Rabu, 05 November 2014

Mengelola Desa Pesisir

Mengelola Desa Pesisir

Yonvitner  ;  Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (KSPL-IPB); Tim Pokja ICM Desa Kementerian Dalam Negeri
KOMPAS, 04 November 2014
                                                
                                                                                                                       


IMPLEMENTASI UU Desa harus dilakukan secara cermat dan hati-hati terkait dengan klausul pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan, terutama dalam implementasi UU No 27 jo UU No 1/2014 tentang Pesisir, Lautan, dan Pulau-pulau Kecil.

Setidaknya ada beberapa fakta yang harus diutamakan, yaitu pertama, keberadaan masyarakat desa pesisir sebagai bagian dari komunitas masyarakat desa. Kedua, pengelolaan sumber daya pesisir yang dilakukan secara terpadu dalam hierarki tata kelola pemerintahan. Ketiga, sumber daya yang dikelola harus mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial kepada masyarakat pesisir.

Pengertian wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan (pertemuan) antara ekosistem darat dan laut. Desa pesisir secara geografis menempati kawasan pada batas wilayah laut sampai 12 mil dengan batas darat mencakup kecamatan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Grand Design Pembangunan Desa (2009), jumlah desa-desa pesisir di Indonesia 14 persen dari seluruh desa atau 9.326 desa dengan luas 35.949.021,30 hektar atau 19 persen dari keseluruhan desa-desa di Indonesia.
Namun, dalam konteks UU Desa, yang dimaksud desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat-istiadat, dan sosial budaya setempat dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam konteks ini jelas sekali terdapat dua cara pandang otonomi yang berbeda. Rezim UU Pesisir dan laut otonomi desa masih di bawah kontrol kabupaten, sedangkan rezim UU Desa otonomi ada di desa sendiri, hanya ada hubungan koordinasi dengan kabupaten/kota dalam hal pembiayaan pembangunan desa.
Kepala desa memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang dilimpahkan oleh pemerintahan kabupaten/kota. Jadi, sangat jelas bahwa hak pemberian izin sudah berada di level desa.

Cara pandang

Dalam UU Desa, kewenangan desa diakui kabupaten/kota (poin b Pasal 16), pusat, provinsi dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Desa memiliki hak untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan desa dari sumber daya yang ada.
Pendapatan ini dapat berasal dari pendapatan asli desa (PAD). PAD desa pesisir (Pasal 57 Ayat 1) dapat berasal dari tambatan perahu, pelelangan ikan, hutan milik desa, dan tanah kas desa.

Di dalam tanah kas desa kita akan mendapati lahan pesisir yang menjadi obyek wisata, pelabuhan perikanan, dan hamparan pantai. Di hutan desa pesisir terdapat hutan mangrove. Selanjutnya, setiap aktivitas perikanan, pelelangan, dan pelabuhan akan dikelola langsung kepala desa.

Dalam UU Pesisir No 27, suatu daerah kabupaten/kota dapat memberikan izin dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Izin usaha perikanan (tangkap) terhadap kapal di pelabuhan dikelola Kementerian Kelautan Perikanan (Permen No 05/2008 KP), pelabuhan perikanan, dan perizinan usaha industri perikanan di kawasan pelabuhan.
Jika dalam praktiknya tata pemerintahan desa terlaksana, kewenangan kabupaten/kota atas desa pesisir dengan sendirinya akan hilang. Dengan demikian, seorang kepala desa dalam mencari dana dapat memberikan izin lokasi usaha.

Kondisi dalam UU Desa akan sangat berbeda dengan UU Pesisir dan Laut. Desa tidak boleh memberikan izin lokasi pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum karena harus dilakukan oleh menteri.

Desa pesisir

Dengan adanya perbedaan yang berisiko multitafsir terhadap UU No 27/2007 jo UU No 01/2014 dengan RUU Desa yang diusulkan jadi UU Desa, pengelolaan desa pesisir harus didesain dalam sebuah kerangka pengelolaan yang sinergis dan berkelanjutan.

Kerangka kerja pembangunan berkelanjutan di wilayah desa pesisir dan laut paling tidak mempertimbangkan tiga elemen penting (PEMSEA, 2003), yaitu tata kelola (governance), pembangunan berkelanjutan, dan status wilayah pesisir.
Tata kelola mencakup perencanaan, kelembagaan, legislasi, informasi, pendanaan, dan pengembangan kapasitas. Pembangunan berkelanjutan mencakup perlindungan sumber daya alam, pemulihan habitat, penyediaan sumber daya air, dan ketahanan pangan (food security and livelihood).

Dalam status pesisir paling tidak mengacu pada konsep Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). UU Desa dan UU Pesisir harus satu konsep dalam mewujudkan ketiga hal ini.

Untuk tingkat desa, meski tidak ada kewajiban, perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sangatlah baik untuk memperkuat perencanaan desa.
Untuk itu, perlu penguatan kebijakan terhadap pola pengelolaan sumber daya wilayah pesisir, pemberdayaan masyarakat desa pesisir, penataan otonomi desa, dan penguatan kapasitas pemerintahan desa.

Menyadari kegagalan pendekatan pembangunan yang sentralistik, diperlukan pelibatan masyarakat dalam mengelola sumber daya pesisir dan laut di desanya.
Dengan demikian, pengelolaan pesisir desa berlangsung secara terpadu melalui implementasi pengelolaan terpadu desa pesisir (integrated coastal village management) yang dinakhodai oleh direktorat pemerintahan desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar