paling depan dengan kualifikasi: seorang wajib pajak yang patuh, berani memimpin pemberantasan korupsi termasuk penghindaran dan pengelakan pajak, dipercaya rakyat karena mampu mengagregasi dukungan sosial-politik, dan menjadikan kesejahteraan rakyat di atas segalanya.

Modal sosial itu dimiliki oleh Presiden Jokowi. Langkah besar ini akan diuji dengan tantangan di depan mata, yakni membangun tim yang kuat. Maka ujian pertama, jangan salah memilih Direktur Jenderal Pajak, Pak Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar