|
REPUBLIKA, 07 Mei 2013
Jihad sosial melawan korupsi di
negeri ini tampaknya belum akan berakhir karena budaya korupsi sudah sedemikian
menggurita, mengakar, dan menjalar ke hampir seluruh sendi kehidupan bangsa.
Karena itu, wabah kronis korupsi ini perlu disembuhkan dengan terapi
mental-spiritual yang mendasar hingga akar-akarnya.
Korupsi itu sesungguhnya penyakit
iman atau penyakit akidah (patalogi teologis) yang sangat berbahaya karena ke-melakukan
korupsi, pelakunya hilang keimanannya kepada Allah SWT. Bukan hanya
menurun imannya, melainkan defisit, bahkan iman sirna dari dalam
hatinya. Sekiranya di dalam hati mukmin itu ada iman yang kuat, niscaya ia
terus merasa `dimonitor', diawasi, dan dievaluasi oleh Allah yang Mahahadir
dalam setiap detak napasnya. Jika Allah diyakini selalu hadir dan melihat isi
hati (niat korupsi), pikiran (rencana dan strategi melakukan korupsi, misalnya
secara berjamaah), dan perbuatan korupsinya, niscaya yang bersangkutan akan
takut kepada Allah.
Korupsi itu dilakukan, antara lain,
karena pelakunya mengalami zero akidah tauhid, keimanannya nihil, teologinya
gagal berfungsi membentengi diri dan nafsu serakahnya sangat kuat untuk
berkorupsi. Jika `kanker korupsi' dinilai sebagai penyakit teologis, obat yang diperlukan bagi bangsa ini adalah
teologi antikorupsi. Teologi antikorupsi pada intinya adalah sebuah
keyakinan dalam diri mukmin yang ikhlas, murni, dan otentik karena mengharap
ridhaNya. Mukmin yang berteologi antikorupsi selalu menyadari di manapun berada
dan kapan pun tidak ada ruang dan waktu yang tersisa dan terlewatkan dari
`radar teologis' Allah SWT.
Kedasaran teologis akan kemahahadiran
dan kecanggihan radar Allah dalam menangkap sinyal-sinyal korupsi manusia
sangat penting ditumbuhkan sedemikian rupa sehingga mukmin yang berteologi
antikorupsi merasa malu jika perbuatan jahat dan antikemanusiaannya itu (korupsi)
ditangkap radar superdetektif Allah. Dalam aktualisasinya, tam pak nya kita
perlu belajar teologi antikorupsi dari kisah Abdullah ibn Umar bin al-Khattab
saat menguji iman peng- gembala kecil di padang pasir.
Abdullah pernah menguji seorang
peng gembala dengan menyatakan berniat untuk membeli seekor domba peliharaannya.
Namun, sang penggembala menolak menjual karena itu memang bukan miliknya. Lalu,
Abdullah kembali membujuk dengan mengatakan sang pemilik tidak akan melihatnya,
tapi penggembala itu menjawabnya dengan pertanyaan diplomatis, "Dimanakah
Allah."
Dengan menitikkan air mata, Abdullah
menyatakan kepada anak kecil itu bahwa jawaban tersebut tidak hanya memerdekakannya
dari perbudakan di dunia, tetapi juga memerdekakannya dari siksa api neraka
kelak. Abdullah kemudian memerdekakan anak itu dari status budak penggembala
domba sehingga menjadi manusia merdeka lahir dan batin.
Kisah tersebut menginspirasi kita
semua bahwa teologi antikorupsi adalah teologi yang memerdekakan diri kita dari
segala bentuk perbudakan, terutama hawa nafsu, serakah, tamak, loba, mental
ingin cepat kaya, tetapi malas bekerja keras dan halal. Teologi antikorupsi idealnya
meniscayakan kemerdekaan manusia dalam bertauhid, dalam arti hanya Allah semata
yang disembah, dimintai petunjuk dan pertolongan, ditakuti, dan menjadi
orientasi dalam hidup ini.
Merdeka dalam bertauhid membuat
orang tidak mudah diperbudak oleh ideologi, kepentingan politik, kepentingan
partai, maupun kekuatan dan kekuasaan duniawi yang menipu dan menyesatkan. Jadi,
teologi antikorupsi sejatinya merupakan sistem bertauhid yang membuat orang
merasa takut berdosa jika menyalahgunakan amanah jabatan; berusaha menjadi yang
terbaik dalam melaksanakan tugas karena Allah Maha Mengawasi kinerjanya.
Mukmin yang berteologi antikorupsi memang
harus merdeka dalam bertauhid agar kita tidak dijajah lagi oleh hawa nafsu,
syahwat politik, syahwat jabatan, dan syahwat korupsi. Tauhid yang murni adalah
tauhid yang memerdekakan diri kita dari segala bentuk penjajahan duniawi.
Jadi, teologi antikorupsi yang
dilandasi tauhid yang murni mesti menyinari, mencerahkan, dan menutrisi hati
yang bertauhid itu sehingga berniat atau berpikir untuk korupsi saja enggan,
apalagi sampai melakukannya meskipun peluang untuk itu terbuka lebar lantaran
menggenggam jabatan dan kekuasaan.
Teologi antikorupsi juga dapat ditanamkan pada diri kita semua dengan
meneladani sifat-sifat Allah.
Kita semua merindukan para pemimpin
yang dapat menjadi teladan terbaik dalam merasakan kehadiran Allah dalam
mengurus negara, bangsa, dan melayani masyarakat. Jika negara ini benar-benar
diurus dengan kecerdasan teologis, spiritual dan moral, dan kesadaran akan
pentingnya `menghadirkan Allah', teologi antikorupsi itu akan menghiasi moralitas
mereka.
Teologi antikorupsi sejatinya merupakan
teologi pembebasan diri dari watak korup dan serakah melalui proses penya daran
`ruang keinsyafan batin' untuk mau menerima sinyal-sinyal spiritual. Dengan demikian, mentalitas dan
karakternya bisa berubah menjadi dermawan, suka berbagi rezeki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar