Kekurangan
Pidato Presiden Jokowi di APEC
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 12 November 2014
CEO Summit dan KTT CEO APEC (Asia-Pacific
Economic Cooperation) menjadi saksi sambutan meriah dari para kepala
negara dan tokoh bisnis Asia-Pasifik untuk Presiden Ketujuh RI Joko Widodo
(Jokowi).
Sebagai forum dialog yang menghubungkan pebisnis dengan kepala-kepala
negara di kawasan yang di abad ke-21 ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
dunia, sambutan meriah tersebut memunculkan harapan bahwa ini merupakan awal
baik bagi Indonesia.
Ada beberapa catatan yang perlu diberikan kepada Presiden Jokowi
terkait dengan debut pertamanya dalam CEO Summit di Beijing yang akan
dilanjutkan dengan KTT APEC, KTT ASEAN dan East Asian di Myanmar dan terakhir
adalah G-20 di Australia. Dalam forum-forum tersebut Presiden akan bertemu
dengan banyak perwakilan negara maju dan berkembang.
Pertama kita perlu
ingat bahwa APEC adalah forum untuk saling memengaruhi antarnegara anggota.
Kita menghargai bahwa Presiden Jokowi telah menyampaikan peluang bisnis yang
tersedia di Indonesia. Namun semestinya hal tersebut diimbangi dengan tuntutan
kepada pasar-pasar potensial kita seperti China, Rusia, dan Amerika Serikat.
Tidak seperti forum internasional pada umumnya di mana yang
bertemu adalah diplomat dan tim kepala negara saja, APEC merupakan tempat
pertemuan CEO dan pelaku usaha yang berorientasi global dengan tokoh-tokoh
negara. Esensi pertemuan APEC tidak cukup di pidatonya, melainkan juga dalam
lobi-lobi yang dilakukan antara cara dan penjajakan sinyal peluang usaha.
Contohnya ketika Presiden Putin mengeluhkan tidak baiknya hubungan
ekonomi Rusia-Indonesia. Kita perlu mengingatkan Rusia tentang larangan ekspor
minyak kelapa sawit kita ke pasar Rusia karena ketentuan hydrogen peroxide
yang tidak boleh lebih dari 0,9%. Masalah itu perlu dibicarakan jalan
keluarnya karena hanya negara Eropa, khususnya Belanda, yang tidak memiliki
pohon sawit yang dekat dengan Rusia yang diuntungkan dari peraturan tersebut.
Kita juga masih ingat kegagalan dari delegasi Indonesia untuk
memasukkan minyak kelapa sawit dalam daftar environmental good list tahun lalu di Bali.
Kedua, kita juga menghargai kesederhanaan perjalanan Jokowi dari
jumlah delegasi yang ikut serta. Namun kita berharap hal itu juga tidak
mengurangi kualitas dan target kunjungan kenegaraan yang harus dicapai.
Setiap negara yang datang ke APEC telah membawa agenda mereka
masing-masing. Amerika memiliki agenda untuk meyakinkan China bahwa ekspansi
ekonomi mereka yang agresif akan merugikan ekonomi dunia. Rusia juga
menggalang dukungan dari negara Asia-Pasifik untuk menghadapi blokade yang
dilakukan negara-negara Eropa.
Mereka telah membawa paket-paket yang akan dihantarkan para
diplomatnya ke negara-negara anggota APEC. Kita bisa berharap tim
kepresidenan telah melakukan sinergi dengan para pengusaha domestik dan para
pemangku kepentingan yang terkait agar Indonesia bisa mendesakkan paket kerja
sama yang akan lebih menguntungkan Indonesia dibandingkan mitra kita atau
setidaknya jangan sampai paket kerja sama dari negara lainlah yang merajai
dan kita cuma dapat recehan saja.
Kita dapat mengambil contoh strategi bisnis yang dilakukan China
terhadap mitra kerja sama mereka di Nigeria. China banyak melakukan investasi
pembangkit tenaga listrik di Nigeria. Namun sambil menjalankan kerja sama
tersebut, China juga menjalankan strategi politik memperluas diaspora dengan
membawa pekerja-pekerja dari China masuk ke pasar tenaga kerja dan bisnis di
negara tujuan.
Masyarakat China yang tinggal di sana kemudian melihat peluang
bisnis ritel yang tersedia dan mulai melakukan impor barang-barang China yang
memang lebih murah. Artinya, alih-alih kita mendapatkan investasi, Indonesia
justru kehilangan pasar dan kesempatan membuka lapangan kerja bagi orang
Indonesia sendiri. Itu sebabnya sejumlah negara di Afrika mulai hati-hati
dengan model kerja sama China.
Berbeda dengan China, para pebisnis asal Amerika Serikat (AS)
juga mencari peluang investasi sambil meminta jaminan negara tujuan untuk
bertanggung jawab atas segala kerugian dan risiko yang mereka alami selama
berinvestasi di suatu negara. Hal ini tecermin dalam perjanjian TPP.
Selain itu, Pemerintah AS ingin agar produk-produk dari AS
kemudian punya peluang untuk masuk ke Indonesia dan laku! Artinya kalau
sampai produk tersebut kurang laku, misalnya karena konsumen Indonesia tidak
tertarik, mereka akan masuk lewat jalur marketing
intelligence demi mengubah selera konsumen. Jika masih tidak berhasil,
negara akan diminta pertanggungjawabannya lewat sengketa dagang.
Perhatikan
betapa sinergis kerja sama antara pelaku usaha dengan pemerintah di AS. Pidato
Presiden Jokowi selama 15 menit di depan para CEO akan jauh lebih bermakna
dan memiliki daya gentar bila kita dapat menyampaikan kesulitan-kesulitan
yang kita alami dalam melakukan penetrasi ke pasar negara lain.
Ini juga penting sebagai pesan yang harus diingat negara-negara
lain ketika berhubungan bisnis dengan Indonesia. Presiden Jokowi
semestinya juga perlu menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan investor yang
menghargai upah buruh yang layak, memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan
alam dan masyarakat, serta memiliki komitmen untuk berinvestasi dalam jangka
waktu yang panjang.
Dengan kata lain, kita tidak hanya mengharapkan para investor
untuk segera menanamkan modal mereka, tetapi juga mengharapkan investor yang
memiliki komitmen bersih dan sesuai dengan ideologi negara Pancasila yang
antipasar bebas seperti yang selalu diucapkan Jokowi dalam kampanye pada
waktu yang lalu.
Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi memiliki kapasitas untuk
menyampaikan pesan-pesan ideologis tersebut di dalam setiap forum
internasional agar negara-negara lain tidak salah paham dalam menerjemahkan
setiap kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia. Presiden Obama dalam
pidato di forum yang sama setelah Presiden Jokowi mengatakan bahwa dia akan
melakukan apa pun untuk mengembalikan seluruh pekerjaan dan industri ke
Amerika.
Namun dia juga menyampaikan dalam satu paragraf yang sama bahwa di dalam abad ke-21,
upaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja dan
perdagangan bukanlah zero-sum game.
Kemakmuran satu negara tidak boleh menghilangkan hak negara lain untuk
makmur.
Jika kita bekerja dan bertindak bersama, ikatan ekonomi akan
menguntungkan seluruh bangsa. Pesan-pesan ideologis seperti itu tidak hanya
akan memberi sinyal positif kepada pihak di luar negeri, tetapi juga di dalam
negeri sebagai janji bahwa pemerintahan Jokowi memang berniat melindungi
kepentingan Indonesia.
Pada titik tersebut, kita dapat memberikan pesan yang jelas
tentang maksud politik bebas-aktif yang kita anut sambil membedakannya dengan
strategi yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar