Jumat, 07 November 2014

Berpacu di Antara Kekecewaan

Berpacu di Antara Kekecewaan

Agus Sudibyo  ;  Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KORAN TEMPO, 05 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Yang harus diantisipasi Presiden Jokowi dan wakilnya saat ini dan selanjutnya adalah kekecewaan. Kekecewaan itu datang dari berbagai penjuru. Pertama, tentu saja para tokoh yang sudah telanjur disebut-sebut sebagai calon menteri, sudah sempat dipanggil ke Istana Presiden, lalu kemudian namanya tidak ada dalam daftar Kabinet Kerja. Dapat dibayangkan betapa kecewanya mereka. Terlebih-lebih jika merasa diri sudah menjadi tokoh besar, dekat dengan Jokowi atau Mbak Mega, ikut bantu-bantu dalam pemenangan pilpres.

Lebih menjengkelkan lagi, media ramai-ramai memberitakan batu uji utama kelayakan calon menteri adalah verifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap akuntabilitas dan integritas seseorang. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Gagal menjadi menteri, digosipkan tidak bersih diri dan tersangkut korupsi lagi. Inilah risiko proses pemilihan kabinet ala Jokowi yang semi-tertutup-semi-terbuka. Dengan menimbang data KPK tentang indikasi atau dugaan korupsi, seseorang semestinya dijaga kerahasiaannya demi penegakan hukum yang mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Semestinya proses seleksi menteri dilakukan dengan sangat hati-hati dan meminimalkan publisitas. Namun, pada sisi lain, tampak sekali bahwa proses seleksi kabinet kesulitan untuk menghindari intensitas pemberitaan media dengan semua konsekuensinya.

Kekecewaan kedua datang dari para pengamat dan intelektual. Banyak yang menganggap Kabinet Kerja tidak mencerminkan beratnya masalah sosial-ekonomi-politik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Banyak juga yang khawatir, para menteri itu akan menjadi bulan-bulanan Koalisi Pendukung Prabowo (KPP) di DPR yang hampir semua orang tahu seperti apa perangai dan sikap politiknya.

Bagaimana mengelola kekecewaan ini agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perjalanan pemerintah Jokowi-JK? Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab segera. "Barisan sakit hati" sudah pasti terbentuk. Tapi perlu diantisipasi agar barisan sakit hati tidak bertransformasi menjadi gerakan balas dendam, atau agar sakit hati itu tidak dimanfaatkan oleh kelompok politik yang ingin merecoki kepemimpinan Jokowi-JK terus-menerus.

Cara untuk menghalau kekecewaan itu adalah seperti dikatakan Presiden Jokowi: kerja, kerja, dan kerja. Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah berlalu. Pesimisme banyak pihak dijawab dengan kemampuan menyelesaikan masalah-masalah publik.

Namun pemerintah Jokowi sepertinya tidak cukup beruntung dalam hal ini. Belum-belum mereka sudah dihadang permasalahan yang begitu pelik, sehingga Presiden SBY pun memilih untuk menghindarinya: menaikkan harga BBM. Menurut para ekonom, menaikkan harga BBM adalah suatu keniscayaan dalam dua bulan ke depan. Presiden Jokowi hampir tidak mungkin menghindarinya. Padahal, jelas sekali, menaikkan harga BBM bukan kebijakan yang populis, dan bisa dipastikan menimbulkan kekecewaan masyarakat.

Singkat kata, Presiden Jokowi harus siap untuk tidak populer, siap untuk mengecewakan pihak-pihak. Pemerintahan baru bekerja di antara begitu banyak hambatan dan rintangan. Maka yang dibutuhkan adalah bersikap realistis. Bangsa ini sedang menghadapi masalah-masalah besar yang hampir semuanya tidak mungkin diselesaikan dalam waktu sekejap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar