Sabtu, 08 November 2014

Sistem Kartu Indonesia Sehat

Sistem Kartu Indonesia Sehat

Ali Ghufron Mukti  ; Mantan Wakil Menteri Kesehatan;
Ketua Pokja Implementasi BPJS
SINAR HARAPAN, 07 November 2014

                                                                                   


Salah satu program prioritas Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang baru saja diresmikan adalah program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Program ini sangat penting dan dibutuhkan masyarakat. Masyarakat Indonesia sangat berharap bagaimana program KIS ini segera dapat direalisasikan dan dinikmati tatkala mereka membutuhkan.

Masalahnya, bagaimana skenario strategi implementasi di lapangan program tersebut, sedangkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan baru saja diterapkan pada Januari tahun ini. Bagaimana model sistem KIS selanjutnya. Apakah seperti di Solo, Jakarta, atau seperti JKN yang dikelola BPJS?

Model Pembiayaan Kesehatan

Berbagai model pembiayaan kesehatan diterapkan berbagai negara. Negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman, Belanda, Prancis, Belgia, dan lain lain umumnya menggunakan sistem asuransi kesehatan sosial yang dulu dipelopori Jerman, sejak diresmikan program jaminan sosial kesehatan oleh Kanselir Otto Von Bismarck tahun 1883. Model ini sering disebut model Bismarck.

Inggris dan banyak diikuti negara bekas jajahannya menganut model berbasis pajak atau tax based health financing system. Model pembiayaan kesehatan berbasis pajak sering dikenal sebagai model Beveridge, setelah William Beveridge merancang Pelayanan Kesehatan Inggris (National Health Service). Amerika mulanya menganut model asuransi komersial, kemudian direformasi dengan Obama Health Care. Di negara berkembang, umumnya dengan membayar uang dari kantong saku atau model out of pocket.

Apa dan bagaimana program KIS masih banyak yang bingung, terkadang antarpemangku kepentingan berbeda penjelasannya. Penulis mengusulkan bagaimana strategi makro penerapan di lapangan dengan pertimbangan teori, peraturan perundangan yang ada, kapasitas fiskal, manajemen dan aspek teknis.

Kebijakan KIS, meski bisa dimaknai banyak hal, tentu bertujuan agar setiap warga bangsa, terutama masyarakat bawah yang membutuhkan yang belum menjadi anggota BPJS, dapat memiliki akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan berkeadilan. Ada dua pilihan, pertama semua rumah sakit kelas tiga gratis dibiayai pemerintah.

Hak hilang jika pindah kelas yang lebih ke arah model Beveridge atau berbasis pajak. Ini lebih praktis karena hanya dengan KTP sudah selesai, tetapi akses bagus dari kendali biaya dan mutu akan menjadi masalah. Dalam model ini tidak perlu membedakan orang miskin, rentan miskin, dan hampir miskin yang di lapangan sering sulit dan menimbulkan masalah. 

Pilihan kedua, model asuransi sosial atau model Bismarck yang mengandung nilai gotong royong. Dalam pilihan kedua ini semua orang wajib ikut dan membayar iuran, sedangkan yang kesulitan membayar iuran, baik miskin atau tidak mampu dibayari pemerintah. Mereka yang dibayari pemerintah sekarang ini disebut penerima bantuan iuran (PBI) yang berjumlah 86,4 juta orang.

Model pilihan kedua ini seperti yang berlaku dan diatur di dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011 tentang BPJS. Program KIS yang sekarang ini seperti model pilihan ke dua ini, ditambah kepesertaannya yang dulu sudah dijamin program Jamkesmas, yaitu anak telantar, gelandangan, panti jompo, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya yang total jumlahnya sekitar 1,7 juta orang. Karena masalah pengganggaran, dimulai beberapa ribu orang terlebih dahulu.

Peserta ini meski dulu sudah dijamin Jamkesmas, setahun ini tidak dijamin BPJS pada program JKN. Jika mereka  sakit, diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing. Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah memiliki komitmen dan mengalokasikan untuk mereka.

Ke depan tentu tergantung kebijakan yang dipilih pemerintah. Jika model pertama yang dipilih karena lebih mudah dan praktis, selain secara politis sangat menarik, tentu harus ada perubahan undang-undang, terutama UU SJSN dan BPJS, serta peraturan perundangan di bawahnya. Jika yang dipilih adalah model kedua, ada hal-hal yang perlu diperbaiki.

Hal yang Perlu Diperbaiki

Jika pilihan kedua yang dipilih,  hal-hal yang menyangkut fungsi, peran, dan hubungan antarlembaga yang terkait KIS perlu ditingkatkan. Sisi manajemen BPJS juga perlu perbaikan secara mendasar. Optimalisasi fungsi Dewan Pengawas dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) perlu dilakukan.
Koordinasi manajemen BPJS dengan kementerian, khususnya kesehatan dan keuangan, perlu ditingkatkan. Kerja sama dengan pemangku kepentingan, terutama rumah sakit swasta dan klinik swasta perlu diintensifkan. Peningkatan kemudahan dan fleksibilitas proses administrasi kepesertaan dan pendataan perlu segera diperkuat.

Hal ini dapat didukung dengan pemanfaatan e-KTP atau sidik jari yang ada di kementerian dalam negeri dan perlu segera dilakukan. Matching and bridging sistem manajemen infomasi mulai dari kepesertaan, puskesmas, rumah sakit, dan BPJS segera dibangun. Untuk efisiensi unit antifraud dan peningkatan kompetensi SDM dalam telaah utilisasi (utilization review) perlu segera dilakukan, disertai peningkatan sosialisasi, serta edukasi bagi pemberi layanan kesehatan di lapangan.

Peningkatan akses ini harus dibarengi penguatan infrastruktur pelayanan kesehatan. Hal ini termasuk peningkatan fasilitas kesehatan, terutama di layanan primer dan rumah sakit kabupaten/kota, perencanaan jumlah dan kualitas SDM kesehatan, serta distribusinya yang merata. Terobosan dalam menghasilkan, menyediakan dan menempatkan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis, perlu dilakukan. Pendidikan berbasis rumah sakit perlu dipikirkan.

Karena itu, kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri merupakan hal yang krusial. Kerja sama ini tidak saja dalam memecahkan persoalan mendasar dalam penyediaan dan distribusi tenaga kesehatan, tetapi bagaimana revolusi mental, perubahan pola pikir, kesadaran, dan perubahan pola perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat sejak dini dimulai di bangku sekolah.

Untuk menjaga mutu layanan dan jaminan kesehatan, selain penerapan manajemen mutu secara komprehensif, pembayaran kapitasi dan INA-CBGs sebaiknya disesuaikan dengan harga keekonomian. Dikembangkan health technology assesment (HTA) yang akan menilai obat, alat, dan teknologi kesehatan yang menilai cost effectiveness-nya, mengingat sumber daya yang terbatas dan banyak obat dan teknologi yang tidak perlu selalu mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar