Sabtu, 01 November 2014

Indonesia Pintar

Indonesia Pintar

Mohammad Abduhzen  ;  Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI)
KOMPAS, 30 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


DARI Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) Joko Widodo-Jusuf Kalla, lima di antaranya—dalam skala berbeda—terkait dengan pendidikan. Pada agenda nomor lima disebutkan bahwa pemerintahan JKW–JK akan menjalankan program ”Indonesia Pintar” yang kegiatan utamanya meningkatkan kualitas pendidikan dan menjalankan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Rumusan ini tampaknya sebagai ikhtisar semua program pendidikan pemerintah baru. Memang masalah pendidikan, di mana saja, berkisar pada ”akses” dan ”kualitas”.

Wajib belajar 12 tahun adalah persoalan akses, yaitu upaya memperluas kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan lebih tinggi. Langkah ini penting karena, selain berimplikasi pada peningkatan angka partisipasi sekolah, juga berdampak pada angka rata-rata lama sekolah (mean years schooling/ MYS) yang merupakan satu indikator kemajuan pembangunan manusia. Angka rata-rata lama sekolah kita masih rendah daripada Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun. Laporan UNDP 2013 (Ritonga, Kompas 24/3) menyebutkan, rata-rata lama sekolah Indonesia hanya 5,8 tahun, artinya setara dengan sekolah dasar.

Pemerintah belum secara tegas menjalankan wajib belajar 12 tahun, apalagi bebas pungutan. Wajib belajar 9 tahun saja—yang dimulai 1994 dan ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003—hingga sekarang belum terkontrol secara baik sehingga aneka pungutan dengan beragam alasan tetap terjadi.

Saat ini, pemerintah menggunakan istilah ”pendidikan universal” untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Alasannya, belum ada payung hukum dan mempertimbangkan, anggota UNESCO tidak mengenal wajib belajar pendidikan menengah. UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) hanya menyebutkan wajib belajar ”minimal” pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Atas dasar ini, barangkali di bagian lain visi-misi JKW–JK ditegaskan akan memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dari segala pungutan.

Terlepas dari implikasinya pada sistem penganggaran dan tradisi UNESCO, adanya kata ”minimal” dalam ayat di atas memungkinkan pemerintah menjalankan program wajib belajar 12 tahun tanpa disamarkan dengan ”pendidikan universal.” Pemerintah bahkan tak harus menunggu—juga tidak memerlukan—UU tersendiri. Kelak, ketentuan ini cukup diakomodasi dalam pasal terkait saat revisi UU Sisdiknas yang memang mendesak.

Terkait perluasan akses pendidikan tinggi, pemerintahan JKW-JK akan meningkatkan pemberian subsidi kepada perguruan tinggi negeri sehingga akses warga miskin untuk mendapatkan pendidikan tinggi semakin besar. Dengan demikian, diharapkan angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi yang rendah—menurut Badan Pusat Statistik, angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi tahun 2013 adalah 23,06 persen dan 18,08 persen—segera meningkat.

Ke depan, peningkatan akses pendidikan hendaknya senantiasa mempertimbangkan dan bersama upaya peningkatan mutu. Pengalaman pada masa lalu mengajarkan bahwa memprioritaskan akses dengan mengesampingkan kualitas menjebak kita dalam situasi buruk berkepanjangan sehingga kini Indonesia tampak belum juga pintar.

Kualitas pendidikan

Arah dan upaya peningkatan mutu mendatang tampaknya bertumpu pada pendidikan karakter seperti tergambar dalam agenda nomor delapan: ”Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum akan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan; menyeimbangkan pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Penataan kurikulum adalah suatu keniscayaan bagi pemerintahan baru. Keniscayaan itu bukan hanya karena Kurikulum 2013 penuh anomali, melainkan lebih daripada itu karena pemerintahan JKW-JK memiliki paradigma baru, yaitu revolusi mental yang tidak kompatibel dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013, meskipun sering diklaim untuk pendidikan karakter, senyatanya hanyalah konglomerasi hal-hal bagus yang tak membentuk suatu koherensi yang lugas sehingga sering kali membingungkan.

Maka, pada awal masa transisi ini, pemerintah sebaiknya menghentikan terlebih dahulu pelaksanaan Kurikulum 2013 yang menyedot dana triliunan itu. Sembari mempersiapkan cetak biru (blue print) yang holistis, pemerintah perlu membuat kebijakan (short cut) yang menyederhanakan program-program pembelajaran. Alokasi dana untuk Kurikulum 2013, jika dimungkinkan oleh sistem, dialihkan buat pelatihan motivasi dan kinerja guru dalam rangka revolusi mental.

Pengutamaan pendidikan karakter dan kebudayaan dalam program Indonesia Pintar secara implisit menggambarkan bahwa ”pintar” tidak sekadar bersifat kognitif. Term ”pintar” dapat merupakan obyektivikasi kata ”cerdas” sebagaimana cita-cita bangsa. Jika didefinisikan dengan tepat, pendidikan karakter akan relevan dengan Pasal 3 UU Sisdiknas yang menyatakan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa.

Dalam platform JKW-JK ditegaskan, 10 prioritas utama pendidikan karakter yang intinya, pertama, kurikulum akan mengedepankan pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang proporsional. Untuk pendidikan dasar, pembobotan menekankan 70 persen substansinya pada budi pekerti dan karakter, sedangkan untuk pendidikan tinggi, 60 persen politeknik dan 40 persen sains. Kurikulum juga akan diarahkan membangun pemahaman hakiki tentang kebinekaan yang tunggal ika dengan menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan nasional. Untuk itu, pemerintah telah berkomitmen tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, di antaranya ujian nasional.

Kedua, meningkatkan kualitas guru dengan merekrut tenaga berkualitas dan mendistribusikannya secara merata. Kualitas guru tentunya disesuaikan dengan kebutuhan revolusi mental dan model pembelajarannya. Selain memerlukan desain baru pelatihan, agenda ini juga menuntut perubahan peran, eksistensi, dan substansi LPTK. Distribusi guru akan didukung oleh perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan. Guru daerah terpencil akan diberikan jaminan hidup memadai melalui tunjangan fungsional, asuransi, fasilitas memadai, dan promosi karier.

Ketiga, memprioritaskan pembiayaan pendidikan untuk penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi unggulan yang diberikan secara reguler dan terintegrasi dengan pengembangan pendidikan tinggi.

Cetak biru baru pendidikan

Pendidikan karakter adalah sebuah labirin yang mudah membawa pada kesesatan logis sehingga memerlukan kecermatan. Pertama, pendidikan karakter bukanlah suatu atau beberapa mata pelajaran atau program yang diajarkan tersendiri, tetapi meliputi ”semua” proses pendidikan. Terbentuknya watak/karakter (personal) dan kebudayaan/peradaban (komunal) merupakan efek kumulatif dan sinergis dari seluruh upaya pembelajaran dengan berbagai faktor bawaan dan lingkungan.

Kedua, pembobotan dengan persentase penekanan substansi pembelajaran tidak salah sejauh tidak bersifat dikotomis. Proses pembelajaran memang harus disesuaikan dengan tingkat kepekaan psikologis murid yang biasanya terkait dengan usia.

Pembobotan akan berbahaya jika didasarkan pada dikotomi atas kelompok mata pelajaran pembentuk karakter, seperti Agama, Budi Pekerti, Kewarganegaraan, dengan kelompok mata pelajaran sains dan Matematika yang dianggap tidak atau kurang berhubungan dengan karakter. Dikotomi seperti ini akan cenderung mengabaikan pengembangan nalar saintifik yang induktif dan nalar matematik yang deduktif, terutama pada kelas yang lebih rendah. Padahal, nalar yang sehat merupakan basis karakter yang baik dan kuat yang mesti dibentuk sejak belia.

Ketiga, mengutamakan pendidikan karakter melalui sekolah berpotensi menggiring proses pendidikan ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan yang menekankan masa silam sebagai orientasi korektif atas masa kini dan antisipatif atas masa depan. Proses pendidikan akan dipenuhi pelatihan watak dan pencekokan moral di satu sisi dan indoktrinasi serta penjejalan pikiran—bukan mengajar berpikir—dengan nilai-nilai dan informasi yang akan diuji pada sisi yang lain. Alhasil, bangsa ini bukannya semakin pintar, malah akan menjadi irasional dan tidak kreatif.

Keempat, lembaga pendidikan, di mana saja, merupakan sebuah subsistem sosiopolitik sehingga yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari induk sistemnya. Mengharapkan karakter baik dan kuat tumbuh melalui pendidikan dalam sebuah sistem korup dan feodal, tanpa melakukan reformasi menyeluruh, adalah kesia-siaan. Guru bukanlah Si Pahit Lidah (tokoh dalam legenda Sumatera Selatan) yang dapat mengubah apa saja melalui kata-kata. Maka, Indonesia Pintar membutuhkan cetak biru baru pendidikan yang mengubah dengan menderivasi ide revolusi mental dan Trisakti dalam satu kerangka strategi operasional yang utuh, padu, dan rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar