Kamis, 06 November 2014

“Menteri Bisnis” di Kabinet Jokowi

“Menteri Bisnis” di Kabinet Jokowi

Rhenald Kasali  ;  Akademisi, Praktisi Bisnis,
Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
JAWA POS, 05 November 2014
                                                
                                                                                                                       


KABINET Kerja Jokowi-JK ternyata memiliki portofolio ”menteri bisnis” terbanyak ketimbang kabinet-kabinet pada pemerintahan sebelumnya. Di sini yang saya maksud menteri bisnis adalah menteri yang berlatar belakang dunia usaha. Ada yang menjadi pemilik bisnis, ada juga yang pernah menjadi eksekutif profesional dan komisaris, baik di lingkungan BUMN maupun swasta.

Mereka yang menjadi pengusaha adalah Menteri Perdagangan Rahmat Gobel, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri BUMN Rini M. Soemarno (dengan catatan, Rini juga pernah menjadi CEO PT Astra International Tbk), serta Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Lalu, menteri yang pernah menjadi direksi dan/atau komisaris di perusahaan swasta atau BUMN adalah Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Perindustrian Saleh Husin, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Kemudian, ada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar –sebagian kita mungkin lebih mengenalnya sebagai politikus. Marwan sebetulnya juga pernah menjadi direktur di beberapa perusahaan.

Jadi, di antara 34 menteri, ada sembilan orang yang datang dari dunia bisnis. Pertanyaan kita tentu apakah menteri-menteri bisnis itu akan memberikan warna yang menentukan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK? Harap dicatat, Jokowi-JK juga datang dari dunia bisnis.

Swasta vs Pemerintah

Ada dua karakter yang berbeda antara dunia usaha dan pemerintahan. Pertama, kultur pemerintahan sangat birokratis. Organisasinya sangat struktural dan berlapis-lapis sehingga pengambilan keputusan menjadi lambat. Sebelum suatu keputusan dikeluarkan, banyak meja dan tanda tangan yang harus dilewati.

Di swasta sebaliknya. Organisasinya sangat fungsional, lean dan simpel. Keputusan mesti cepat diambil agar jangan sampai kehilangan momentum. Ibaratnya, lebih baik masuk pasar terlebih dahulu meski belum sempurna. Nanti toh bisa diperbaiki. Sementara bagi birokrat, momentum tidak penting, yang penting ada justifikasinya.

Kedua, organisasi pemerintah sangat miskin inovasi. Pernahkah Anda mendengar konvensi inovasi entah tahunan atau dua tahunan di kantor-kantor pemerintahan. Jarang sekali, kecuali di Kantor Kementerian Riset dan Teknologi.

Sementara itu, di perusahaan swasta atau BUMN, inovasi mengalir bak air bah. Setiap tahun mereka menggelar konvensi inovasi. Saya yang pernah menjadi salah satu juri dalam ajang inovasi di suatu BUMN merasakan betul betapa briliannya gagasan-gagasan mereka.

Inovasi berkaitan erat dengan terobosan. Dan di perusahaan swasta atau BUMN, banyak  terobosan yang dilakukan. Di organisasi pemerintahan sebaliknya, sangat miskin.

Ketiga, ini saya kira perbedaan yang betul-betul sangat signifikan. Di lingkungan korporasi, mereka mampu mengidentifikasi ancaman-ancaman yang menghadang di depan dan dengan cepat mengonversinya menjadi peluang.

Di pemerintahan sebaliknya, birokrat kesulitan untuk membedakan mana ancaman, mana peluang. Itu sebabnya kita mengalami krisis berulang-ulang. Setiap kali musim penghujan datang dan banjir selalu menghadang, harga-harga komoditas melonjak. Kebakaran hutan juga marak terjadi di sejumlah daerah setiap kali kita memasuki musim kemarau. Juga tentu masih banyak lagi.

Business Friendly

Banyaknya ”menteri bisnis” dalam pemerintahan Jokowi-JK membuat kita menaruh banyak harapan. Apalagi kalangan bisnis. Selama ini, mereka memang menghadapi banyak masalah, sebagian akibat ulah birokrasi. Sebut saja prosedur perizinan yang berbelit-belit, high cost economy, melambungnya biaya logistik, kepastian bisnis yang tidak menentu, dan masih banyak lagi lainnya.

Intinya, pemerintahan kita selama ini belum betul-betul business friendly. Masih banyak pejabat pemerintahan dan kroni-kroninya atau politisi yang menjadikan pengusaha serta perusahaannya sebagai sumber dana untuk aktivitas mereka.

Kita berharap menteri-menteri bisnis akan membongkar semua penyakit tersebut dan birokrasi pemerintahannya menjadi lebih business friendly. Proses perizinan menjadi lebih pendek, lebih pasti, dan lebih jelas biayanya.

Kalau itu terjadi, saya optimistis kita akan menatap ASEAN Economic Community sebagai peluang ketimbang ancaman. Lalu, kita juga akan keluar dari bayang-bayang middle income trap. Dan, semua itu hanya akan terwujud kalau bukan hanya pemerintah yang bekerja, tetapi juga kita semua. Ayo kerja, kerja, kerja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar